MENYIBAK KEMISKINAN PENDUDUK
MENYINGKAP KASUS PERDAGANGAN PEREMPUAN
(Trafficking in women)
Oleh. Dasuki *

ABSTRAK
Krisis ekonomi yang berkepanjangan mempengaruhi berbagai segi kehidupan masyarakat baik di perkotaan maupun di perdesaan. Khususnya di pedesaan sangat dirasakan pengaruhnya, apalagi di desa sulit mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, hal ini mendorong orang migrasi ke kota untuk bekerja. Adanya migrasi ke kota membawa permasalahan baru bagi kepadatan penduduk dan berdampak dalam berbagai kasus dalam keluarga. Banyak kasus permasalahan keluarga, penulis mecoba mengungkap penyebab permasalahan perdagangan wanita dari segi sosial dan ekonomi. Dari sisi ekonomi keluarga pada umumnya tidak dapat menunjang kebutuhan sehari hari, ditambah dengan kondisi lingkungan sosial tidak mendukung, akibatnya menjadikan mereka menjajakan diri untuk membantu mencari penghasilan tambahan sebagai pekerja sek jalanan dan sejenisnya. Menjadi pekerja sek bagi perempuan prinsipnya hanya ingin membantu keluarganya memenuhi kebutuhan sehari-harinya, tetapi ada juga perempuan karena terpengaruh oleh faktor teman dilingkungan yang telah terperdaya oleh praktek eksploitasi baik secara ekonomi maupun seksual.
Akibat krisis perekonomian yang panjang dan sulit turut berpengaruh dalam menyingkap kasus keluarga, bahwa ada faktor-faktor eksternal yang memposisikan kaum perempuan mudah terjamah oleh praktek protistusi, akibat dari kemiskinan, rendahnya pendidikan, kurangnya informasi, pengangguran, terbatasnya lapangan kerja, dipihak lain adanya budaya dominasi laki-laki terhadap perempuan, dan sistem perlidungan serta penegakan hukum yang masih lemah. Bahkan disamping itu juga karena faktor-faktor internal antara lain sikap mental yang tidak stabil, rendahnya ketahanan kontrol diri dari godaan dsbnya, yang menempatkan kaum perempuan rentan terhadap praktek prostitusi dan perdagangan perempuan (Trafficking in women).
Dari sudut pandang manapun perdagangan perempuan dinilai sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai, norma, budaya, harkat dan martabat manusia serta perwujudan kesetaraan gender dalam kehidupan masyarakat. Banyak faktor yang menyebabkan praktek perdagangan perempuan semakin krusial dan kritis

A. Latar belakang menyibak kemiskinan penduduk
Dilihat dari permasalahan penduduk secara umum bahwa jumlah penduduk Indonesia berdasarkan data BPS tahun 2003 sebanyak 217 juta jiwa, dimana berdasarkan persentase yang ada jumlah perempuan sebanyak 50,6% dan laki-laki sebanyak 49,4%. Dari jumlah tersebut kalau kita lihat persebarannya sebanyak sekitar 80% tinggal di wilayah pedesaan sisanya berada di wilayah perkotaan.
Dan jumlah pengangguran usia produktif antara 15-35 tahun sebanyak 10,6 juta dan jumlah setengah pengangguran sebanyak 31,8 juta jiwa. Hal ini ditambah dengan kondisi tingkat pendidikan penduduk yang menunjukan bahwa jumlah penduduk buta huruf usia 10 tahun keatas memiliki kecenderungan meningkat dari tahun ketahunnya.
Sebagai gambaran penduduk Indonesia usia 10 keatas baik laki-laki maupun perempuan pada tahun 1990 sebanyak 60, 92 ribu jiwa, sepuluh tahun kemudian yakni tahun 2000 mencapai 89,92 ribu jiwa. Sedangkan pada tahun 2004 meningkat menjadi 91,46 ribu jiwa, dari jumlah tersebut sebanyak 87,72 ribu adalah perempuan. Yang berada diwilayah pedesaan..
Krisis sulitnya perekonomian kita telah membawa pengaruh terhadap kondisi kehidupan keluarga sebagian besar masyarakat, baik mereka yang berada di kota mau¬pun desa. Khusus pada masyarakat desa, sangat dirasakan kesulitan dalam pemasaran hasil pertanian maupun hasil perkebunannya. Apalagi sebagai buruh tani maupun buruh kebun dengan kondisi sulitnya perekonomian, kebanyakan keluarga kewalahan pula untuk mengatasi kesulitan kehidupan dengan mahalnya harga-harga kebutuhan pokok( beras dll) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yang pada akhirnya mereka terpedaya oleh praktek eksploitasi baik secara ekonomi maupun seksual /prostitusi.

B. Menyingkap kasus Perdagangan Perempuan (Trafficking in women)
Berdasarkan gambaran situasi kependudukan seperti itu, maka praktek perdagangan perempuan diperkirakan akan dapat tumbuh subur jika kurang mendapat penanganan yang lebih memadai dari berbagai pihak.
Sejarah perdagangan manusia (trafiking) senantiasa mendapatkan respon serius dari berbagai bangsa dari masa ke masa, sebab perdagangan manusia merupakan pelanggaran terhadap pelaksanaan hak asasi manusia.
Tuntutan yang begitu kuat untuk melawan dan menghapuskan perdagangan manusia mencerminkan betapa permasalahan tersebut dipandang sebagai tindakan yang merugikan dan bertentangan dengan nilai kemanusiaan yang dapat dikatagorikan sebagai kejahatan kemanusiaan yang perlu diberantas keberadaannya.
Seiring dengan berjalannya waktu, berbagai upaya untuk menghapuskan perdagangan manusia telah dilakukan, namun praktek perdagangan manusia senantiasa muncul kepermukaan dengan modus yang berbeda dengan kompleksitas permasalahan yang cenderung semakin memprihatinkan.
Perdagangan perempuan dengan tujuan untuk eksploitasi tenaga kerja, seksual, maupun tindak kriminal berupa perdagangan organ tubuh manusia yang sangat tidak menguntungkan korban. Bahkan perdagangan perempuan sudah menjadi isu global yang juga mengundang keprihatinan masyarakat dunia (komitmen global), seperti dikeluarkannya resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1994, Koalisi Perempuan Internasional maupun Konferensi Perempuan Sedunia ke IV tahun 1995 yang mengutuk praktek perdagangan perempuan, sekaligus mencari solusi atas permasalahan tersebut.
Selain isu internasional perdagangan perempuan juga sebagai isu nasional atau domestik, komitmen nasional dalam usaha pemberantasan perdaganganperempuan tercermin pada Keputusan Presiden Nomor 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Perdagangan perempuan (traffickingin in women).
Ketua Pusat Study Wanita (PSW) UGM Dra.Nahiyah Jaiti Faraz M.Pd dalam makalahnya yang berjudul Trafficking dan Pencegahannya menjeleskan, terjadinya trafficking (penjualan perempuan) serta penjualan anak itu dipengaruhi oleh kemiskinan dan pengangguran, karena 40 juta penduduk Indonesia dari 200 juta lebih adalah miskin. Faktor lain yang mempengaruhi kasus trafficking terhadapperempuan adalah pendidikan, karena 15 % dari wanita dewasa buta huruf, 30 % akibat perkawinan dibawah usia 16 tahun serta kekerasan terhadap anak perempuan. Hal ini dikuatkan dengan kenyataan bahwa hampir separuh korban perdagangan adalah mereka yang pernah mengalami kekerasan seksual sebelumnya.
Menurut Nahiyah Jaiti Faraz data dari Kepolisian RI menyebutkan bahwa sejak tahun 2001 jumlah kasus trafficking mengalami penurunan hingga tahun 2005, tahun 2001 ada 178 kasus, 2002 ada 155 kasus, 2003 ada 134 kasus, tahun 2004 ada 43 kasus, dan tahun 2005 terdapat 30 kasus. Sementara data yang di himpun international Catholic Migration Commission (ICMC) 2005 menyebutkan kasus trafficking yang berhasil dilaporkan berjumlah 130 kasus, dengan jumlah pelaku 198 dan jumlah korbannya ada 715 orang. Angka ini lanjut Aktivis PSW tersebut mengalami peningkatan pesat jika dibandingkan tahun 2003 yang hanya ada 84 kasus. Sedangkan laporan dari Unicef tahun 1998 diperkirakan jumlah anak yang tereksploitasi seksual atau dilacurkan/dijadikan pelacur menjadi 40.000 sampai dengan 70.000 anak diseluruh Indonesia, dan dari jumlah tersebut sebesar 30 % dari mereka adalah anak perempuan usia kurang dari 18 tahun. Data lain menyebutkan 60 % jumlah perkosaan terjadi pada anak dan setiap tahunnya tidak kurang dari 1500 hingga 2000 kasus perkosaan di Indonesia yang terjadi di hampir semua propinsi di Indonesia korbannya adalah anak perempuan.
Sedangkan data dari International Organization for Migration Indonesia lain lagi. Menurut lembaga ini untuk periode Maret 2005 sampai dengan Juli 2006 terdapat 1.231 WNI korban perdaganagan yang telah diselamatkan dan diantara mereka 55 % korban eksploitasi pekerja rumah tangga, 21 korban pelacuran paksa dan 18,4 % melalui pekerja formal. Upaya untuk memerangi trafficking tersebut lanjut Nahiyah J Faraz ,harus sesuai dengan amanat dari The Trafficking Victims Protection Act of 2000 yang menyebutkan ada 4 hal standar minimum yang harus dipenuhi yaitu :
1.Pemerintah harus melarang perdagangan manusia dan menghukumnya;
2.Pemerintah harus menetapkan hukuman yang setaraf tindak pidana berat yang menyangkut kematian;
3.Pemerintah harus menjatuhkan hukuman yang cukup keras sebagai reflkesi sifat keji dari kejahatan tersebut;
4.Pemerintah harus melakukan upaya yang serius dan berkelanjutan untuk memberantas trafficking.
Menyinggung semakin maraknya anak jalanan yang disebabkan oleh berbagai faktor dari rumah tangga, Sari Murti.SH.M.Hum menambahkan, bahwa untuk penyelesaian permasalahan tersebut harus ada kesepakatan gerakan bersama, karena kalau hanya di garuk atau ditertibkan dan kemudian di bawa ke Dinas Sosial, disediakan rumah singgah dan sebagainya tidak akan menyelesaikan permasalahan tersebut. Harus ada gerakan masyarakat untuk tidak memberikan uang secara menyeluruh, mendidik dan memberikan pengertian bagi anak jalanan untuk kembali kerumah serta diberikan bekal pengetahuan yang benar.
Oleh karena itu, perlindungan terhadap perempuan korban perdangangan (trafficking) perlu diupayakan sedemikian rupa, agar permasalahan ini tidak meluas dan berdampak semakin parah terhadap korban dan kehidupan masyarakat luas.

C. Upaya perlindungan perempuan terhadap korban trafficking
Ada tiga alasan kuat mengapa perlindungan terhadap perempuan korban trafiking penting dalam konteks pelayanan dan rehabilitasi sosial:
Pertama, karena kondisi perempuan korban trafficking rentan menjadi dan dijadikan sebagai Wanita Tuna Susila (WTS).
Kedua, untuk menumbuhkan kepercayaan diri korban, melalui bimbingan fisik, mental/ psikologis dan sosial memulihkan trauma serta mengembalikan pada kehidupan yang berlaku di masyarakat.
Ketiga, meningkatkan keterampilan kerja sehingga mempunyai kemampuan untuk meningkatkan taraf kehidupannya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi perempuan korban trafiking, perlu diupayakan secara lebih sistematis, komprehensif dan berkesinambungan dengan melibatkan berbagai instansi/ pihak yang terkait.
Pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi perempuan korban perdagangan menggambarkan pada upaya dan proses pertolongan dari;
1) Pertolongan awal (emergency) melalui trauma centre dari berbagai unsur terkait secara integratif,
2) Rujukan yang disesuaikan dengan kebutuhan penanganan permasalahan korban yang dapat diarahkan pada keluarga atau masyarakat, lapangan kerja, rumah sakit dan panti sosial. Khusus rujukan yang diarahkan pada panti sosial.
3) Agar penanganan perempuan korban trafiking berhasilguna dan berdayaguna, perlu Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial bagi Perempuan Korban Trafiking oleh pihak seperti : dinas/ instansi sosial, instansi terkait, Orsos/ LSM yang peduli terhadap perempuan korban trafiking.
Pengertian pelayanan sosial adalah segala bentuk kegiatan pertolongan sosial yang diberikan pemerintah ataupun masyarakat untuk membantu para korban (klien) agar dapat mengoptimalkan keberfungsian sosialnya. Rehabilitasi sosial adalah serangkaian kegiatan pemberian pelayanan sosial secara terencana dan profesional untuk memecahkan masalah klien dari lingkungan sosialnya, memulihkan rasa percaya diri klien dan meningkatkan status dan peranan sosial klien serta lingkungannya.
Perdagangan perempuan ( trafficking in women) adalah segala tindakan yang meliputi : perekrutan, pengangkutan, pemindahtanganan, pemberangkatan atau penerimaanperempuan, dengan cara ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bantuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, tipu muslihat, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi kerentanan (termasuk situasi memilih atau pilihan bebas), atau dengan memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan-keuntungan guna mencapai keinginan untuk menguasai orang lain, untuk keperluan eksploitasi seksual meliputi eksploitasi pelacuran, pornografi dan bentuk-bentuk lain eksploitasi seksual, eksploitasi ekonomi seperti penggunaanperempuan dalam kerja paksa, eksploitasi fisik meliputi perbudakan, penghambaan atau pemindahan organ-organ tubuh manusia (Protokol PBB tahun 2000).
Perempuan korban perdagangan (trafficking) adalah seorang atau sekelompok perempuan yang telah terperdaya oleh praktek eksploitasi baik secara ekonomi maupun seksual. Walaupun Keputusan Presiden RI Nomor 88 Tahun 2002, Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking) perempuan. Dan Keputusan Menteri Pemberdayaan Perempuan RI No. 17/Meneg-PP/VII/2005, Tentang Pembentukan Sub Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan perempuan dan Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, kenyataannya masih sering terjadi perdagangan perempuan.

D. 10 Faktor penyebab pendorong terjadinya perdagangan perempuan
Bahwa kenyataan sampai saat ini dimasyarakat masih sering terjadi perdagangan perempuan, oleh karena ada nilai tawar yang terjadi berupa 10 faktor penyebab hal-hal yang mendorong terjadinya perdagangan (trafficking) perempuan, antara lain:
1. Semakin meluasnya kemiskinan, karena tidak meratanya penguasaan sumber daya produktif dalam masyarakat.
2. Besarnya pengangguran, karena sedikitnya lapangan kerja.
3. Lemahnya penegakan hukum bagi pelaku perdagangan perempuan.
4. Kurangnya pemahaman individu, keluarga, masyarakat dan pemerintah tentang tanggungjawabnya dalam pemenuhan hak asasiperempuan.
5. Rendahnya kesadaran akan persoalan perdaganganperempuan.
6. Adanya cara pandang bahwa perempuan adalah objek komoditas, khususnya pada perempuan, ditandai dengan maraknya pornografi.
7. Pengaruh Idiologi patriarchat dengan sistem nilai yang “phallosentris” (sistem nilai yang mengacu terhadap kepentingan seksual laki-laki).
8. Adanya ketidak setaraan gender di masyarakat dan kebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadapperempuan
9. Pengaruh perkembangan teknologi informasi dalam konteks globalisasi.
10. Adanya ekses negatif dari pengembangan pariwisata yaitu sex tourism.
Secara garis besar tujuan dari perdagangan perempuan adalah eksploitasi ekonomi dan atau eksploitasi seksual dalam bentuk prostitusi dengan paksaan dan atau kekerasan, pembantu rumah tangga dengan perlakuan tidak menguntungkan, perkawinan semu (kontrak), buruh ilegal, adopsi ilegal, pariwisata dan hiburan seks, pornografi, pengemis dan digunakan dalam aktivitas kriminal lainnya.
Perlakuan dan pengalaman tidak menyenangkan yang telah dialami oleh korban menyebabkan mereka berada pada kondisi fisik dan sosial psikologis yang tidak menguntungkan (tertekan dan trauma). Kondisi tersebut menyebabkan mereka rentan menjadi pelacur (Wanita Tuna Susila). Jika hal ini tidak mendapatkan perhatian dan penanganan yang lebih serius dikhawatirkan akan menyebabkan permasalahan sosial lebih kompleks, sehingga berdampak lebih luas pada aspek kehidupan yang lain.
Oleh karena itu, perlu mendapat penanganan yang lebih sistematis dan komprehensif dari berbagai pihak baik pemerintah, Orsos/ LSM agar mereka mendapatkan perlindungan dan jaminan secara lebih memadai. Dalam kerangka itu maka pelayanan dan rehabilitasi sosial dapat diorientasikan dan dikembangkan ke arah membangun kembali fisik, mental dan kejiwaan, sosial maupun ekonomi korban ke arah yang lebih baik, kondusif dan bermartabat. Dengan adanya penanganan seperti ini diharapkan para korban dapat menjalani kembali kehidupannya secara normal dalam masyarakat dan dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Mencermati fenomena perdagangan perempuan, terlihat bahwa permasalahan ini memiliki kompleksitas yang terkait dengan faktor-faktor penyebab antara lain ; etika, moralitas dan spiritualitas, kesulitan ekonomi, ketenagakerjaan, pendidikan, migrasi, kondisi keluarga, sosial budaya dan media massa.

Dari permasalahan yang sangat kompleks diatas secara garis besar bilamana kita telusuri lebih lanjut dari sudut aspek diri perempuan, maka terdapat dua faktor yang mempengaruhinya sbb, yakni (a) faktor internal dan (b) faktor eksternal. Dan sangat disadari bahwa kedua faktor ini tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi keduanya biasanya saling bersinergi berpengaruh sehingga muncul dan tumbuh subur dalam praktek perdagangan perempuan itu sendiri.


1. Faktor Internal perempuan
a) Sikap tidak berdaya dan pasrah terhadap keadaan dan termasuk jebakan orang lain yang menjadikan dirinya korban trafficking.
b) Rendahnya pertahanan dan kontrol diri dari godaan, ajakan ataupun rayuan pihak lain.
c) Orientasi materi (materialistik) yang terlalu tinggi yang tidak dimbangi oleh kemampuan dan potensi nya yang mendukung.
d) Sikap mental (perempuan) yang tidak stabil (pendirian labil) sehingga mudah terpengaruh atau goyah menerima ajakan atau rayuan pihak lain.
e) Relatif rendahnya wawasan dan pendidikan sehingga berdampak pada kemampuan bersikap dan bertingkah laku yang sangat mudah mempercayai orang lain sehingga terjebak menjadi korban trafficking.
f) Rendahnya kemampuan untuk mengakses berbagai informasi dan sumber lainnya yang dapat dimanfaatkan.
g) Tampilan fisik, sikap dan perilaku yang lemah lembut sebagai salah satu ciri khasnya dapat dijadikan senjata untuk memperdaya.
h) Masih relatif rendahnya kesadaran korban untuk melaporkan kejadiannya pada pihak yang berwajib.
2. Faktor Eksternal perempuan
a) Belum adanya undang-undang tentang pemberantasan perdagangan perempuan.
b) Masih lemahnya penerapan peraturan ditingkat lapangan (supremasi hukum kurang ditegakkan).
c) Pengukuhan dominasi laki-laki terhadap perempuan sehingga mendorong perlakuan yang eksploitatif.
d) Lapangan kerja yang relatif terbatas, sehingga sulit diakses oleh perempuan.
e) Kondisi keluarga atau masyarakat yang miskin.
f) Relatif masih rendahnya kontrol keluarga dan masyarakat terhadap berbagai kemungkinan terjadinya praktek perdagangan perempuan.
g) Semakin berkembangnya sistem ekonomi yang mengarah pada sistem kapitalistik (bebas nilai) yang cenderung memandang perempuan sebagai komoditas yang layak diperdagangkan.
h) Masih relatif rendahnya kesadaran keluarga korban, masyarakat untuk melaporkan kejadian tentang praktek perdagangan perempuan kepada pihak berwenang.
i) Sistem nilai budaya yang memungkin mendukung perdagangan perempuan.

Kesimpulan
Sebagaimana diuraikan diatas bahwa dalam hal pencegahan dan penanggulangan trafficking perempuan masih banyak kendala permasalahan yang dihadapi dalam penanganan, antara lain sebagai berikut :
1. Semakin meningkatnya jumlah dan kompleksitas permasalahan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial(PMKS) yang disebabkan oleh faktor kemiskinan dalam keluarga, maka diperlukan jangkauan layanan yang lebih luas dalam program-program yang bervariasi yang sesuai dengan kebutuhan korban.
2. Adanya berbagai keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh pemerintah ataupun masyarakat dalam memberikan pelayanan terhadap korban trafiking, sehingga hasil yang didapatkan dirasakan belum maksimal baik dari kualitas maupun jangkuannya.
3. Masih rendahnya kepedulian dan partisipasi masyarakat dalam memberikan kontribusinya pada upaya penanganan bagi perempuan korban trafficking khususnya dalam pelayanan dan rehabilitasi sosial.

Jakarta, Oktober 2009

Menyibak kasus kemiskinan
menuai kasus keluarga anak jalanan
Oleh: Dasuki*
ABSTRAK
Krisis ekonomi yang berkepanjangan mempengaruhi berbagai segi kehidupan masyarakat baik di perkotaan maupun di perdesaan. Khusus di pedesaan sangat dirasakan, apalagi di desa sulit mencari kerja untuk menambah penghasilan, hal ini mendorong orang migrasi ke kota untuk bekerja. Adanya migrasi dari desa ke kota membawa permasalahan baru seperti di Jakarta diantaranya kepadatan penduduk, sehingga wilayah kota menjadi tidak teratur dan kumuh, maka dengan ini penulis mecoba mengungkap permasalahan keluarga anak jalanan ditinjau dari segi sosial dan ekonomi keluarga yang penyebabkan anak menjadi anak jalanan.
Kebanyakan keluarga anak jalanan secara normatif telah melaksanakan fungsi sosialnya, namun dari sisi ekonomi tidak dapat menunjang kebutuhan sehari hari, ditambah dengan kondisi lingkungan sosial yang sulit dan tidak mendukung, menjadikan anak tergugah untuk membantu mencari penghasilan tambahan seperti sebagai penyemir sepatu di tempat keramaian orang dan dijalanan. Menjadi penyemir sepatu bagi anak prinsipnya hanya ingin membantu keluarganya memenuhi kebutuhan sehari-harinya, tetapi ada juga anak menjadi penyemir sepatu karena terpengaruh oleh faktor teman dilingkungannya, kegiatan sebagai penyemir sepatu dari penghasilan jasanya untuk kebutuhan jajan bersama teman-temannya. Berjuta keluarga yang migrasi mempunyai pola kehidupan yang hampir rata-rata sama dalam taraf kemiskinan hidup dikota, kasus kemiskinan telah menuai menjadi kasus bagi anak menjadi anak jalanan.

LATAR BELAKANG
Krisis sulitnya perekonomian kita telah membawa pengaruh terhadap kondisi kehidupan sebagian besar masyarakat, baik mereka yang berada di kota mau¬pun desa. Khusus pada masyarakat desa, sangat dirasakan kesulitan dalam pemasaran hasil pertanian maupun hasil perkebunannya. Apalagi sebagai buruh tani maupun buruh kebun dengan kondisi sulitnya perekonomian, kebanyakan kewalahan pula untuk mengatasi kesulitan kehidupan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mereka mencoba bermigrasi kekota dengan harapan mendapat kerja. Na¬mun di kota para migran menimbulkan permasalahan baru bagi wilayah kota menjadi kumuh dll.
Kesulitan dalam mencari kerja dan kondisi pendapatan yang tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup sehari hari, sering keluarga mengeksploitasi anak di tempat tempat kera¬maian atau dijalanan untuk mencari penghasilan sebagai peminta-minta, pedagang asongan, penyemir sepatu dan sejenisnya. Eksploitasi anak ini merupakan pelanggaran terhadap hak-hak anak dan penyimpangan peran dan fungsi keluarga terhadap anak yang seharusnya anak mendapat asuhan dan perlindungan sejak dalam kandungan, lahir sampai dengan dewasa tetapi kenyataan sebaliknya menjadi pemerasan tanpa disadari.
Mari kita coba telusuri pada keluarga Hasan. Sehari-hari orang mengenalnya sebagai petugas kebersihan alias pengangkut sampah di sebuah kompleks perumahan di Jakarta. Sejak berumur 10 tahun, Hasan terbiasa membantu ayahnya Mang Cecep (almarhum). Setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu, sehabis pulang sekolah, tangan-tangannya ikut mendorong gerobak sampah menuju Tempat Pembuangan Sementara (TPS). Aroma tak sedap sudah jadi makanan sehari-hari.
Walaupun dibantu, tetap saja penghasilan Mang Cecep tidak cukup untuk memberikan kehidupan yang lebih layak bagi keluarganya. Pendidikan Hasan sampai lulus SMA, lantaran orang tuanya tidak sanggup membiayai sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Demikian juga ke tiga saudaranya tidak ada yang berpendidikan tinggi. Ayah Hasan punyai sembilan orang anak dari tiga orang istri. Perkawinan pertama membuahkan seorang anak, kemudian istrinya meninggal. Pada perkawinan kedua, mereka mempunyai empat orang anak, yang diakhiri pula dengan kematian istrinya. Perkawinan ketiga, Mang Cecep menikah dengan ibu kandung Hasan, dan menghasilkan empat orang anak. Hasan anak sulung dari istri ketiga Mang Cecep. Adik laki-lakinya yang berusia 18 tahun bekerja sebagai tukang bangunan atau pekerjaan apa saja yang bisa dikerjakan. Dua adik perempuannya sudah berkeluarga, walaupun usianya sekarang baru 17 tahun dan 15 tahun. Kini Hasan hidup dengan seorang istri, dan lima orang anak, 3 orang anaknya sudah sekolah SD dan selainnya belum sekolah. Anaknya yang pertama sudah duduk di kelas 6 (enam) SD. Keluarga Hasan tinggal bersama Bu Cecep di salah satu kamar rumah di kompleks perumahan, tempat dia mengangkut sampah.
Rumah itu bukan miliknya, tetapi milik seorang kaya raya yang berbaik hati pada Hasan dan keluarganya. Mereka pun tidak dipungut sewa.Pada tahun 2001 yang lalu, Mang Cecep meninggal dunia dalam usia 73 tahun karena sakit keras. Mang Cecep tidak meninggalkan warisan apa pun. Sejak itu Hasan, 31 tahun, resmi menggantikan tugas ayahnya sebagai petugas kebersihan atau tukang sampah di dua RT di lingkungan kompleks perumahan tersebut.
Sebelumnya, Hasan hanya menggantungkan hidupnya dari upah yang diberikan para tetangga yang meminta bantuan kepadanya, seperti menjaga rumah, mengurus KTP, mengecat rumah, membersihkan got atau halaman rumah orang lain, atau pekerjaan apa saja yang bisa ia kerjakan. Pekerjaan-pekerjaan ini masih ia lakukan sampai sekarang.
Sebagai tukang sampah pada dua buah RT atau sekitar 70 unit rumah, ia memperoleh penghasilan tetap Rp 400.000/bulan. Dalam satu minggu ia mengangkut sampah tiga atau empat kali. Lalu dilanjutkan dengan menarik gerobak sampah itu ke TPS yang jauhnya sekitar 3 km. Selain mengangkut sampah, ia juga menjadi kolektor pembayaran rekening listrik dan Air. Untuk pekerjaan ini, ia menerima upah sebesar Rp 20.000 dari setiap RT, dan mendapat bonus dari warga yang berbaik hati kepadanya. Kalau dikumpulkan mencapai kurang lebih Rp 100.000. Namun, walaupun ada tambahan, tetap saja penghasilannya jauh dari mencukupi.
Sebagai manusia normal ia pun mengeluh, bahwa hidupnya tidak pernah berubah. Lebih runyam lagi, ia mengaku tidak punya keterampilan lain. Pernah pada saat usianya 17 tahun ada tetangga yang berniat membantu Hasan masuk pendidikan ABRI. Tapi, ia tidak mau, dan keluarganya pun tidak mendukungnya. Semuanya karena ketiadaan biaya. Terkuak nya kisah Hasan hanyalah satu dari jutaan potret kemiskinan yang dialami masyarakat kota saat ini. Nasib Hasan pun termasuk yang beruntung, dibandingkan dengan nasib-nasib si miskin lainnya. Entah berapa jutaan jumlah orang yang mengalami kemiskinan masih banyak…dan banyak…serta tak terperikan, data tentang jumlah penduduk miskin di Indonesia memang masih simpang siur.

TINJAUAN UMUM MASALAH KEMISKINAN
Sebenarnya Indonesia dalam kurun waktu 1976-1996, telah berhasil menurunkan angka kemiskinan, dari 54,2 juta orang pada tahun 1976 menjadi 22,5 juta orang pada tahun 1996. Tapi, dengan adanya krisis moneter (krismon) tahun 1997-1998 diduga terdapat 80 sampai 100 juta orang miskin di Indonesia (Kompas, 20 Oktober 1998). Mubyarto (2003) mengatakan bahwa, setelah krismon tahun 1997-1998 yang berkepanjangan sampai sekarang dalam bentuk krisis perbankan, masalah kemiskinan menjadi topik menarik karena jumlah penduduk yang jatuh di bawah garis kemiskinan meningkat sekali, pernah dihitung (secara keliru oleh BPS) menjadi, 79,5 juta orang. Perhitungan itu keliru dilakukan karena diasumsikan pendapatan rumah tangga tidak tetap (tidak naik), ketika tahun 1998 terjadi inflasi 78 persen. Dalam kenyataan pendapatan "semua orang" termasuk penduduk miskin seperti buruh tani juga naik, kadang-kadang bisa lebih dari 100 persen sehingga kemiskinan 1998 "disepakati" hanya 49,5 juta atau 24,2 persen. Kemudian pada tahun 2002 jumlah penduduk misknj menjadi 38,4 juta orang atau 18,20 persen.
Dalam kampanye politik pemilihan capres dulu, Presiden Megawati mengatakan bahwa selama masa kepemimpinannya ia telah berhasil menurunkan angka kemiskinan sebesar 45persen. Benarkah? Kalaupun benar, angka itu tidak mungkin berada dibawah 30 juta orang. Jika diasumsikan bahwa proses sosialisasi kemiskinan seperti kasus tersebut diatas, bisa dibayangkan betapa sulitnya program-program penanggulangan masalah kemiskinan di Indonesia. Beberapa .program penanggulangan kemiskinan yang tergabung dalam paket progam Jaring Pengaman Sosial (JPS) dari pemerintah, juga tidak akan efektif, karena tidak menyentuh akar persoalan yang sangat mendasar, yaitu sosialisasi kemiskinan dalam keluarga.
Bagaimana kondisi kemiskinan itu tetap bertahan atau lestari pada orang-orang yang mengalami kemiskinan? Mengutip pendapat Saparinah Sadli (1986), dalam setiap lingkungan budaya ada harapan bahwa setiap anggota masyarakat akan dapat melaksanakan pekerjaan tertentu agar ia dapat memperoleh nafkah yang relatif pasti, yang selanjutnya dapat menjamin kelangsungan hidupnya. Untuk mencapai hal ini seseorang harus dapat mempelajari dan menguasai suatu keterampilan.
Berbagai keterampilan yang diperlukan dalam kehidupan bersama biasanya dimulai dalam lingkungan keluarga. Bahwa lingkungan keluarga sebagai lingkungan sosial pertama dalam kehidupan seseorang diharapkan dapat meletakkan dasar-dasar proses sosialisasi yang memungkinkan seseorang untuk dapat mengembangkan sikap dan perilaku sebagaimana diharapkan oleh lingkungan sosialnya, dan mengembangkan kemampuannya untuk bertingkah laku "conform" terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku di lingkungan sosialnya.
Proses sosialisasi berlangsung bagi setiap anak, karena sejak dilahirkan ia telah terbelenggu dalam suatu kelompok (seperti keluarga). Yang bisa membedakan setiap anak adalah "apa" yang diinternalisasikan sebagai hasil proses sosialisasi. Perbedaan ini selanjutnya dapat dimanifestasikan dalam perilaku konkretnya karena keluarga memegang peranan penting dalam berlangsungnya proses sosialisasi dan pembentukan perilaku pada umumnya.

TINJAUAN KASUS KELUARGA MISKIN
Bagaimana ciri-ciri keluarga yang hidup dalam kondisi miskin. J.Kosa.dan I.K.Zola. dalam Saparinah Sadli mengatakan, bahwa kondisi miskin sebagai lingkungan sosial di mana anak dibesarkan, tidak rnendukung atau membantu terbentuknya watak atau sifat-sifat pribadi yang dapat mendobrak kemiskinannya karena beberapa kondisi.
Pertama, lingkungan keluarga miskin tidak dapat mengembangkan pola sosialisasi di mana seseorang dibimbing untuk mengembangkan dan belajar keterampilan khusus untuk dapat mencari pekerjaan yang layak. Sebab, cara-cara mencari nafkah dari keluarga miskin ditandai oleh adanya ketidak pastian dan ketidak mantapan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kondisi kehidupan yang serba tidak mantap ini menyulitkan orang tua miskin untuk dapat meneruskan sesuatu yang bersifat mantap kepada anak-anaknya. Sehingga peneladanan kalaupun ada lebih bersifat tidak disengaja dan justru memperkuat kondisi kehidupan miskin.
Kedua, karena lingkungan keluarga miskin biasanya ditandai oleh tidak adanya pekerjaan yang langgeng (no steady job), maka salah satu kesibukan konkret yang harus dilaksanakan sehari-hari ialah mencari kegiatan yang dapat mengurangi rasa tidak aman dan tidak pasti. Hal ini menimbulkan suatu kebiasaan untuk hidup secara tidak teratur. Dinyatakan, bahwa keadaan seperti ini telah menyebabkan orang-orang dalam kondisi hidup miskin kurang menyukai kegiatan-kegiatan yang menuntut adanya suatu "steadiness." Latar belakang ini telah dipergunakan untuk menjelaskan mengapa orang-orang miskin justru tertarik pada kegiatan yang dapat membawa rezeki sesaat (bila untung) seperti main kartu atau main judi, dan sebagainya.
Ketiga, kondisi kemiskinannya menyebabkan minimnya aspirasi keluarga miskin (secara sadar atau tidak sadar). Apa yang mereka ajarkan kepada anak-anaknya dalam proses sosialisasi hanyalah keterampilan-keterampilan yang memungkinkan anak-anak tersebut melanjutkan cara hidup keluarganya sekarang.Hal ini ber-hubungan erat dengan kenyataaan lain bahwa keluarga miskin biasanya tidak mempunyai sarana yang diperlukan untuk meningkatkan kondisi ekonomi keturunannya. Dari keluarga miskin sulit diharapkan bahwa mereka dapat mengajarkan pola tingkah laku yang "conform" terhadap norma-norma sosial yang berlaku umum,karena tidak ada kondisi dalam lingkungannya yang menguntungkan atau dapat memberi penguatan bila hal tersebut diajarkan kepada anak-anaknya.
Keempat, salah satu aspek penting dalam proses sosialisasi ialah bahwa keluatga mengajatkMi kepada anak-anaknya, agar ia dapat mengun&u pemuasan mendadak dari kebutuhan-kebutuhan-nya. Pada anak-anak diajarkan supaya tidak memuaskan setiap kebutuhan secara segera, yang diperlukan untuk mencapai suatu tujuan yang lebih penting, misalnya demi hari depan yang lebih baik. Meskipun mengantuk dan capai, ia harus belajar untuk ujian, agar dapat lulus, dan selanjutnya menuntut pendidikan tertentu untuk memperoleh profesi atau keterampilan tertentu demi memperoleh pekerjaan yang lebih baik.
Relevansi ini tidak berlaku bagi keluarga miskin karena anak-anak mereka pada umur yang sangat muda justeru belajar dan harus mengalami kesulitan/ masalah kehidupan, bahwa yang penting adalah untuk segera dapat memenuhi kebutuhan dasarnya seperti sandang, pangan, dan papan. Sehingga ia belajar bagaimana segera mernenuhi kebutuhan ini dalam berbagai tindakannya yang tidak selalu sesuai dengan harapan lingkungan sosial pada umumnya. Bahkan, hal tersebut dilakukan dengan cara mengeksploitasi anak secara ekonomi, sehingga anak kehilangan haknya untuk dapat hidup secara wajar.
Kelima, kondisi kemiskinan yang pada dasarnya ditandai oleh berbagai keterbatasan terjadinya proses sosialisasi yang dapat menumbuhkan rasa keterikatan emosional. Ikatan emosional yang tinggi terhadap lingkungan keluarga akan sangat terganggu dalam lingkungan keluarga yang tidak memiliki tujuan yang jelas, tanpa memiliki tempat tinggal yang pasti, tanpa bekal yang cukup untuk hidup sendiri lepas dari bimbingan orang tua.
Kondisi dan cara hidup inilah yang merupakan landasan bagi terbentuknya kebudayaan kemiskinan yang mereka miliki. Kemiskinan yang menurut Oscar Lewis, antara lain telah mendorong terwujudnya sikap-sikap menerima nasib, meminta-minta, atau mengharapkan bantuan dan sedekah, sebenarnya merupakan bentuk adaptasi yang rasional dan cukup pandai dalam usaha kemiskinan yang mereka hadapi.
Karena kebudayaan kemiskinan itu lestari melalui sosialisasi, maka usaha-usaha untuk memerangi kemiskinan ialah dengan cara mengubah kebudayaan kemiskinan yang dapat dilakukan dengan melakukan perubahan-perubahan dalam pola sosialisasi anak-anak miskin.

MASALAH KEMISKINAN DAN SOLUSINYA
Ada beberapa pendekatan yang dapat dipergunakan untuk memahami masalah kemiskinan, yaitu pendekatan pendekatan situasional, dan pendekatan interaksional.
Menurut Oscar Lewis dalam Suparlan (1995), kemiskinan adalah suatu budaya yang terjadi karena penderitaan ekonomi yang berlangsung lama. Berdasarkan hasil penelitiannya, Lewis menemukan bahwa kemiskinan adalah salah satu subkultur masyarakat yang mempunyai kesamaan ciri antaretnik satu dengan etnik yang lain. Kebudayaan kemiskinan cenderung untuk tumbuh dan berkernbang di dalam masyarakat-masyarakat yang mempunyai seperangkat kondisi sbb:
1. Sistem perekonomian yang terlalu berorientasi pada mencari keuntungan.
2. Tingginya tingkat angka pengangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga tak terampil atau tidak punya keahlian.
3. Rendahnya upah/ gaji yang diperoleh para pekerja.
4. Tidak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah meningkatkan organisasi sosial dalam bidang ekonomi dan politiknya.
5. Kuatnya seperangkat nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan penumpukan harta kekayaan dan adanya kemungkinan mobilitas vertikal atau kesempatan untuk terus meningkat dalam status, dan sikap hemat, serta adanya anggapan bahwa kemiskinan atau rendahnya status ekonomi disebabkan oleh karena ketidak sanggupan pribadi atau pada dasarnya sudah rendah kedudukannya.
Charles A. Valentine dalam Mubyarto (1995), mengernukakan bahwa ciri-ciri subkultur orang miskin seperti yang digambarkan oleh Lewis bukanlah suatu hasil kebudayaan yang turun temurun. Ciri-ciri itu timbul oleh karena situasi yang menekan. Bilamana situasi yang menekan itu hilang, ciri-ciri tersebut akan hilang dengan sendirinya. Situasi yang menekan tersebut timbul karena struktur total dari sistem sosial yang ada di dalam suatu masyarakat.
Selanjutnya Valentine berpendapat, bahwa untuk mengubah keadaan orang miskin ke arah yang lebih baik harus diadakan perubahan secara simultan dalam tiga hal:
Pertama, penambahan resources (kesempatan kerja, pendidikan, dll). Kedua, perubahan struktur sosial masyarakat.
Ketiga, perubahan-perubahan di dalam subkultur masyarakat orang miskin tersebut.
Herbert J. Gans dalam Suparlan (1995) , yang dikenal dengan pendekatan interaksionalnya mengernukakan, bahwa perilaku dan ciri-ciri yang ditampilkan kaum miskin adalah merupakan hasil interaksi antarfaktor kebudayaan yang sudah tertanam di dalam diri orang miskin dan faktor situasi yang menekan. Gans menolak pendapat Lewis, yang menyatakan bahwa orang miskin di semua negara mempunyai ciri-ciri yang sama. Menurut Gans, orang-orang miskin bersifat heterogen. Sebagian orang miskin menjadi miskin karena warisan generasi sebelumnya. Tapi, ada juga yang miskin secara periodik. Ada pula yang bertambah miskin, sedangkan sebagiannya lagi bertambah baik kehidupannya.
Sebaliknya sebagian dari mereka berorientasi ke atas dan melihat adanya kesempatan untuk maju, sedangkan sebagian lainnya tidak berorientasi demikian dan tidak menggunakan kesempatan yang tersedia untuk meningkatkan kualitas hidup. Pendapat Gans, untuk memecahkan masalah kemiskinan harus dipelajari lebih dulu faktor-faktor apa yang menghambat orang miskin menggunakan kesempatan yang tersedia. Untuk itu, diperlukan suatu pemahaman tentang perubahan yang diperlukan dalam sistem ekonomi, struktur kekuasaan, dan norma-norma serta aspirasi kelompok orang kaya yang ikut memicu timbulnya kelompok orang miskin.

KASUS KELUARGA ANAK JALANAN
Menguak kasus keluarga anak jalanan ada beberapa pendapat tentang fungsi dan peranan keluarga terhadap kesejahteraan sosial keluarga, seperti diuraikan sbb:
Berdasarkan Juklak Pembinaan Kesejahteraan Sosial Keluarga, oleh Direktorat Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial R.I. Tahun 1984, dinyatakan bahwa fungsi dan peranan keluarga dititik beratkan pada masing-masing anggota keluarga. Fungsi ayah sebagai pencari nafkah; sebagai pendidik, sebagai perlindung dan sebagai tokoh peneladanan. Peran ayah adalah mencukupi kebutuhan rumah tangga memberikan pendidikan dan bimbingan kepada putra putrinya; memberikan rasa aman; memberikan perlindungan dari ancaman yang dapat mengganggu ketentraman keluarga; memberikan peneladanan yang baik dan sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku; Mendorong dan membangkitkan semangat putra putrinya.
Fungsi ibu sebagai pendamping suami; sebagai pengurus dan pengatur rumah tangga,sebagai figure; sebagai penerus keturunan, sebagai pendidik dan pembimbing. Peran ibu sebagai pembangkit dan pendorong semangat suami agar suami dapat melaksanakan fungsi dan peranannya; mendorong dan membang¬kitkan semangat putra putrinya; mem¬berikan rasa aman; Mendidik dan membimbing putra putrinya menuju kedewasaan memberikan peneladanan yang baik sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku; sebagai teman bermain dan berbicara dari putra pu¬trinya; mengatur dan mengurus rumah tangga.
Peranan dan tanggung jawab orang tua terhadap kesejahteraan dan hak hak anak berdasarkan Undang Undang R.I. No. 4 Tahun 1979, Pasal 9 dan Pasal 2, yaitu orang tua adalah yang pertama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial (Pasal 9), dan anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asu-han, dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya mau¬pun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar (Pasal 2). Anak berhak atas pelayanan un-tuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna (Ayat 2). Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan mau-pun sesudah dilahirkan (Ayat 3); Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbu-han dan perkembangan dengan wajar (Ayat 4).
Drs. H. Abu Ahmadi menyatakan bahwa keluarga adalah unit/ satuan masyarakat yang terkecil yang sekaligus merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Sedangkan fungsi ke¬luarga yaitu suatu pekerjaan atau tugas yang harus dilaksanakan di dalam atau oleh keluarga itu. Menurut pendapatnya, ada 4 fungsi keluarga:
1. Fungsi biologis, yaitu agar keluarga mempersiapkan perkawinan bagi anak anaknya dengan membekali pengetahuan tentang sex, mengatur rumah tangga, tugas dan kewajiban suami memelihara/ mendidik bagi anak anak;
2. Fungsi pemeliharaan, yaitu; agar keluarga dapat terlindung dari gangguan gangguan udara (menyediakan rumah), penyakit (mengobati), gang¬guan bahaya ( menyediakan senjata, tembok ); fungsi ekonomi, yaitu pemenuhan kebutuhan makan, minum, pakaian, tempat tinggal;
3. Fungsi keagamaan, yaitu keluarga diwajibkan untuk menjalani dan mendalami serta mengamalkan ajaran agama dalam pelakunya sebagai manusia yang takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,'
4. Fungsi sosial, yaitu keluarga mem¬persiapkan anak anaknya bekal se-lengkapnya dengan memperkenalkan nilai nilai dan sikap yang dianut oleh masyarakat serta mempelajari peranan peranannya.
Disimpulkan peranan dan tanggung jawab orang tua terhadap kesejahteraan dan hak hak anak tidak terpenuhi akibatnya fungsi keluarga mengalami kesulitan dan hambatan akibatnya tumbuhlah dengan sendirinya kasus-kasus keluarga anak jalanan


KONDISI SOSIAL EKONOMI ANAK JALANAN
Kemiskinan merupakan salah satu faktor internal yang mendorong anak hidup di jalanan. Kemiskinan menyebabkan keluarga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarga. Untuk memenuhi kebutuhan hidup tersebut, baik dorongan orang tua maupun dari keinginan sendiri, anak mencari tambahan di jalan maupun di tempat keramaian sebagai penyemir sepatu, pedagang asongan atau sebagai peminta-minta dll. Hasil dari usahanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga maupun untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Fak¬tor lain yang mendorong anak menjadi anak jalanan yaitu kurang perhatian dan kasih sayang dari orang tua, se¬hingga anak mencari perhatian dan kepuasan di luar, yaitu bergaul dengan anak-anak jalanan yang senasib, bebas dan tidak terikat keluarga.
Hasil penelitian Makmur Sunusi (1996) terhadap 600 anak menunjukan bahwa 80% anak jalanan disebabkan kemiskinan keluarga, dan 19.7% dise¬babkan oleh faktor adanya hambatan hubungan sosial psikologis dengan orang tuanya. Kemudian hasil survei pemberdayaan anak jalanan di 5 Kota Besar di Indonesia, menunjukan 44.9% adalah masalah kemiskinan struktural, 23.5% adalah perlakuan salah dari orang tua, 21.5% karena kurang kemauan pendidik dan pemerintah, dan 10% karena mendapat uang recehan di kota besar. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa kemiski¬nan lebih dominan mendorong si anak menjadi anak jalanan.
Seperti kasus anak jalanan ke¬luarga Bapak Hasan dalam kajian ini, dengan satu isteri dan 5 anaknya, 3 anak sekolah ditingkat SD lainnya belum sekolah, keluarga Bapak Hasan hidupnya sangat rukun dan sederhana harmonis. Namun bila dilihat dari kondisi sosial ekonomi ke¬luarga, Hasan termasuk keluarga miskin. Kondisi rumahnya sangat memperhatinkan yaitu, setengah tembok (semi permanen), dengan luas rumah 4 x 6 M2, terdiri dari 2 kamar tidur, ruang tamu dan ruang/kamar mandi. Sedang pendapatan sebulan sebagai tukang sapu ditambah dengan pendapatan anaknya sebagai penyemir sepatu kurang lebih sebesar Rp60,000 per bulan. Dengan kondisi rumah yang sempit dan penda¬patan keluarga yang pas pasan ditam¬bah beban tanggungan keluarga berjumlah 7 orang hal ini membawa beban pisikologis. Ketidak mampuan inilah yang menye¬babkan kedua anaknya tergugah ingin membantu orang tuanya dengan melakukan pekerjaan sebagai tukangsemir diterminal Bus dengan menanggung resiko bahaya yang cukup tinggi.
Kondisi tersebut sangat bertentangan antara kebutuhan hidup dan hak hak anak yang semestinya harus tumbuh berkembang untuk dunia anak anak, bukan untuk eksploitasi anak untuk mencari uang di tempat tempat ramai yang banyak dikunjungi orang maupun di jalan jalan dan perempatan lampu merah yang berisiko terhadap keselamatan jiwa si anak. Deklarasi konvensi hak hak anak untuk meningkatkan taraf hidup anak, salah satu pasal pada butir yang berbunyi meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan si anak secara optimal dengan langkah langkah menghilangkan kelaparan, kekurangan gizi dan kekurangan pangan. Bila dikaitkan dengan Undang Undang Kese-jahteraan Anak dan Undang Undang Ketenagaan Kerjaan, anak seharusnya mendapat bimbingan dan perlindungan dari sebelum lahir sampai dengan lahir hingga dewasa (baik dalam hal bermain, kasih sayang dari orang tuannya maupun dalam hal pendidikannya ).
Selanjutnya menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1987, tentang Perlindungan terhadap Anak yang Bekerja, anak tidak dibolehkan bekerja lebih dari 4 jam sehari, anak-anak ti¬dak boleh dipekerjakan pada malam hari, pengusaha harus memberikan upah sesuai dengan peraturan pengupahan yang berlaku. Namun di sisi lain Undang Undang tersebut mengijinkan anak-anak di bawah umur/usia 14 tahun yang terpaksa bekerja, untuk membantu keluarganya atau memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.
Ditinjau dari Program Bimbingan dan Pembinaan Keluarga Sejahtera adalah suatu bentuk pelayanan kesejahteraan sosial bagi keluarga yang bermasalah maupun yang tidak bermasalah untuk mencegah terjadinya/ meluasnya permasalahan kese¬jahteraan sosial keluarga dan dapat meningkatkan kemampuan keluarga/ anggota keluarga.calon ke¬luarga dalam pemahaman dan pemecahan masalah, serta meningkatkan fungsi dan peran sosial keluarga dalam masyarakat dan pembangunan serta kemandirian keluarga. Program ini ditujukan untuk mewujudkan keluarga yang harmonis lahir dan batin sehingga mampu berfungsi sebagai wahana sosialisasi nilai-nilai budaya bangsa dan agama bagi anggota ke¬luarganya.
Dilihat dari peran dan fungsi ke¬luarga kesejahteraan anak, kasus keluarga anak jalanan terserbut, seperti pada keluarga bapak Hasan cukup melaksanakan peran dan fungsinya. yaitu sebagai pencari nafkah, sebagai pendidik, se¬bagai pelindung, pembimbing dan se¬bagai tokoh peneladanan. Hal ini dibuktikan dengan adanya tanggung jawab orang tua terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak anak cu¬kup tinggi, walaupun penghasilan yang diperoleh setiap bulannya relatip kecil. Khususnya dalam hal pendidikan anak-anak yang sudah sekolah di tingkat Sekolah Dasar.
Disamping tanggung jawab terhadap pertumbuhan dan perkembangan pendidikan anak anak juga tanggung jawab terha¬dap bimbingan dan asuhan terhadap anak anaknya cukup tinggi, hal ini terlihat dalam ketidak aktifan keluarga Hasan, pada kegiatan organisasi (PKK, arisan RT), ia lebih mengutamakan mengasuh dan membimbing anak anaknya dirumah. Penyebab anak-anak menjadi anak jalanan (penyemir sepatu), ke¬luarga bapak Hasan mempunyai latar belakang yang berbeda dengan keluarga anak jalanan lainnya. Untuk ke¬luarga bapak Hasan penyebab kedua anaknya (Yudi dan Bambang) menjadi tukang semir sepatu di terminal Bus, karena terdorong dari hati nuraninya ingin membantu bapaknya yang bekerja sebagai tukang sapu dengan gaji sebulan yang tidak mencukupi. Bila dilihat dari jumlah tanggungan keluarga seluruhnya 7 orang, gaji tersebut tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, termasuk jajan dan untuk biaya anak sekolah. Untuk menutupi kekurangannya, karena itulah kedua anak-anaknya mencoba mencari uang tambahan, untuk biaya dirinya maupun adik adiknya.

KESIMPULAN
Atas kajian menyibak kasus kemiskinan hingga terkuak dalam kasus keluarga anak jalanan dapat disimpulkan sbb:
1. Pentingnya, perlindungan terhadap anak dalam rangka mewujudkan Undang Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, serta memperhatikan peran dan fungsi ke-luarga,
2. Untuk mengurangi permasalahan sosial keluarga miskin, guna menghidari adanya tindakan eksploitasi anak, tindak kekerasan terhadap anak dan sejeninya. Dalam hal ini perlu dilakukan penanganan secara khusus, terpadu melibatkan berbagai Instansi pemerintah dan lembaga sosial terkait, terhadap keluarga yang tidak mampu (miskin) yang mempunyai tanggungan anak.
3. Terhadap keluarga anak jalanan, diberi bimbingan dan penyuluhan tentang peranan dan fungsi orang tua terhadap kesejahteraan keluarganya khususnya terhadap anak.
4. Ekonomi keluarga anak jalanan diberi bimbingan keterampilan usaha dan bantuan modal usaha, sehingga hasilnya dapat men-cukupi kehidupan dan kelangsungan keluarganya.
5. Memberikan bantuan atau perbaikan rumah keluarga anak jalanan yang tidak memenuhi syarat sebagai rumah sehat. Bagi anak jalanan yang masih sekolah diberi ban¬tuan bea siswa baik biaya uang seko¬lah, alat dan transportasi.


DAFTAR PUSTAKA
Abu Ahmadi, 1997. Ilmu Sosial Dasar, Jakarta.
Departemen Sosial R.I, 1985 ; tentang Pelaksanaan Pembinaan Kesejahteraan Sosial Keluarga, Jakarta.
______, 1996. Program Bimbingan dan Pem¬binaan Keluarga Sejahtera Repelita VI, Direktorat Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial, Jakarta.
Lina Favaurita Sutiaputri , 2004.Jurnal,” Aksi Sosial” Tahun I
Perserikatan Bangsa Bangsa, 1990 ; Konvensi Hak - Hak Anak, New York.
Sunusi, Makmur, Beberapa Temuan Lapangan Survei Anak Jalanan dan Rencana Penanganannya di DKI Jakarta dan Surabaya, Departemen Sosial. UDP, Jakarta, 1996.
Undang Undang R.I. Nomor 4 Tahun 1979 ten-tang Kesejahteraan Anak, Jakarta. Media Informasi, 2000. Puslitbang Kessos, BKSN, Jakarta.
Jakarata , Oktober 2009

MEMPOSISIKAN PEKERJA SOSIAL
DALAM PENGEMBANGAN E-GAVERNMENT
DI INDONESIA
Oleh
DASUKI )
I. PENDAHULUAN
Departemen Sosial setidaknya dikenal masyarakat banyak sebagai “corongnya pemerintah” dalam dan untuk ”pengentasan masalah-masalah sosial” maka sudah selayaknya berperan aktif menyebar luaskan kegiatan-kegiatan kepemerintahan, hasil-hasil pembangunan dengan segala upayanya dan permasalahannya di bidang kesejahteraan sosial. Seiring sejalan dengan tumbuh dan kembangnya ledakan informasi karena kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) atau information, communication and technology (ICT) yang berakibat pada jumlah informasi semakin luas, maka informasi baik dan benar sangat dibutuhkan penyebaran dalam penanganan masalah-masalah kesejahteraan sosial di Indonesia , untuk itulah diperlukan pekerja-pekerja sosial masyarakat yang profesional pula.
Namun dalam pada itu juga umumnya para professional yang sibuk dengan pekerjaannya sangat memerlukan informasi yang sifatnya cepat, akurat, mudah yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu sebagai pemakai aktif, belum lagi pemakai pasif dan calon-calon pemakai potensial.
Sementara hak untuk memperoleh informasi adalah merupakan hak dasar rakyat Indonesia, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 pasal 28 f, bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Artinya apa bahwa sudah sewajarnya tuntutan dan hak kepentingan masyarakat untuk memperoleh informasi, harus di ikuti kewajiban pemerintah dan/ atau pemerintah didaerah menyediakan saluran atau institusi yang bertanggung-jawab. Dilingkungan pemerintahan sarana prasarana pendukung sesuai dengan kemajuan TIK dan dinilai cukup efektif dan efisien dengan diwujudkannya E-Government.
E-Government adalah merupakan sebuah model pengembangan hubungan antara pemerintah dan masyarakat dengan memanfaatkan secara intensif dan ekstensif berbagai perangkat teknologi, informasi dan komunikasi guna mencapai bentuk penerapan tata kepemerintahan yang baik dalam “good public government”.
Dengan sasaran tersebut diharapkan terwujudnya pemerintahan yang lebih baik, lebih bersih, lebih responsif terhadap kebutuhan dan keinginan masyarakat, lebih adanya keterbukaan dan transparansi dengan akuntabilitas tinggi. Dilain pihak masyarakat diharapkan lebih mudah memperoleh informasi dari layanan pemerintahan bahkan masyarakat mitra pemerintah dalam hal perpanjangan tangan pembangunan, dan pada akhirnya diharapan meningkatnya partisipasi masyarakat dalam keikut sertaan penyelenggaraan pembangunan itu sendiri, disamping keperluan untuk dirinya sendiri yang juga bermuara pada kecerdasan kehidupan bangsa pada umumnya.

II. PEKERJA SOSIAL SEBAGAI AGEN INFORMASI KESEJAHTRAAN SOSIAL
Konstelasi perjalanan politik Negara dari era sentraliassi ke era desentralisasi dewasa ini telah banyak mengalami perubahan drastis, sejak era reformasi. Indonesia pernah mengalami masa suram dalam penyaluran informasi. Sebelum terjadinya reformasi banyak informasi-informasi yang tenggelam tidak sampai dibiarkan tersebar di tengah masyarakat bahkan ada yang ditenggelamkan. Namun setelah mengalami era reformasi, informasi-informasi yang sebelumnya tersumbat / dijauhkan dari masyarakat mulai dapat dikonsumsi. Dan salah satu agen penyalur informasi paling dominan pada saat kini adalah mess media bahkan dalam era digital dewasa ini terbuka peluang bagi setiap orang untuk menjadi agen informasi melalui bantuan teknologi digital. Kondisi ini dapat kita ketahui dan dibuktikan dengan maraknya tayangan video amatir di televisi, dengan masalah sosial mulai dari tema pilkada, bencana alam, masalah kerusuhan, hingga teror bom dan seterusnya yang cukup memprihatinkan.
Kita sadari bahwa saat ini telah terjadi proses otonomi daerah yang lebih luas dengan desentralisasi tugas dan tanggung jawab besar pemerintah pusat ke pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Dimana daerah memperoleh kesempatan lebih besar untuk menentukan sendiri fokus pembangunan daerah dengan memanfaatkan semaksimal mungkin sumber daya dan potensi daerah dengan perangkat daerahnya.
Salah satu perangkat baik pusat maupun daerah yang dibutuhkan dalam kerangka keterkaitan penyebaran informasi kesejahteraan sosial adalah pekerja sosial, dengan perkataan lain bahwa pekerja sosial agen perubahan pembangunan corong dan mitra untuk masyarakat. Sayangnya selama ini pengertian pekerja sosial sebagai perorangan ataupun dibawah badan atau institusi hanya dianggap mereka sebagai atau sekedar “tempat sumber infomasi” dengan perkataan lain sebagai sumber daya manusia yang belum mendapat perhatian dan penghargaan masyarakatnya masih kurang. Padahal di era otonomi daerah sekarang ini jasa mereka sangat penting sebagai sosial agen informasi dibidang kesejahteraan sosial di daerah-daerah.
Sampai saat ini pula pekerja sosial dalam masyarakat, identik sama dengan Tenaga Kesejahteraan Sosial Masyarakat (TKSM) merupakan salah satu komponen masyarakat yang dapat diandalkan sebagai mitra kerja Departemen Sosial dalam pelaksanaan usaha kesejahteraan sosial, karena TKSM adalah warga masyarakat yang peduli, memiliki wawasan dan komitmen pengabdian di bidang sosial kemanusiaan.
Pada dasarnya rasa kemanusiaan dan rasa sosial masih tebal bersemayam di hati sanubari setiap warga masyarakat terutama yang bertempat tinggal di pedesaan, di kampung-kampung atau di tingkat RT/RW diwilayah kota/daerah sub urban. Mereka memiliki sifat kodrat manusia, hal ini terbukti dengan masih kuatnya tradisi saling tolong menolong baik secara gotong-royong maupun secara perorangan, mereka semuanya merupakan relawan sosial yang mengemban nilai-nilai kesetiakawanan sosial, salah satu warisan nenek moyang bangsa Indonesia yang sangat luhur dan tinggi harganya.
Agar visi misi mereka sejalan searah dengan program pembangunan nasional mereka perlu diberdayakan untuk ditumbuh kembangkan serta dibentuk dan diwujudkan dalam wadah Wahana Kesejahteraan Sosial Berbasis Masyarakat (WKSBM) kemudian dilatih dalam diklat bidang kesejahteraan sosial sebagai kader bangsa.
Di negara kita sektor pelayanan Kesejahteraan Sosial belum mendapat perhatian cukup baik namun kedepan arah kita kesana. Kita usahakan agar dalam RAPBN atau RAPBD dana untuk kesejahteran sosial ditingkatkan”. Yang jelas, jika bidang kesejahteran sosial nasional sudah dilaksanakan maka pembangunan kesejahteraan sosial, baik struktur maupun infrastrukturnya akan menjadi perhatian utama dari pemerintah.
Seiring dengan hal itu “Perkembangan teknologi informasi yang semakin global menuntut pekerja sosial bersiap diri. Tidak saja lebih profesional, tetapi juga mencermati konteks pemahaman basis pengetahuan sebagai pola pikir baru. Sejalan dengan hadirnya Undang undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sudah sewajarnya kemandirian dan kemampuan sangat penting untuk eksistensi pekerja sosial” . Artinya, pekerja sosial tidak lagi cuma sekedar menggantungkan diri kepada Pemerintah atau pemerintah daerah, tetapi perlu melakukan berbagai innovási untuk menjaga keberadaan atau eksistensi mereka.
Dalam konsep pengembangan dan pembangunan pekerja sosial dapat lebih diintensifkan fungsinya sebagai salah satu sumber atau agen informasi pembangunan pusat dan daerah dengan memanfaatkan berbagai sistem dan TIK, dimana melalui jasa pekerja sosial dimungkinkan transfer informasi lebih cepat, murah, efektif dan efisien. Bahkan dapat membantu program pemerintah sebagai contohnya tenaga pendampingan yang ada dilapangan di daerah salah satu desa yang sulit agak terpencil di Kabupaten Jawa Timur dalam Program Keluarga Harapan (PKH) seorang pendamping dapat dengan mudah memberikan informasi melaporkan perkembangan warga binaannya langsung ke Departemen Sosial pusat.
Fungsi pekerja sosial sebagai penyebarluasan informasi dapat diintensifkan dengan pemberian layanan kediklatan pembentukan kader sosial dalam model informasi yang beragam sehingga dapat memberikan nilai tambah. Pemahaman dan pemikiran yang integral tentang pekerja sosial sebagai salah satu perangkat yang dapat mendukung program pemerintah termasuk pemerintah daerah, akan berdampak positip sekaligus meningkatkan nilai tambah pembangunan daerah sebagai salah satu aktor pembangunan, yang mempunyai fungsi sebagai sumber informasi ilmu pengetahuan teknologi dan kebudayaan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional.
Dalam arti ini andai saja esensi-esensi pekerja sosial tersebut dipahami sebagai sumber informasi sekaligus sumberdaya manusia, yang dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dan menunjang pelaksanaan pembangunan”, bukan mustahil pekerja sosial tidak akan hanya dianggap atau dipandang sebelah mata sebagai orang perorangan atau mereka yang dibawah institutusi sekedar “ada tapi tiada” atau hanya sekedar sebagai pelengkap penderita, tetapi menjadi keharusan ada untuk ikut serta berperan aktif bersinerji sebagai salah satu aktor pembangunan dan bersama-sama bervisi maju menatap kedepan.

III. PEKERJA SOSIAL DALAM PENGEMBANGAN E-GOVERNMENT
Perkembangan ilmu pengetahuan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat cepat dan pesat terutama dengan keberadaan Internet, handphone dan alat komunikasi lainnya, menghendaki suatu tata pemerintahan harus dapat segera menyesuaikan, mengadaptasi dan memanfaatkan perkembangan teknologi masa kini.
Dengan memanfaatkan teknologi masa kini tersebut, sudah saatnya dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis elektronik atau electronic-government (e-government), dan dibidang pekerjaan sosial membutuhkan pekerja-pekerja sosial yang memiliki ilmu dan kompetensi.
Banyak negara mulai mencoba mengadaptasi perkembangan Internet dengan mengimplementasikan sistem yang diyakini merupakan bentuk dari e-government, dan yang diyakini pula memiliki potensi besar dalam kerangka merevolusi penyelenggaraan pemerintahan dan pendemokrasian masyarakat. Termasuk Indonesia sejak beberapa tahun yang lalu pemerintah sebenarnya sudah menerapkan dimensi elektronik dengan kebijakan Instruksi Presiden RI No. 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan strategi nasional pengembangan E-Governement, dengan maksud bahwa kemajuan TIK yang pesat serta potensi pemenfaatannya secara luas membuka peluang bagi pengaksesan, pengelolaan dan pendayagunaan informasi dalam volume yang besar secara cepat dan akurat. Disamping itu yang lebih penting bahwa dengan pemamfaatan TIK dalam proses pemerintahan (e-government) akan meningkatkan efisiensi, efectivitas, transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan.
Sayang sekali perkembangan e-government di Indonesia sendiri belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Satu dan lain hal banyak kendala yang muncul mulai dari masalah ketersediaan infrastruktur yang masih terbatas, sampai dukungan semua pihak baik masyarakat, dunia usaha dan pemerintah sendiri belum seperti yang diharapkan. Dilain pihak keterbatasan kapasitas sumber daya manusia baik pada pemerintah maupun pemerintah daerah dan kemampuan e-literacy masyarakat, sarana dan prasarana dalam wujud infrastruktur dan aplikasi dasar dimana prasarana baik berbentuk perangkat keras dan perangkat lunak yang diperlukan untuk mendukung pengelolaan, pengolahan, transaksi dan penyaluran informasi, dan lain sebagainya sehingga harapan pengembangan e-government di negara kepulauan Negara Kesatuan RI (NKRI) ini belum terwujud sebagaimana mestinya.
E-Government memungkinkan dilakukannya transaksi yang berhubungan dengan sistem pemerintahan dalam setiap saat dan dari manapun seseorang berada dapat dilakukan. Sementara penduduk mendapatkan informasi dan melakukan aktivitas yang proaktif, beriring dengan orang-orang di dalam pemerintahan bekerja antusias menggunakan TIK, menghasilkan sesuatu yang berbeda, menggunakan jaringan untuk melayani publik. Sementara itu institusi swasta menikmati interaksi yang cepat dan mudah sehingga meningkatkan perhatian publik.
Pengembangan e-government dimaksudkan sebagai salah satu metode untuk memaksimalkan efisiensi bisnis pemerintahan dan mengefektifkan bagian yang berhubungan dengan penyaluran layanan (services) kepada publik, penyebaran informasi (information dissemination), dan dapat mengurangi anggaran seperti biaya cetak (publishing) dengan membuat versi elektronik dari dokumen-dokumen yang tersedia sehingga memungkinkan penghematan anggaran negara. Salah satu cara yang banyak dilakukan adalah dengan membangun portal atau situs pemerintahan di Internet.
Contoh sederhana : Undangan Rapat atau apa saja tidak lagi perlu disampaikan dalam bentuk tercetak, yang tentunya memerlukan biaya ketik, kertas, amplop, termasuk biaya kirim dan sebagainya dengan demikian alur information dissemination dalam lingkup e-gavernment, hanya cukup dengan klik e-mail. Contoh lain yang lebih konkrit sekarang ini ada surat edaran Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) No. B.60.50/KPK/I/2007 Tgl. 11 Januari 2007 tentang Saran Pimpinan KPK untuk segera mengumumkan rencana pengadaan barang/jasa TA 2007 di situs Internet (E-Announcement). Bahwa dikehendaki rencana pengadaan barang dan jasa pemerintah secara elektronik (www.pengadaannasional-bappenas.go.id) atau E-Announcement, telah diresmikan oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional bersama Menteri Komunikasi dan Informasi didampingi oleh Ketua KPK pada tgl. 5 Januari 2007 yang lalu. Pertanyaan muncul? Apakah pemerintah dengan segala atributnya dan masyarakat itu sendiri sudah siap? Bagaimana dukungan, perhatian dan kepedulian Pekerja sosial berbasis elektronik (e-library)?.

IV. PERAN DAN FUNGSI PEKERJA SOSIAL DALAM MASYARAKAT PADA PENGEMBANGAN E- GOVERNMENT
A.Keadaan
Ketatalaksanaan program diklat kesejahteraan sosial dan pengadaan jumlah pekerja sosial didaerah-daerah yang berada diluar pulau Jawa, nampaknya masih kurang karena kurang dukungan oleh pemerintah daerah, peran pekerja sosial belum berjalan baik sesuai dengan apa yang diharapkan dalam tataran program Diklat Kesejahteraan sosial Departemen Sosial, khususnya akan keberadaan dan peran Petugas Sosial (Pekerja Sosial) pada instansi Dinas Social atau instansi pemerintah lainnya, sementara itu pemerintah(Departemen Social RI) juga sedang menggalakkan jabatan fungsional bagi PNS yang lebih besar dari pada jabatan struktural,
Untuk PNS bagi mereka yang melaksanakan kegiatan pekerjaan social diangkat dalam Jabatan Fungional Pekerja Sosial (JFPS) yang diatur oleh Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: Kep/03/M.PAN/1/2004 Tgl.16 Januari 2004 tentang Jabatan Fungsional Pekerja Sosial dan Angka Kreditnya kemudian diperkuat dengan Keputusan Bersama Menteri Sosial dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor:05/HUK/2004, Nomor :09 Tahun 2004 Tgl.8 Maret 2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial dan Angka Kreditnya.
Namun dalam kenyataan dilapangan ada kemungkinan ( beberapa tahun kedepan bilamana tidak diiringi dengan perhatian, pembinaan dan pengelolaan dengan baik tidak mustahil akan berkembang) dengan kata lain tenaga Peksos akan hidup enggan mati tidak, kurang perhatian tidak jelas kemana dan bagaimana pembinanya, ditambah lagi dengan keberadaan dan peran TKSM (PSM, Karang Taruna, dan Pengurus Orsos) sebagai pekerja sosial turut menurun dan bahkan mulai hilang, walaupun keberadaan secara fisik ketenagaannya masih ada (orangnya tertentu tidak bertambah).
Maka bilamana tidak ada komitmen pemerintah daerah dalam program pelayanan social yang profesional secara perlahan pekerja social tetap tidak menarik dalam era desentralisasi. Walaupun dalam pada itu Departemen Sosia RI telah memprediksikan keadaan ini dengan mengkoordinasikan kepada Badan Kepegawaian Daerah diseluruh Indonesia memberikan masukan pada pemda Bupati/ Walikota bahkan terhadap seluruh, untuk meningkatkan keberadaan pekerja sosial namun tergantung pada keseriusan Otonomi daerah akibatnya berdampak bagi aparatur dinas sosial maupun TKSM sebagai tenaga SDM dibidang Kesejahteraan sosial, yang belum dan tidak menjadi perhatian serius serta tidak terarah dalam pembinaan pekerjaan sosial, akhirnya keberadaannya akan tidak ada dan tidak jelas pembinaannnya baik di provinsi, kabupaten / kota apalagi sampai pada tk Kec baik diinstansi pemerintah maupun tenaga peksos di masyarakat.
B.Masalah.
Pengorganisasian tatalaksana kelembagaan dinas /badan sosial pada tingkat provinsi terhadap program pembinaan pekerja sosial bahwa penyebab utamanya adalah ketidak tepatan (kekeliruan) dalam memanage pembangunan dibidang kesejahteraan sosial yang berkenaan dengan pengadaan JFPS dan kemungkinnya dalam ketata pelaksanaan program sosial, dengan tidak jelas siapa yang bertanggung jawab penanganan kegiatan untuk SDM Kesejahteraan sosial bahkan tidak tahu/ tidak jelas apakah langsung dilaksanakan keberadaannya oleh BKSD (Badan Kesejahteraan Sosial Daerah) atau BKD/ BAPLP Daerah (Badan Administrasi dan Pendidikan Latihan Pegawai) yang membawahi Balai Diklat Propinsi atau kemungkinana keterbatasan SDM bidang kesejahteraan pada BKSD/BKD/BAPLP. Memang akan sulit dalam mewujudkan peksos fungsional dilakukan dalam diklat daerah, itupun apa sudah pernah adanya diklat jabatan pekerja sosial fungsional bagi PNS yang kemudian pemamfaatan secara operasional digunakan oleh BKSD atau dinas sosial provinsi, kabupaten / kota, sehingga akan terdapat adanya koordinasi, singkronisasi program kesejahteraan sosial didaerah dalam pengadaan pekerja sosial.
Persoalan yang dihadapi kedepan adalah bagaimana dan dari mana memulai membangun pemerintahan yang baik (good govemance) kususnya dalam penanganan masalah kesejahteraan sosial, secara konseptual perlu dipikirkan upaya membangun pemerintahan dengan leading sektor bukan hanya kemajuan ekonomi semata, tetapi harus dikedepankan dengan panglimanya adalah kesejahteraan sosial masyarakat, perlu disadari antara teori dan praktek masih terdapat kesenjangan yang tajam, tetapi kesenjangan itu jangan dibiarkan berlarut-larut sehingga penanganan pekerjaan sosial menjadi kropos tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat.
C.Upaya Mengatasi Masalah
Peran dan fungsi pekerja sosial tidak terbatas informasi pemerintahan yang diperlukan oleh masyarakat atau pemakai, tetapi juga banyak informasi sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dimana terjadi ledakan atau banjir informasi dalam masalah-masalah sosial. Akankah pekerja sosial dapat memamfaatkannya, membiarkan begitu banyak informasi berada dimana-mana, dan kemana-mana, dan membiarkan masyarakat pemakainya akan lebih sulit memperoleh dan penanganannya.
Untuk mengatasi masalah peksos perlu mengumpulkannya di dalam satu unit layanan bagi pekerja sosial akan lebih menjamin keberadaan mereka. Tentunya menuntut tugas yang tidak ringan tatkala dikehendaki Pekerja sosial ataupun TKSM harus mampu menyaring dan menjaring informasi, dengan perkataan lain bagaimana mengakses, menelusur, mengklarifikasi informasi sehingga memudahkan pencarian dan penemuan kembali bagi yang berkepentingan.
Pada kondisi lain pekerja sosial sebagai perorangan bisa dipandang sebagai orang yang mampu melakukan ”pendidikan non formal” yang bisa berperan mengatasi masalah sosial dilingkungannya dan dapat menunjang pendidikan sepanjang hayat (long live education). Oleh karenanya pekerja sosial sebagai TKSM harus bisa diakses bagi semua lapisan masyarakat. Dalam kondisi demikian pekerja sosial bisa dipandang berperan sebagai agen perubahan, sekalipun itu hanya terbatas bagi penggunanya. Untuk itulah kemampuan seorang pekerja sosial diperlukan kecanggihan di dalam pengelolaan mengatasi masalah-masalah sosial, dan salah satunya dalam wujud pengelolaan pengetahuan yang akrab disebut dengan knowledge management (KM).
Dengan kemajuan TIK maka upaya untuk mengatasi masalah pekerja sosial didaerah yaitu adanya komitmen kepala pemerintah daerah dan komitmen pejabat dinas sosial setempat, tantangan kedepan dan kebutuhan hari ini, sudah waktunya dimulai dan di apresiasi melalui pekerja sosial akan menghasilkan keberaksaraan informasi atau melek informasi (information literacy) dan pada akhirnya akan menghasilkan hasil/ keluaran penelusuran yang bermanfaat (product outcome) dibidang sosial.
Dalam bidang pemerintahan untuk mengatasi masalah pengadaan peksos serta SDM kesejahteraan sosial didaerah dapat saja dilaksanakan komitmen kerjasama Pusdiklat kesos Departemen Social / Biro Kepagawaian Departemen Social RI dengan BKSD/BKD/BAPLP yang ada di Provinsi,Kabupaten /Kota dalam segala aspek SDM dengan dukungan dananya.
Jadi pada hakekatnya bagi pekerja sosial itu sendiri akan menjadi pekerja pengetahuan (knowledge workers) dimana knowledge workers memegang peran sentral dalam KM. Pekerja sosial diantaranya dituntut untuk memahami pelbagai bidang ilmu, sehingga bila ada pemakai yang membutuhkan informasi dapat dirujuk secara detail. Semua kegiatan tersebut bertujuan untuk memudahkan pemakai mengoptimalkan informasi yang dibutuhkan oleh dan dari lingkungan mereka.

V. BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DALAM TATANAN E-GOVERMENT
Tataran implementasi kehidupan masyarakat berbasis informasi bidang kesejahteraan sosial dan aplikasi teknologi, dilain pihak adanya kesenjangan pemenuhan tenaga pekerja sosial, beberapa hal yang mempengaruhi dan perlu penguatan, antara lain :
1. Sumber Daya Manusia. Ada kebutuhan baru dari keahlian para pekerja sosial dalam TIK yang bertindak sebagai mediator antara pemakai dan teknologi dalam proses temu kembali informasi dalam program-program pembangunan kesejahteraan sosial dan/atau pelatihan harus ditempatkan untuk meningkatkan keahlian dan ketrampilan. Bila dipandang perlu juga merevisi pola layanan pembangunan sosial untuk menciptakan jalur karier tersendiri dalam staf profesional dan administrasi. Dengan perkataan lain perlu memiliki kompetensi baik kompetensi individual maupun profesional guna mendukung KM.
2. Teknologi. Para pekerja sosial harus memanfaatkan teknologi secara tepat guna dan hasil guna, secara luas untuk memberikan tingkat layanan yang lebih luas. Sebagai contoh : Pemanfaatan komputer, internet, intranet; laptop (notebook); personal data access (PDA); bahkan sekarang pemanfaatan telepon selular (handphone) dan lain sejenisnya yang bermanfaat bagi mempersingkat pelaksanaan dalam penyelenggaraan layanan yang lebih cepat, tepat, akurat dan lebih baik.
3. Organisasi. Untuk memadukan kecanggihan teknologi di satu sisi, sementara di sisi lain tersedianya sumber daya manusia yang memadai dengan kemampuan dan keterbatasannya tentunya perlu dikoordinasikan melalui peran organisasi, baik dilingkungan pemerintah maupun swasta. Sayangnya organisasi di lingkungan pemerintahan masih banyak dikehendaki pada level-level tertentu yang sangat dimungkinkan perkembangannya pada tingkat ketergantungan ”sektornisasi” yang memadai. Untuk itu perlu penguatan kelembagaan dinas sosial pada segala tataran yang mampu mendukung pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya, dengan kata lain bisa menjamin sebagai institusi publik yang demokratis dalam melayani kebutuhan informasi kesejahteraan sosial bagi masyarakat.

VI. PENUTUP
Eksistensi pekerja sosial ke depan mampu berperan sebagai salah satu agen penyebaran informasi dalam bidang masalah kesejahteraan sosial, disamping pendapat lain sebagai agen perubahan masyarakat, pembaharuan masyarakat, guru pembelajaran bagi masyarakatnya, dan lain sebagainya banyak bergantung bagaimana menjadikan KM yang andal.
Kemajuan TIK mengharuskan perubahan paradigma pekerja sosial, bahwa sejatinya kegiatan utama pekerja sosial dalam penanganan masalah – kesejahteraan sosial sangat identik dengan kegiatan KM sehingga bagaimana seorang pekerja sosial memodifikasi apa yang diisyaratkan setidaknya memiliki kompetensi baik individual maupun profesional untuk mensikapi dan mengantisipasinya.
Sejalan dengan perkembangan TIK dilain pihak, jangan dilupakan pula pada kenyataannya bahwa semakin luas berkembangnya masalah sosial yang memprihatikan, untuk itu perlu perhatian,komitmen dan dukungan yang lebih serius dari semua pihak, jangan hanya sekedar omong doang (omdo) atau hanya terbatas pada tataran wacana, tetapi (ini merupakan tugas pemerintah) merubah menjadikannya sebagai tataran kebijakan artinya ada realita/bukti terwujudnya keberadaan pekerja sosial dalam operasionalisasi khususnya bagi pekerja sosial yang keberadaannya diluar Jawa..
Jakarta September 2009

(Suatu kajian strategis dalam mendesign pemberdayaan KAT)
(Oleh;Dasuki.*)
BAB. I. PENDAHULUAN
1. Diskripsi
Curahan perhatian Pemerintah terhadap pembinaan kesejahteraan bagi Komunitas adat terpencil (KAT) yang dulu popular dengan sebutan sebagai masyarakat suku terasing dengan berbagai pendekatan sosial budaya telah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan telah menunjukkan hasil-hasilnya sejak memasuki awal PJP I akan terus disempurnakan, sekalipun masih banyak hal lainnya yang belum dapat diwujudkan, Dalam kenyataannya, masih diakui bahwa sampai zaman Reformasi dewasa ini masih "terdapat kesenjangan mutlak antara taraf sosial budaya KAT dengan keadaan bangsa Indonesia secara rata-rata sebagai bangsa di masa kini. Bahkan taraf keberadaan komunitas adat terpencil bersangkutan menjadi kendala dalam usaha pembangunan Nasional.1)
Taraf keberadaan suatu komunitas suku bangsa memang mempunyai kaitan yang cukup erat dengan usaha-usaha penanganan dan pemberdayaan atau usaha-usaha pembangunan yang diterapkan kepada mereka. Secara Politik mempengaruhi akselerasi dan sub-sistem lainnya, sehingga pada gilirannya membawa implikasi terhadap performa sistem secara keseluruhan. Olah sebab itu diperlukan adanya intervensi melalui pendekatan- pendekatan baru dalam rangka mendinamisasi sub- sistem yang terdapat pada KAT agar secara bertahap dengan kultural dapat memberdayakan sehingga mampu mengejar ketertinggalan dan menciptakan keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan yang sejahtera.
Persoalannya adalah bahwa intervensi yang dilakukan terutama dalam bentuk program penanganan dan pemberdayaan belum dilaksanakan melalui pendekatan sosial budaya yang utuh selama ini sehingga apa yang telah dilakukan belum sepenuhnya dapat diterima atau diadop maupun beradaptasi dengan mudah bagi komunitas adat terpencil.
Dari perspektif kebudayaan, hal tersebut dapat dipahami karena segala perubahan akan mengalami penolakan jika (1) perubahan tersebut dipaksakan oleh pihak lain (2) perubahan
tersebut tidak dipahami (3) perubahan yang terjadi dinilai sebagai ancaman terhadap nilai-nilai
___________________________________
1).Haryati Soebadio (Menteri Sosial Rl) Pengkaiian Calon Lokasi Pembinaan Masvarakat Terasing. Departemen Sosial Rl, Jakarta, 1999, 1-2

penduduk atau masyarakat yang bersangkutan.2) Oleh para pakar kebudayaan dipersepsikan
bahwa kebudayaan itu berakar dalam kehidupan sosial dan pribadi dari warga masyarakat yang bersangkutan dan bukan sesuatu yang dapat dipaksakan kehadirannya oleh "atasan" ataupun oleh "orang luar".
Atas dasar referensi tersebut maka memahami latar belakang kehidupan sosial budaya, merupakan sesuatu yang menjadi prasyarat mutlak dalam upaya melakukan penanganan dan pemberdayaan KAT sehingga lebih aspiratif dan dapat mempercepat tingkat kesejahteraan sosial yang seutuhnya.
Reinventing dalam pendekatan sosial budaya diwujudkan berdasarkan kaedah yang benar, tepat dan relevan tidak akan menimbulkan dampak kegoncangan dalam struktur sosial masyarakat KAT. Bagaimana menempatkan keseluruhan segi reinventing kedalam struktur dan kultur sosial budaya dan juga politik untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Bahkan manakala secara konsisten pendekatan sosial budaya yang integratif dan aspiratif dilaksanakan dengan sebaik-baiknya selain akan mewujudkan dan meningkatkan kesejahteran KAT, yang diharapkan pada gilirannya akan berdampak menciptakan dan memantapkan kesejahtaraan bangsa.
Kajian dalam tulisan ini merupakan sumbangan pemikiran dalam mendesign, membantu menyelesaikan salah satu masalah bangsa, dalam hal ini penanganan dan pemberdayaan KAT melalui pendekatan sosial budaya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan sosial bangsa. Berdasarkan referensi yang sempat dikaji serta berbagai keterbatasan maka, ruang lingkup ini dibatasi pada reinventing dalam pendekatan sosial budaya yang bermuatan kepercayaan (agama), pendidikan, hukum dan kesejahteraan sosial. Ruang lingkup pembahasan sengaja dipilih beberapa aspek/ bidang sosial budaya tersebut, mengingat cakupannya yang amat luas termasuk antara lain aspek/bidang Kesehatan, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan dan teknologi, kebudayaan, kesenian dan pariwisata.
2. Metode kajian dalam reinventing pemberdayaan KAT
Kajian pembahasan dalam penulisan naskah ini berdasarkan teori dan referensi yang konprehensif integral, yang bermakna terhadap reinventing dalam pendekatan sosial budaya dan mengandung unsur-unsurnya yang luas serta utuh tanpa mengesampingkan aspek-aspek atau bidang-bidang terkait, bahkan dikaitkan pula dengan aspek/bidang pada seluruh dimensi lainnya, seperti dimensi ideologi,politik,ekonomi,dan hankam. Dengan sistimatika tulisan ini berdasarkan alur pikir dan urutan logis , sehingga tersusun tata urut sbb :
___________________________________
2).Ibid,hal 2
Bab I : Pendahuluan memuat diskripsi pemikiran yang mendasari seluruh isi naskah dengan maksud dan tujuannya, ruang lingkup, metode pendekatan dalam pembahasan dan tata urut penulisan, serta beberapa pengertian pokok dari sejumlah kata kunci yang memerlukan definisi operasional sehingga pembaca dapat memahami maksud setiap kata kunci yang terdapat pada judul/topik.
Bab II : Landasan pemikiran pada hakekatnya penanganan dan pembudayaan komunitas adat terpencil didasarkan pada landasan pemikiran yang bersumber utama dari kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Kecendrungan pemikiran yang dipergunakan dalam penulisan ini atas dasar landasan konstitusional, konsepsional, dan operasional dalam aktualisasi konsep secara operasional dilapangan terkait dalam penanganan dan pemberdayaan komunitas adat terpencil dengan pendekatan sosial budaya.
Bab III : Reinventing pemberdayaan KAT dewasa ini; memuat semua aspek/pendekatan bidang sosial budaya dalam penanganan dan pemberdayaan komunitas adat terpencil dewasa ini disesuaikan dengan pembatasan ruang lingkup berdasarkan paradigma pembangunan sosial, yaitu aspek agama, pendidikan, hukum dan kesejahteraan sosial serta keterkaitannya dengan dimensi-dimensi lain dalam Ideologi, politik, ekonomi,dan Hankam.
Bab IV : Perkembangan lingkungan strategis berisi pengaruh langsung ataupun tidak langsung dari lingkungan strategis terhadap upaya penanganan dan pemberdayaan KAT yang secara signifikan memberikan dampak peningkatan kesejahteraan sosial mereka.
Bab V : Reinventing Pemberdayaan KAT yang diharapkan; memuat substansi tentang keadaan dan kondisi pendekatan sosial budaya yang diharapkan berdasarkan persandingan dan perbandingan dengan kondisi aktualisasi pendekatan sosial budaya dalam penanganan dan pemberdayaan komunitas adat terpencil dewasa ini.
Bab VI : Konsep reinventing pemberdayaan KAT memuat kebijakan dan strategi tentang pendekatan sosial budaya dalam pemberdayaan KAT, melakukan perumusan kebijakan, strategi dan upaya pendekatan sosial budaya secara konsepsional dan operasional.
Bab VII : Penutup berisikan kesimpulan dari seluruh pembahasan judul dan sekaligus menyampaikan saran berdasarkan analisa dan kesimpulan yang diberikan,
3. Pengertian.
Pengertian sebagai makna operasional dalam pembahasan dan penulisan ini dipilih dan dipahami sbb ;
a. Reinventing adalah perwujudtan dan pelaksanaan sesuatu tugas dan fungsi yang strategis dalam menata kembali pembangunan sosial sehingga menjadi nyata dan agar dapat diukur.
b. Pendekatan adalah suatu ancangan dan cara-cara yang ditempuh secara sistimatis dan metodologis untuk melaksanakan sesuatu.
c. Sosial/budaya adalah hal-hal yang terkait dengan disiplin keilmuan sosial budaya.
d. Pemberdayaan dimaknakan sebagai serangkaian upaya yang bercirikan pembimbingan, pendampingan dan menjadikan obyek/sasaran semakin berkemampuan dan berdaya dalam peningkatan dirinya secara mandiri dan kolektif.
e. Komunitas adat terpencil (KAT) adalah komunitas/kelompok masyarakat yang berada di daerah/wilayah terpencil, hidup berladang dan berpindah-pindah (tidak menetap) tanpa fasilitas/sarana modern, yang sering disebut sebagai masyarakat (suku) terasing dalam
f. perkembangannya sejumlah kalangan berkeberatan dengan lebel suku terasing karena mengesankan adanya stigma yang negative, terbelakang tidak berbudaya Berdasarkan pertemuan tokoh-tokoh Adat Nusantara yang diselenggarakan pada tahun 1999 di Jakarta, bahwa istilah suku/masyarakat terasing pada komunitas ini yang dilekatkan kepada mereka, karena masih mengesankan sikap merendahkan dan menghinakan terhadap komunitas : “suku” atau "Masyarakat Terasing” tersebut. Sehingga mereka kemudian memproklamasikan dengan istilah “Komunitas Adat Terpencil”.3)
g. Kesejahteraan, diartikan sebagai suatu kondisi masyarakat yang makmur, aman dan sejahtera material, spiritual dan sosial.

BAB. II. LANDASAN PEMIKIRAN
A. Umum
Pembudayaan komunitas adat terpencil didasarkan pada landasan pemikiran dari sumber utama kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia yaitu paradigma nasional yang telah menjadi kesepakatan seluruh warga negara Indonesia. Landasan pemikiran yang sama dengan sendirinya juga dipergunakan dalam penulisan dan perumusan bahasan naskah ini. Hal ini menggambarkan bahwa dengan landasan yang sama akan ada konsistensi dalam perumusan konsepsi dan wacana akademik serta dalam aktualisasi konsepsi secara operasional dilapangan oleh semua piranti dan perangkat yang terkait dalam pemberdayaan komunitas adat terpencil dengan pendekatan sosial budaya sehingga akan tercipta akselerasi peningkatan kesejahteraan.
Paradigma Nasional yang dijadikan landasan pemikiran disini adalah ; Pancasila sebagai landasan Idiil, DUD-1945 sebagai landasan Konstitusional.
_________________________________________________________
3).Direktorat Bina Masyarakat Terasing, Data dan Informasi Pembinaan Masyarakat
B. Landasan Pemikiran dan Pembahasan
a. Pancasila sebagai landasan Idiil
Pancasila adalah dasar, ideologi dan filsafat nasional Indonesia yang merupakan akumulasi dari nilai-nilai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagai dasar negara merupakan sumber dari segala sumber hukum nasional yang mengikat segenap bangsa dalam tatanan kehidupan bersama. Pancasila sebagai ideologi dan filsafat nasional, dipandang sebagai bentuk kristalisasi segenap nilai-nilai dan dasar pemikiran dan kehidupan yang diyakini kebenaran, kesesuaian dan kegunaan bagi bangsa Indonesia yang hidup dalam negara Kesatuan Republik Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila meliputi sila-sila; Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradap; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan serta Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut tetap Relevan dan aktual dipergunakan sebagai landasan Idiil dalam aktualasi Pendekatan Sosial Budaya dalam penanganan dan pemberdayaan komunitas adat terpencil di Indonesia.
b. UUD-1945 sebagai Landasan Konstitusional.
Sebagai hukum tertulis tertinggi, bila dipergunakan dalam pembahasan judul naskah ini, pasal-pasal UUD-1945 yang secara langsung terkait adalah tertuang pada :
Pasal 27. ayat (1); " Segala warga negara bersamaan kediidukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". ayat (2): " Tiap-tiap warga negara berdasarkan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi Kemanusiaan”.
- Bab XA : Tentang Hak Asasi Manusia, pasal-pasal 28A s/d 28J, hasil Amandemen I dan II UUD – 1945
- Bab XI tentang Agama, Pasal 29, ayat (2) "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu".
- Bab XIV tentang Kesejahteraan Sosial : Pasal 34 : " Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara".
c. Wawasan Nusantara sebagai Landasan Visional.
Wawasan Nusantara mengandung isi suatu cara pandang yang memuat konsep dan visi yang melatar belakangi kehidupan bangsa Indonesia, Wawasan Nusantara sebagai wawasan nasional memandang seluruh masyarakat dan penduduk yang mendiami wilayah nusantara dari Sabang sampai Merauke terpadu dalam persatuan dan kesatuan nasional. Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa termasuk komunitas adat terpencil dengan berbagai ciri, budaya dan karakteristik masing -masing tetap berikrar dan bertekad dalam satu kesatuan bangsa dan negara Indonesia. Dengan cara pandang seperti tersebut sesungguhnya komunitas adat terpencil yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia juga memiliki cara pandang dan komitmen yang sama dalam pembauran berbagai suku-suku lain sesama warga negara dan warga bangsa Indonesia.
Wawasan Nusantara juga memberikan Visi kebangsaan dimana dengan persatuan dan kesatuan yang telah dimiliki sekaligus mengandung keinginan untuk bersama-sama mencapai tujuan nasional dengan semangat kesetaraan, kebersamaan kesetiakawanan, persaudaraan dan kegotong-royongan. Rasa kebanggaan inilah yang memupuk dan meningkatkan wawasan kebangsaan dan wawasan nasional
d. Ketahanan Nasional sebagai Landasan Konsepsional.
Terdapat dua posisi pemahaman tentang ketahanan nasional:
Yang pertama : Ketahanan Nasional sebagai konsepsi, yaitu pengembangan kemampuan dan kekuatan nasional melalui pengeturan dan penyelenggaraan kesejahteran dan keamanan yang seimbang, serasi dan selaras dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara secara utuh, menyeluruh dan terpadu berdasarkan Pancasila UUD - 1945 dan wawasan nusantara.
Yang kedua : Ketahanan Nasional sebagai Kondisi, dalam hal ini kondisi dinamis bangsa Indonesia yang berisikan mentalitas ketangguhan dan keuletan dalam menjaga, membangun serta mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara.
Dengan demikian sesungguhnya tujuan ketahanan nasional lebih berorientasi "ke dalam" bukan "ke luar". Maksudnya adalah dengan konsepsi dan kondisi ketahanan nasional, lebih diarahkan untuk kepentingan dalam negeri bukan sebagai ancaman kepada pihak luar (asing).
Konsepsi tentang Ketahanan Nasional dan perwujudan kondisi ketahanan nasional dalam aktualisasi pendekatan sosial budaya dalam pemberdayaan KAT amat Relevan dan Kontektual, karena manakala konsepsi yang diterapkan tidak mengindahkan prinsip-prinsip utama yang terkandung dalam Konsepsi Ketahanan Nasional akan dapat menimbulkan dampak disintegrasi atau dampak lain yang dapat menjadi sebuah ancaman bagi negara tetangga, Hal tersebut akan menentukan distabilitas nasional.


BAB. III. REINVENTING PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DEWASA INI
A. Umum
Penanganan KAT di Indonesia sesungguhnya telah dilakukan sejak dekade tahuri 1979 an. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun, jumlah komunitas adat terpencil mencapai 227.377 KK ( 1,3 juta jiwa) tersebar di 23 Propinsi. Dari jumlah ini 49.564 KK diantaranya telah memperoleh penanganan melalui Pemerintah yang mencapai 21, 79 %. Angka ini membuktikan, penanganan yang dilaksanakan oleh pemerintah masih terlalu kecil, jika dibandingkan dengan jumlah populasi yang seharusnya tertangani.4)
Kecilnya kinerja yang telah dicapai selama ini bukan berarti, bahwa Pemerintah gagal atau tidak ada " Political will" untuk menuntaskannya, namun akibat dari pengaruh penganut developmental yang begitu kuat dimasa Orde Baru dengan meletakkan "paradigma modernisasi yang sentralistik" sebagai konfigurasi pendekatan pembangunan nasional dalarn segala aspek kehidupan rnasyarakat komunitas adat terpencil. Paradigma modernisasi meyakini, bahwa masyarakat akan menjadi "manusia modern", jika yang bersangkutan mampu mengadopsi ide-ide baru dan meninggalkan pola lama yang dianggap "constraint" terhadap pengadopsian ide baru itu.
Mereka meyakini, bahwa budaya lama berupa tradisi menjadi "constraint factor” terhadap berbagai perubahan. Mainstream developmentalisme lebih mengabaikan dan mengesampingkan tentang pentingnya peranan dan kedudukan faktor sosial budaya lokal, kearifan lokal (local wisdom), Otonomi lokal dan keunikan lokal pada setiap proses perubahan. Malahan mereka meyakini, bahwa " keterbelakangan" terjadi karena komunitas adat terpencil mempertahankan nilai budaya tradisionalnya. Untuk menjadi masyarakat "modern", maka nilai budaya yang menghambat perlu dicerabut dari posisinya dan digantikan nilai-nilai modern yang dianggap mendukung kemajuan komunitas adat terpencil.
Dengan keyakinan semacam itu, maka kelompok "developmental" berusaha mentransformasikan berbagai kebijakan nasional dengan menstransfer ide baru berupa budaya baru yang dianggap lebih 'modern' kedalam masyarakat komunitas adat terpencil, melalui berbagai instrumen pembangunan yang kesemuanya pada dasarnya untuk mempercepat
tingkat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial bagi masyarakat komunitas adat terpencil. Tujuannya adalah mempercepat rekonstruksi sosial bagi komunitas adat terpencil sebagai akibat dari keterasingannya. Dengan formula demikian, kemampuan daya saing
_________________________
4) Ibid.15
tinggi yang dapat disejajarkan dengan masyarakat lain di Indonesia.
Dengan demikian seluruh komunitas adat terpencil akan berkemampuan melakukan penyesuaian struktural dan kultural sebagai bagian dari 'nation character building'. Untuk mewujudkan hal itu, maka perencana dan pelaksana pembangunan nasional meletakkan nilai budaya masyarakat sebagai sasaran perubahan. Sebab menilai bahwa nilai budaya inilah yang menjadi faktor terjadinya 'keterbelakangan' komunitas adat terpencil. Pencabutan nilai tradisional dilakukan melalui berbagai produk peraturan, perundang-undangan dan kebijakan yang sangat merugikan komunitas adat terpencil.
Oleh sebab itu, sejak era Pemerintahan Orde Baru telah berkembang sebagai instrumen penanganan komunitas adat terpencil melalui berbagai pranata pembinaan sebagai pengejawantahan dari strategi pertumbuhan, pendekatan kebutuhan dasar, serta pendekatan keswadayaan sejak tahun 1970 an sampai tahun 1990 an. Namun pada kurun waktu 1990 an mulai dikembangkan instrumen pemberdayaan bagi mereka yang ditandai dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Rl No. Ill Tahun 1999 Tentang Peningkatan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Tetpencil 5). Meskipun terjadi perubahan terminologi dari suku terasing menjadi komunitas adat terpencil sebagaimana yang diatur melalui Keputusan Presiden dimaksud, namun keduanya memiliki pemahaman yang hampir sama yaitu merujuk pada kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik dengan ciri :
(a) berbentuk komunitas kecil, tertutup dan homogeny
(b) pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan
(c) pada umumnya terpencil secara geografis dan relatif sulit dijangkau
(d) pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi sub-sisted
(e) peralatan dan teknologinya sederhana
(f) ketergantungan kepada lingkungan hidup dan sumber daya alam setempat relatif tinggi.
(g) terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi dan politik.6)
Konfigurasi Pembangunan Nasional yang dijalankan baik di bidang agama, pendidikan, hukum, maupun kesejahteraan social dan kemudian diperkuat melalui mekanisme perencanaan
sentralisasi dan penyeragaman (uniformitas) pada semua ini, selama ini ternyata kurang
_______________________________________________________________________
5). Dit Bina Masyarakat Terasing, Pembinaan Komunitas Adat Terpencil,Dep. Sosial PJ, Jakarta 1999.
6). Ibid 3

memberikan ruang bagi komunitas adat terpencil untuk mengembangkan kearifan lokalnya, justru yang terjadi adalah termarjinalisasikannya budaya lokal. Ketidak pekaan dalam memahami pentingnya peranan budaya lokal semacam itu mengakibatkan munculnya " resistensi " dari berbagai kelompok, serta terjadi berbagai fragmentasi yang disertai dengan pergolakan kultural.
Kondisi semacam ini sungguh secara akumulatif dan potensial berimplikasi secara luas pula terhadap persoalan ideologi, politik, ekonomi, pertahanan serta keamanan Indonesia secara keseluruhan, yaitu rapuhnya ketahanan sosial dan pada gilirannya akan makin mengancam integrasi bangsa. Rapuhnya perekat ikatan sosial dalam konsepsi " entity integrated " ke Indonesia dewasa ini membuktikan bahwa pembangunan nasional yang bersifat sentralistik lebih banyak menciptakan kegagalan dan kerawanan dari pada keberhasilan. Oleh sebab itu sudah saatnya, mengembalikan konsep pembangunan pada konteksnya yaitu dalam perspektif peradaban (civilisasi) yang mencakup moral, spiritual yang dihadapi Bangsa ini adalah merebaknya kerawanan fenomena " disintegrasi sosial" pada hampir semua lini.
Kondisi semacam ini perlu perlu secara arif dengan merancang kembali rekonfigurasi paradigma pembangunan yang telah " salah arah (misleading) " selama ini guna memperkuat dan memperkokoh ketahanan sosial serta membangun perekat integrasi nasionai tanpa meninggalkan kemajemukan terintegrasi (pluraisme). Akhirnya, " benturan peradaban " antar masyarakat dan antar bangsa (the clash of civilization) dapat dihindari.
B. Konfigurasi Pembangunan Yang Dilaksanakan
1. Dimensi Agama
Pengejawantahan UUD 1945 pasal 29 telah mengundang berbagai pandangan secara kontroversial. Pandangan pertama menganggap, bahwa agama dan kepercayaan berada daiam kedudukan secara paralel sehingga sudah seharusnya keduanya berada dalam satu wadah pembinaan yaitu Departemen Agama. Pandangan kedua, menganggap, bahwa agama berbeda dengan kepercayaan. Penganut kelompok ini tebih menegaskan bahwa kepercayaan merupakan bagian dari unsur budaya. sehingga pembinaannya tidak berada pada payung Departemen Agama melainkan ada pada Departemen Pendidikan dan Kehudayaan Kesamaan dari kedua pandangan ini adalah setiap warga negara Indonesia wajib beragama dan menjalankan agamanya sesuai denga keyakinannya. Kata " wajib ", berarti tidak ada seorang warga negarapun yang tidak boleh tidak beragama. Ketentuan ini berlaku pula bagi komunitas adat terpencil. Faktor inilah yang kemudian sebagai potensi terjadinya berbagai benturan. Pemisahan pembinaan antara agama dengan kepercayaan yang dilakukan oleh Pemerintah selama ini menunjukkan, bahwa Pemerintah menganggap pandangan kedualah yang dianggap lebih tepat. Jika agama dibawah pembinaan Departemen Agama, maka kepercayaan dibawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pemisahan ini juga membuktikan, bahwa tingkat pengakuan Pemerintah terhadap aliran kepercayaan yang dianut oleh komunitas adat terpencil juga retatif terbatas. Pendekatan pembinaan agama semacam itu diyakini telah melupakan hakekat dasar dari kearifan komunitas adat terpencil, bahwa "aliran kepercayaan menjadi bagian dari ketentuan-ketentuan moral dan religiusitas bagi mereka". Oleh sebab itu dalam pembinaan agama selama ini tidak digunakan pendekatan budaya lokal melainkan budaya sentralistik yang mengabaikan budaya lokal.
Kebijakan yang sangat sentralistik dan kurang memberikan perhatian terhadap kearifan lokal bagi komunitas adat terpencil menjadikan kebijakan yang dilakukan Pemerintah terkesan diskriminatif. Secara religiusitas-antropologis, komunitas adat terpencil telah memiliki konfigurasi nilai kepercayaan tersendiri dan unik yang difragmentasikan kedalam berbagai perilaku. Hal ini ditandai dengan rekatnya proses internalisasi berbagai aliran yang secara kultural berpangkal tolak dari kepercayaan animisme, dinamisme, dan hinduisme dalam bentuk sekte-sekte (aliran) sebagai faktor indigenous. Kepercayaan tersebut bersifat turun temurun dan secara realitas sosial difungsikan sebagai 'agama' mereka. Bagi pelanggar aturan, maka yang bersangkutan akan berhadapan dengan hukum " agama " yang kuat dan tidak segan-segan akan menghadapi sangsi yang sangat berat.
Praktek keberagamaan dilakukan melalui " scarce " maupun " profound " seperti layaknya dipraktekkan oieh seluruh agama. " Scarce " berkaitan dengan pengaturan hubungan individu dengan kekuatan gaib yang melebihi kemampuan manusia, berada diluar alam semesta dan bersifat transcenden. Ungkapan ini ditandai prosesi ritual dalam bentuk berbagai pernujaan pada simbol-simbol (lambang) - kekuatan transcendental seperti, batu, pohon, matahari, patung dan lain-lain.
Dalam prosesi ritualnya, digunakan sebagai pranata atau kelengkapan ritual yang dilakukan secara kolektif dengan perilaku seragam seperti layaknya menjalankan agama yang diakui oleh Pemerintah. Kebijakan pembinaan agama oleh Pemerintah dalam bentuk kebebasan ruang gerak bagi agama yang diakui oleh Pemerintah yaitu Islam, Katholik, Protestan, Hindu dan Budha ternyata telah membawa pengaruh yang tidak kecil yaitu pertarungan lintas agama atas dasar justifikasi dogma-dogma yang dianggap paling benar dan saling menyalahkan, saling curiga dan lain-lain. Ekslusivisme agama semakin terlihat dan makin intens.
Sementara itu, penyebaran agama dalam bentuk penetrasi ke wilayah terpencil tidak jarang menghilangkan identitas religiusitas dan keunikannya bagi komunitas adat terpencil. Agama yang diakui Pemerintah bukanlah factor 'indegenous', melainkan faktor ' extragenous1, sehingga agama dianggap dan dinilai sebagai "budaya asing" baginya. Dalam proses penterasi sering terjadi 'pemaksaan dan ketertundukan’ bagi komunitas adat terpencil untuk menganut suatu agama tertentu. Pada satu sisi, proses ini cenderung mampu melahirkan proses akulturasi, asimilasi atau integrasi jika ternyata agama dimaksud diakui dan diterima oleh masyarakat komunitas adat terpencil. namun tidak jarang pula muncul resistensi dari komunitas adat terpencil itu sendiri dalam bentuk berbagai perlawanan, Hal ini menandai, bahwa benturan lintas agama-budaya pada masyarakat lokal bisa terjadi jika indikator ekspansi agama bersifat 'memaksa' dan bahkan akan mengancam 'aliran kepercayaan' yang telah dianut secara turun menurun bagi komunitas adat terpencil.
Kebijakan semacam itu merupakan gambaran, betapa pembinaan agama kurang memberikan tempat bagi komunitas adat terpencil untuk mempertahankan dan mengembangkan aliran kepercayaan yang menjadi keyakinannya. Diskriminasi kebijakan pembinaan agama dan kepercayaan yang telah dilakukan sungguh makin merugikan kehidupan masyarakat, karena tidak jarang penetrasi agama menimbulkan berbagai benturan terhadap aspek-aspek kehidupan yang dianggap paling sensitif dan mendasar bagi komunitas adat terpencil.
Dengan kata lain, kebijakan pembinaan agama dan kepercayaan yang diskriminatif dan kurang berorientasi pada kearifan lokal yang telah dilakukan selama ini menghasilkan ketidakpuasan masyarakat telah menghancurkan identitas komunitas adat terpencil dan menjadi pemicu terjadinya konflik sosial baik horizontal maupun vertikal.
2. Dimensi Pendidikan
Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional telah berusaha memberikan pelayanan pendidikan dasar dalam rangka program wajib belajar sembilan tahun kepada komunitas adat terpencil dengan membangun sekolah dasar dan sekolah lanjutan tingkat pertama serta penempatan guru-guru di daerah terpencil disamping berbagai penyuluhan pendidikan bagi masyarakat lokal. Program ini telah berjalan sejak sekitar tahun 1980 an.
Kendatipun program pelayanan pendidikan telah berjalan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa masih cukup besar jumlah penduduk komunitas adat terpencil yang kurang memperoleh pelayanan pendidikan secara memadai. Hampir 70 % dari penduduk masih mengalami buta huruf . Sementara lehih dari 50 % anak usia sekolah tidak mampu mengikuti proses pendidikan secara wajar. Begitu juga kejar paket A dan B berjalan tersendat-sendat. Dengan demikian, maka hak memperoleh pendidikan bagi komunitas adat terpencil kurang terjamin. Kondisi ini disebabkan antara lain :
a. Terbatasnya pelayanan pendidikan dasar yang disediakan oleh pernerintah bagi penduduk lokal terutama SLIP dan SLTA, sehingga sangat sulit ditemukan masyarakat setempat yang memperoleh pendidikan setingkat SLTA.
b. Kurangnya tenaga guru dan tutorial yang tersedia akibat keengganan sebagian guru dan tutor untuk ditempatkan di daerah pemukiman KAT. Akibatnya sistim rekruitmen tenaga terdidik dilakukan oleh masyarakat sendiri yang umumnya memiliki tingkat pengetahuan secara terbatas,
c. Banyaknya guru-guru yang telah ditempatkan di daerah terpencil melakukan eksodus ke daerah lain karena berbagai faktor, sehingga sering ditemukan sebagian besar sekolah yang bersangkutan kekurangan guru,
d. Sarana dan prasarana proses belajar mengajar yang serba terbatas dan kurang memadai, menyebabkan proses pembelajaran kurang berjalan sebagaimana yang diharapkan. Kondisi tersebut merupakan indikasi, bahwa hak memperoleh pelayanan pendidikan yang terbatas menjadi faktor pemicu menguatnya proses " keterbelakangan " bagi KAT.
e. Demikian pula sikap keengganan masyarakat untuk mengikuti pendidikan dasar wajib belajar sembilan tahun menyebabkan makin termarjinalisasikannya kualitas pendidikan bagi masyarakat terasing. Dalam kondisi semacam ini, maka kemampuan daya saing bagi komunitas adat terpencil sangat rendah.
3. Dimensi Hukum
Pembinaan hukum terhadap komunitas adat terpencil dalam bentuk gerakan sadar hukum selama ini terkesan dilakukan secara terbatas. Keterbatasan ini bukan saja karena frekuensi gerakan kesadaran hukum bagi komunitas adat terpencil yang relatif kecil, namun juga terbatasnya penyelenggara di wilayah terpencil serta letak geografis pemukiman komunitas adat terpencil yang sulit dijangkau. Apalagi sebagian diantaranya terpola pada kehidupan secara 'nomaden' (hidup berpindah-pindah). Kondisi yang serba terbatas dalam gerakan sadar hukum menyebabkan tingkat pengetahuan dan pemahaman tentang hukum bagi komunitas adat terpencil juga terbatas. Akibatnya penegakan hukum positif dinilai tidak dianggap begitu penting bagi komunitas adat terpencil.
Ketidak mampuan komunitas adat terpencil untuk 'sadar hukum' mengakibatkan berbagai pelanggaran hukum yang tidak dapat diselesaikan melalui hukum positif, seperti perambahan hutan, perburuan hewan yang dilindungi, penguasaan hak tanah adat yang tidak sesuai dengan ketentuan dan lain-lain. Umumnya masyarakat menempatkan hukum kebiasaan (tradisi) dan adat menjadi mores dan custom serta sekaligus menjadi 'kesadaran kolektif. Hukum kebiasaan dan adat merupakan bentuk konsensus yang menjadi perekat bagi masyarakat untuk memperoleh hak dan melaksanakan kewajibannya. Oleh sebab itu pengaturan hak dan kewajiban bagi warganya ditentukan oleh lembaga adat yang mengatur secara spesifik terhadap masyarakat. Bagi mereka yang melakukan pelanggaran hukum adat akan memperoleh sanksi yang tegas mulai dari peringatan, denda, pengucilan hingga pengusiran di lingkungan sosialnya.
Masalah lainnya adalah kurangnya kepekaan gerakan sadar hukum yang dilakukan oleh penegak hukum yang berorientasi pada kearifan lokal. Pendekatan sosial budaya sering tidak digunakan dalam gerakan sadar hukum. Benturan sering terjadi antara hukum positif dengan hukum adat. Sebagai masyarakat yang amat menghargai hukum adat dan lembaga adat tentunya tidak akan mudah untuk mengadopsi hukum positif yang dianggap mengancam keberadaannya.
Benturan ini kerap menjadi pemicu munculnya berbagai gerakan perlawanan dikalangan masyarakat adat. Salah satu contoh adalah pembudayaan desa keseluruh pelosok tanah air yang ditandai dengan pernberlakuan UU nomor: 5 tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa ternyata memperoleh berbagai respon dari masyarakat. Respon tersebut dimanifestasikan dalam sikap positif maupun negatif berapa perlawanan yang cukup signifikan dari lembaga adat, Sebab Gerakan " desanisasi " diseluruh wilayah Indonesia, telah rnengubah struktur dan system kelembagan adat dengan makin berkurangnya peran lembaga adat dalam pengaturan kehidupan masyarakat untuk kemudian dialihkan kepada Desa/Kelurahan.
Pergolakan terjadi diberbagai lembaga adat antara lain Banjar yang tumbuh di Bali, Nagari di Sumatera Barat dan lain-lain. Persoalan Iainnya adalah kurangnya perolehan hak perlindungan hukum dan hak asasi manusia bagi komunitas adat terpencil sebagai akibat terjadinya eksploitasi ekonomi besar-besaran terhadap sumber daya tradisional yang justru sebagian diantaranya sesungguhnya dianggap ' suci dan menjadi super organik' bagi KAT terkait dengan aliran kepercayaannya. Selain melanggar hukum adat, eksploitasi juga semakin menekan dan mengancam eksistensi kehidupan mereka terutama kuatnya tekanan ekonomi masyarakat yang mengandalkan hasil hutan.
Telah banyak sumberdaya tradisional dijarah tanpa konpensasi sesuai hak masyarakat disamping makin rusaknya ekosistem serta sumber hayati, eksploitasi tersebut juga makin menunjukan pelanggaran hak azasi manusia yaitu perampasan hak adat atas KAT untuk tetap " survive ". Apalagi kehidupan mereka yang 'nomaden' sangat mengandalkan dan tergantung pada lingkungan alam. Hal demikian identik dengan perampasan hak adat komunitas adat terpencil untuk mengelola sumber daya tradisional secara otonom sebagai sumber kehidupan utamanya. Lemahnya perlindungan hukum dengan sebutan komunitas adat terpencil sebagai " perambah hutan " bahkan dalam hal tertentu dianggap faktor perusak lingkungan. Posisi marjinalisasi dibidang perlindungan hukum sernacam ini memberikan gambaran bahwa terjadi upaya hukum yang pada satu sisi perusakan hutan dalam bentuk penebangan hutan penggalian tambang secara besar-besaran dan bentuk-bentuk perambahan tanah adat lainnya yang dilakukan oleh pihak lain memperoleh perlindungan hukum, sementara komunitas adat terpencil yang berkeinginan mempertahankan hidupnya justru dianggap sebagai " Perambah" dan tidak jarang dilakukan tindakan hukum terhadap mereka. Kelemahan dibidang hukum serta terjadinya ketidak adilan dalam perlakuan hukum bagi KAT cenderung menimbulkan sikap skeptis dan antipati bagi komunitas adat terpencil dan bahkan memperkuat resistensi terhadap perlakuan yang tidak adil ini.
Pengungkapan resistensi umumnya dilakukan melalui berbagai sikap ethnocentrisme atas dasar kesukuan, tumbuhnya sentimen sosial yang bermuara pada primordialisme, kesetiaan kolektif yang terbatas, gerakan melawan hukum terhadap siapapun termasuk di dalamnya adalah pendatang. Kerusuhan sosial yang terjadi di daerah pedalaman merupakan bukti empirik bahwa terjadi benturan kebudayaan dan kepentingan, serta akibat pendekatan sosial budaya tidak ditempatkan dalam penerapan pembangunan dibidang hukum.
Gambaran tersebut juga menunjukan, betapa gerakan sadar hukum dan perlindungan hukum masih lemah dan belum sepenuhnya dilakukan secara tepat. Hal demikian dapat menjadi faktor penyebab rendahnya kesadaran hukum bagi KAT rendahnya kesadaran hukum yang dimiliki oleh KAT. akan berimplikasi bagi rapuhnya ketahanan sosial di lingkungan masyarakat ini.
4. Dimensi Kesejahteraan Sosial
Hak kesejahteraan sosial bagi KAT menjadi tanggung jawab negara. Negara dalam konteks ini adatah Pemerintah dan Masyarakat. Oleh sebab itu, disamping agama, pendidikan dan hukum, maka usaha kesejahteraan sosial juga telah dilakukan melalui berbagai instrumen pembinaan kesejahtereaan sosial komunitas adat. Pembinaan diarahkan pada upaya pemberdayaan kornunitas adat terpencil dalam segala aspek kehidupan dengan maksud agar masyarakat dapat hidup secara wajar baik jasmani, rohani dan sosial. Proses pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah mencakup beberapa tahap yaitu:
a. Tahap persiapan yang meliputi penjajagan KAT, motivasi sosiai budaya, pemantapan kesiapan masyarakat, pengkajian sosial budaya dan lingkungan masyarakat terasing atau pengkajian calon lokasi proyek.
b. Tahap bimbingan yang mencakup bimbingan pemukiman baru, bimbingan pemantapan pemukiman serta pengembangan pemukiman komunitas adat terpencil.
c. Tahap pengalihan pembinaan berupa bantuan paket sarana usaha produktif, persertifikatan tanah, bimbingan pelatihan keterampilan, evaluasi, penempatan petugas lapangan dan pembinaan mental, penyelenggaraan pengalihan pembinaan kepada pemerintah daerah, perbaikan sarana lingkungan dan bimbingan kaderisasi.
Dalam perjalanannya, pendekatan kebutuhan dasar menjadi andalan dalam strategi penanganan KAT. Pendekatan mi menyakini, bahwa masalah utama dari komunitas adat terpencil terletak pada ketidak mampuannya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Oleh sebab itu, peranan pemerintah adalah menyediakan pelayanan sosial dasar dengan berusaha memenuhi kebutuhan dasar bagi komunitas adat terpencil. Kebutuhan dasar tersebut antara lain papan (rumah) melalui program pemukiman sosial atau relokasi sosial, pakaian melalui penyediaan bantuan pakaian, pendidikan dan kesehatan. Dalam perjalanannya strategi tersebut ternyata lebih menekankan dan mengutamakan pada pemenuhan kebutuhan praktis, sementara kebutuhan strategis melalui pendekatan sosial budaya justru tidak menjadi referensi.
Demikian juga "strategi perubahan" yang diterapkan lebih terpusat pada developmental dengan berusaha mengubah cara hidup (baik dalam aspek pemukiman tata cara berpakaian, perubahan penggunaan teknologi, tata cara pengelolaan tanah kehutanan dan pertanian, perladangan dan lain-lainnya. Strategi perubahan ini dimaksudkan agar sikap, perilaku dan secara fisik KAT mampu berubah menjadi 'suku yang lebih modern'. Sebagai agen pembangunan, maka pengelola program berusaha menghilangkan nilai-nilia budaya lama yang dianggap menghambat perubahan. Implikasinya adalah pola penanganan KAT bertumpu pada kebutuhan fenomenologis seperti pemenuhan kebutuhan fisik minimal bukan kebutuhan strategis, Sementara itu, kebutuhan strategis seperti penguasaan hak adat, penguasaan hak sosial budaya, perlindungan sosial dan jaminan sosial dan lain-lain kurang mendapatkan- perhatian secara proporsional. Oleh sebab itu, kegiatan pembinaan berkisar pada program yang bersifat fenomenologis antara lain pemukiman (relokasi) dengan membudayakan rumah dalam bentuk bangunan yang " asing " bagi dirinya, administrasi kependudukan, kehidupan beragama, pertanian, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain.
Kebutuhan tentang perlindungan hukum bagi komunitas adat terpencil, perlindungan sosial dari tekanan dan ancaman, pelestarian nilai budaya lokal, penghargaan dan penghormatan terhadap aliran kepercayaan yang disejajarkan dengan agama, aksesibilitas kepemilikan hutan dan hasil hutan. perlindungan terhadap aksesibilitas tanah adat dari ancaman dan eksploitasi tidak menjadi fokus strategi penanganan. Dari pandangan seperti ini, maka pembinaan yang telah dilakukan tidak begitu banyak merespon terhadap kebutuhan strategis bagi komunitas adat terpencil.
Dengan kata lain marjinalisasi hak-hak adat tetap terjadi dalam wacana kemiskinan. Sementara itu, pendekatan yang pernah dilakukan pun ternyata kurang memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Program pemukirnan sosial ternyata tidak berhasil, karena banyak ditinggalkan penghuninya dan kembali ke hutan. Demikian juga, pemenuhan Kebutuhan Fisik Minimal (KFM) masih berada dalam taraf ekonomi subsystem. Mereka tetap bertumpu pada sistem pertanian dan perladangan secara berpindah-pindah serta perambah hutan sehingga pendapatan tetap rendah, Pelayanan kesehatan yang diberikan juga relatif sangat kecil karena terbatasnya sarana dan prasarana kesehatan yang tersedia serta tenaga dokter yang tidak dijumpai. Sistem pembinaan yang didasarkan pada perspektif 'pengelola program' secara sentralistik kurang memberikan perubahan social secara berarti. Dengan kata lain, komunitas adat terpencil masih terjerat pertalian kemiskinan yang relatif tinggi, jika diukur dari pemenuhan fisik minimal antara lain pangan, sandang, pendidikan, kesehatan dan pemukirnan.
Terdapat beberapa faktor mengapa hal itu terjadi, antara lain :
Pertama, pemerintah berusaha melakukan berbagai perubahan cara hidup komunitas adat terpencil berdasarkan pendekatan " pembangunanisme" yang developmental atas dasar perspektif dirinya bukan didasarkan pada pendekatan sosial budaya lokal, sehingga program-program yang disosialisasikan mengelami kegagalan cukup besar.
Kedua, program-program yang diberikan lebih terfokus pada orientasi proyek daripada dengan tidak bersentuhan strategis. Orientsai proyek, menyebabkan program yang berpola 'lebih banyak dilakukan'. Apalagi paket yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan nyata dan mendesak bagi komunitas adat terpencil. sehingga banyak bantuan diantaranya yang tidak dapat dimanfaatkan secara tepat.
Ketiga, metode pembelajaran sosial yang didasarkan pada pendekatan instruksional bukan partisipatif penyebab tingkat peran serta komunitas adat terpencil untuk menyelesaikan masalah berdasarkan kekuatannya sendiri relatif kecil. Otonomisasi masyarakat makin terbatas, demokratisasi tidak berjalan serta hak untuk menentukan nasibnya sendiri kurang mendapatkan perhatian.
Keempat, pengabaian hak-hak adat, sehingga proses marjinalisasi berjalan secara sirnultan. Hak adat tersebut antara lain hak memperoleh perlindungan terhadap hasil hutan, kepemilikan tanah adat dan lahan hutan, perlindungan hukum, hak memperoleh pengakuan terhadap aliran kepercayaan yang dianutnya dan lain-lain.
Disamping itu, terdapat sejumlah isu-isu lainnya yang terkait dengan pemberdayaan komunitas adat terpencil yaitu :
a. Belum terukurnya berbagai indikator keberhasilan penanganan dan pemberdayaan komunitas adat terpencii yang dilakukan selama mi sehingga mengakibatkan sulitnya mengukur dan menghitung tingkat perkembangan serta kemajuan program.
b. Ketidakmampuan komunitas adat terpencil dalam memperoleh aksesibilitas pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah, sehingga mengakibatkan terjadinya proses marjinalisasi berupa kemiskinan absolut.
c. Relatif terbatasnya jumlah anggota jejaring dan partisipasi masyarakat yang memberikan daya dukung dalam penyelenggaraan penanganan dan pemberdayaan komunitas adat terpencil.
d. Tumbuh dan berkembangnya ego sektoral dalam penanganan komunitas adat terpencil, sehingga penanganan secara komprehensif dan terintegrasi tidak mampu diwujudkan. Terjadinya proses marjinalisasi komunitas adat terpencil sebagai implikasi dari kepentingan ekonomi wilayah ditandai dengan terjadinya disparitas aksesibilitas sumber daya lingkungan antara komunitas adat terpencil dengan pendatang yang menciptakan hubungan patron klien, konservasi hutan yang menganggap komunitas adat terpencil adalah rnerusak keseimbangan ekosistem serta rnelanggar hukum positif.
e. Terhambatnya implementasi kebijakan antara pusat, propinsi dan kabupaten/kota dalam penanganan komunitas adat terpencil sebagai akibat penafsiran UU yang terbaru sesuai kepentingannya.
f. Model program penanganan dan pemberdayaan komunitas adat terpencil selama ini dirasakan bersifat rutinitas dan kurang signifikan dengan kebutuhan serta kearifan lokal.
Kondisi semacam itu menunjukan bahwa berbagai kebijakan kesejahteraan sosial yang ditangani oleh pemerintah belum sepenuhnya memberikan hasil secara memuaskan. Begitu juga, pendekatan kebutuhan dasar ternyata hanya secara terbatas menjawab pertanyaan sosial yang bersifat 'simptomatik' dari komunitas adat terpencil, belum sepenuhnya merespon terhadap kebutuhan strategis dan menjadi akar persoalan sosial yang dihadapi oleh komunitas adat terpencil. Marjinalisasi komunitas adat terpencil berupa keterbelakangan dan kemiskinan menjadi contoh betapa pendekatan kebutuhan dasar memiliki berbagai kelemahan.
5. Keterkaitan dengan dimensi lainnya
Strategi pembangunan yang kurang memberikan perhatian terhadap pentingnya pendekatan sosial budaya dalam penanganan dan pemberdayaan komunitas adat terpencil telah menyebabkan munculnya berbagai persoalan sosial yang berimplikasi secara luas terhadap munculnya berbagai problem ideologi. politik. ekonomi maupun pertahanan keamanan. Atas dasar hal tersebut maka disini akan dibahas keterkaitan pendekatan sosial budaya dengan dimensi bidang-bidang lainnya.
1. Dimensi Ideologi
Marjinalisasi masyarakat komunitas adat terpencil dalam bentuk rendahnya sadar hukum, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami serta diperkuat dengan sistem paternalisme secara potensial akan mudah disusupi dan dipengaruhi oleh berbagai ideologi lain, antara lain marxisme, komunisme, sosialisme, liberalisme serta berbagai kekuatan radikal dan garis keras lainnya dengan berbagai cara. Secara empirik berbagai ideologi ini akan mudah menanamkan pengaruhnya pada struktur sosial semacam itu. Hal ini berarti, behwa secara kultural, komunitas adat terpencil sangat rentan terhadap penetrasi ideologi 'asing’ atas dasar kepentingan yang berbeda.
Dengan berbagai pendekatan sosial budaya lokal, memudahkan para ideologi menanamkan pengaruhnya dengan berbagai simbol-simbol ideologi yang atraktif. Pertarungan ideologi cenderung makin tak terelakkan, apalagi jika para ideologi berusaha dengan instrumen yang dimiliki menggunakan unsur-unsur lokal yang biasa diterima masyarakat lokal. Jika penetrasi ideologi dilakukan secara beragam, maka yang terjadi kemudian adalah terkooptasinya berbagai ideologi atas dasar fragmatisme kepentingan antar kelompok dilingkungan komunitas adat terpencil. Kondisi ini cenderung merapuhkan " konsensus sosial berupa ikatan solidaritas sosial yang awalnya kokoh “, akan mengancam keutuhan kelompok, memperlemah ikatan sosial kolektif, memperlemah ketahanan sosial dan akhirnya secara akumulasi akan mengancam stabilitas nasional.
Terjadinya fragmentasi ideologi secara pragmatis akibat lemahnya komitmen serta lemahnya kemampuan pemerintah dalam menumbuhkan kepercayaan bagi komunitas adat terpencil. Fragmentasi ideologi cenderung menimbulkan kooptasi kesukuan atas dasar eklusivisme kesukuan dan ethnocentrisme. Sikap dan perilaku yang demikian secara potensial akan menjadi pemicu munculnya konflik sosial berdasarkan ideologi kesukuan.
Pertikaian antara suku Dayak dan Madura misalnya menmakan bukti empirik betapa kuatnya ekslusivme kelompok atas dasar kesukuan. Pemaksaan ideologi kepada komunitas adat terpencil tanpa mempedulikan sentimen sosial lokal dan kepekaan sosial akan menimbulkan berbagai resistensi berupa perlawanan. Jika perlawanan terjadi, maka ketahanan sosial akan menjadi rapuh yang mengarah pada akhirnya berdampak kepada stabilitas nasional.


2. Dimensi Politik
Kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, serta kurang melek hukum memudahkan komunitas adat terpencil terfragmentasi dalam kooptasi kekuatan politik yang berbeda-beda. Jika intervensi politik memasuki kehidupan komunitas adat terpencil, maka akan tercipta kelompok pragmatis yang satu dengan lainnya sering 'berhadapan'. Ikatan sosial atas dasar solidaritas sosial mekanik semakin luntur, sedangkan ikatan solidaritas sosial organik atas dasar kepentingan mulai berkembang. Demikian pula, sentimen sosial juga melemah dan digantikan dengan ikatan primordialisme dan eksklusivisme atas dasar pragmatis. Konfigurasi semacam ini akan mengancam ketahan sosial ; komunitas adat terpencil dan jika dibiarkan akan menjadi potensi kerawanan bagi stabilitas nasional. Ketidak adilan yang dirasakan oleh komunitas adat terpencil untuk memperoleh hak sosial budayanya termasuk di dalamnya adalah tanah adat, kepemilikan hasil hutan dan sumber daya hayati lainnya, pengakuan aliran kepercayaan yang dianutnya oleh pemerintah dan lain-lain akan makin mempercepat masuknya kekuatan-kekuatan politik tertentu serta pengaruh dari berbagat fihak yang tidak dapat dipertanggung jawabkan. Kondisi ini makin rawan, manakala perlawanan politik dan hukum dilakukan komunitas adat terpencil. Pergolakan atau perlawanan semacam ini akan menggoncangkan stabilitas politik dan akhirnya akan mengancam stabilitas nasional.
3. Dimensi Ekonomi
Penguasaan sektor kehutanan oleh kelompok tertentu dengan pengabaian hak kepemilikan masyarakat komunitas adat terpencil merupakan pemicu menajamnya kesenjangan ekonomi dan sosial antara komunitas adat terpencil dengan pendatang. Kesenjangan ekonomi dan sosial ditandai dengan adanya marjinalisasi komunitas adat terpencil di satu fihak, serta eksploitasi hasil hutan dan pertambangan secara besar-besaran di pihak lain.
Kemiskinan dan kebodohan serta keterbelakangan menjadi faktor determinan terjadinya kesenjangan sosial dan ekonomi. Jika hal demikian dibiarkan, maka muncul sikap anti sosial, prasangka, stigmatis antara masyarakat lokal dengan pendatang dan atau sebaliknya. Sikap tersebut akan makin diperparah oleh intervensi asing, sehingga perlawanan dan konflik sosial tidak dapat dihindari. Oleh sebab itu, jika keadilan dalam perolehan hak kepemilikan sektor ekonomi tidak dilakukan, maka akan menimbulkan berbagai kerawanan dan akhirnya stabilitas ekonomi secara nasional akan terganggu.
Kehidupan ekonomi komunitas adat terpencil yang relatif rendah yang ditandai oleh kemiskinan dan kefakiran, keterbelakangan serta kebodohan secara simultan akan berpengaruh terhadap tingkat daya beli masyarakat komunitas adat terpencil. Dengan pendapatan rendah dan daya beli rendah mengakibatkan ekonomi masyarakat juga rendah.
Rendahnya ekonomi masyarakat secara akumulasi berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi secara nasional, angka kemiskinan tingkat nasional serta tingkat Human Development Index (HDI). Kondisi ini akan menimbulkan berbagai kerawanan politik dan sosial. Jika dibiarkan, maka stabilitas nasional akan terganggu.
4. Dimensi Pertahanan dan keamanan
a. Kerawanan ideologi, politik, ekonomi, hukum yang dialami komunitas adat terpencil menjadi faktor pemicu dan pemacu rapuhnya tingkat ketahanan sosial masyarakat. Kesenjangan sosial dan ekonomi, yang diikuti oleh penetrasi ideologi merupakan faktor-faktor yang tidak bisa diabaikan terhadap tumbuhnya. kerawanan di bidang pertahanan dan keamanan. Oleh sebab itu, berbagai kerawanan perlu diantisipasi sedini mungkin dengan mengembalikan hak sosial budaya bagi komunitas adat terpencil.
b. Jika terjadi berbagai kerawanan, maka ketahanan sosial melemah, ketahanan nasional akan semakin terganggu dan akhirnya stabilitas nasional akan mengalami kegoncangan. Akhirnya kedaulatan bangsa dan negara terancam. Jadi menjadi jelas bahwa pendekatan sosial budaya dalam penanganan dan pemberdayaan komunitas adat terpencil erat keterkaitannya dengan masalah dan pendekatan ketahanan dan keamanan sehingga ada keseimbangan antara pendekatan prosperity (kesejahteraan) dengan pendekatan security (keamanan).
BAB. IV. PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS
A. UMUM.
Maraknya gerakan sosial yang bernuansa ideologi, politik, supermasi hukum, ekonomi serta terjadinya eforia tentang gerakan sivilisasi yang bernuansa otonomi di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perkembangan lingkungan strategis yang begitu cepat dan secara resiprokal telah mendorong posisi Indonesia berada dalam saling ketergantungan (interdependensi) dan tebuka.
Hal demikian merupakan rasionalitas dari konsekwensi dan resiko yang dihadapi oleh Indonesia sebagai bagian dari tatanan sistem dunia. Masuknya Indonesia ke Badan-badan Dunia antara lain, PBB, WTO, ASEAN, Negara Non Blok, Negara Selatan-Selatan, IMF dan lain-lain, merupakan kenyataan bahwa Indonesia tidak dapat terlepas dari sistem pergaulan Internasional serta kuatnya pengaruh dominasi perkembangan lingkungan strategis. Oleh sebab itu, perkembangan lingkungan strategis yang demikian cepat akan mempengaruhi pula terhadap perkembangan Indonesia dewasa ini.
Lingkungan strategis tersebut adalah situasi global, nasional , maupun regional. Determinasi ketiga lingkungan sirategis secara konvergen mewarnai kehidupan politik, ekonomi, ideologi maupun pertahanan dan keamanan bagi Indonesia termasuk didalamnya adalah komunitas adat terpencil. Disamping menguntungkan, tentunya perkembangan lingkungan strategis ini akan merugikan bagi Indonesia jika tidak disikapi secara arif dan bijaksanan. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika kita mencermati dan membaca gelagat perkembangan lingkungan strategis sangatlah penting untuk dapat memahami pula dinamika masyarakat komunitas adat terpencil di Indonesia.
B. LINGKUNGAN GLOBAL
Perubahan sosial dilingkungan global ternyata membawa berbagai perubahan yang begitu cepat melalui arus globalisasi. Globalisasi merupakan fenomena Dunia yang secara realitas dan empirik tidak dapat terelakkan serta harus dihadapi oleh setiap negara manapun. Sebagai bagian dari pergaulan internasional dan sistem dunia, maka tidak ada satupun negara yang terbebas dari pengaruh atau dampak situasi global. Perkembangan global yang terjadi pada saat ini ditandai dengan :
a. Meningkatnya kesadaran hak dan kewajiban bernegara secara global disamping terjadinya proses demokratisasi global. Situasi ini mendorong berkembangnya berbagai gerakan pembebasan demokrasi separatisme kemerdekaan atau gerakan revolusioner yang ingin memisahkan diri dari sebuah komunitas dengan simbol-simbol demokrasi, supermasi hukum, hak azasi manusia serta sivilisasi diberbagai belahan dunia, terutama dinegara- negara berkembang.
b. Runtuhnya negara-negara bekas Uni Sovyet dan Negara komanis lainnya yang menunjukkan pertarungan ideologi bukan lagi terfokus pada ideologi marxisme, komunisme, dan sosialisme pada satu pihak serta kapitalisme dan liberalisme pada pihak lain melainkan terjadi pertarungan yang berasaskan aliran atau sektarian melawan hegemoni kapitalisme, liberalisme dan sekulurelisme.
c. Tatanan ekonomi dunia baru yang mengglobal, menyebabkan munculnya kooptasi negara berkembang vs negara maju, negara selatan-selatan vs negara utara-utara, negara adikuasa vs negara pheripherial dan lain-lain. Tatanan ekonomi dunia baru ditandai dengan :
1). Berkembangnya sistim ekonomi liberal dan kapitalis dinegara-negara berkembang sebagai akibat pengaruh yang sangat kuat dan industri maju.
2). Berkembangnya perusahaan-perusahaan multi national corporation (MNC) di berbagai negara berkembang, yang bersifat eksploitatif. Pengurasan sumber daya di negara berkembang secara besar-besaran oleh negara maju dilakukan melalui MNC ini. Bagi hasil yang tidak seimbang menyebabkan negara berkembang tetap miskin, sementara akumulasi keuntungan tanpa batas serta pengurasan sumber daya secara simultan dikuasai oleh negara-negara maju. Kasus yang terjadi di beberapa negara Amerika Selatan antara lain Argentina. Chili, Brazilia misalnya merupakan efek bola salju dari pengurasan sumber-sumber domestik oleh negara maju.
3). Ketergantungan negara berkembang terhadap negara maju, menyebabkan terjadinya eksploitasi ekonomi secara besar-besaran, Divestasi kekayaan negara oleh asing, penumpukan utang luar negeri, investasi asing melalui perusahaan multi nasional, bantuan dalam bentuk pinjaman dan lain-lain merupakan beban negara berkembang yang haras dibayar sebagai akibat dominasi dan hegemoni negara maju terhadap negara berkembang.
4). Dominasi peran ekonomi dunia terhadap negara berkembang seperti World Bank, IMF, WTO yang secara struktural menjadi 'simbol’ dominasi negara maju, semakin mempersulit posisi negara berkembang untuk terbebas dari berbagai pengaruh hegemoni dan ekspansi pihak asing. Secara bertahap, pengaruh lembaga internasional akan semakin kuat bukan saja di sector ekonomi, tetapi juga disektor politik.
d. Dibidang politik, terlihat beberapa perkembangan yang demikian cepat ditandai dengan:
1). Adanya peningkatan kesadaran tentang hak sipil bagi warga negara (civilisasi) di belahan negara berkembang seiring dengan runtuhnya paham marxisme, komunisme dan sosialisme melalui demokratisasi dan civilisasi pada segala aspek kehidupan masyarakat menyebabkan terjadinya transformasi pola gerakan politik secara revolusioner diberbagai negara. Transformasi antara lain :
a). Munculnya negara-negara baru merdeka sebagai pecahan dari negara berdaulat, seperti Herzegovina, Bosnia, Serbia, Ceko Slovakia, Timor Lorosae dan lain-lain.
b). Berkembangnya gerakan perlawanan rakyat, separatisme dan berbagai gerakan revolusi lainnya yang bermaksud ingin melepaskan diri dari negaranya dan kemudian membentuk negara baru. Termasuk gerakan ini antara lain Macan Tamil di Srilangka, Gerakan Sandinista di Nicaragua, Kashmir di India, OPM di Indonesia, Gerakan Aceh Merdeka dan lain-lain.
c). Berkembangnya gerakan-gerakan politik yang berorientasi pada perjuangan hak-hak sipil antara lain Amnesti Internasional, pengadilan Internasional terhadap pelanggaran HAM, Gerakan politik dengan mengatas namakan IIAM dan dernokrasi, serta berbagai gerakan politik lainnya.
d). Runtuhnya Pemerintahan Otoriter yang represif dan berpaham komunis-sosialis, sementara dipihak lain mulai menjamurnya negara-negara berpaham demokrasi yang memberikan kedaulatan sepenuhnya terhadap hak sipil melalui sistim multi partai. Termasuk dalam hal ini adalah Afganistan, Indonesia, Timor-Timur dan lain-lain.
e). Menguatnya sistim aliansi atas dasar kepentingan bersama antar negara, antar partai atau antar kelompok. Aliansi ini dilakukan untuk mempertahankan kedaulatan dari tekanan dan ancaman pihak lain. Termasuk didalam hal ini antara lain aliansi negara Utara-Utara, Utara Selatan, Selatan-Selatan, NATO, OKI dan lain-lain.
2). Dominasi politik negara besar terhadap negara-negara kecil menjadikan negara kecil tidak dapat terbebas dari pengaruh dan kepentingan politik. Dominasi tersebut ditandai dengan ekspansi dan hegemoni politik dari negara besar terhadap negara yang menjadi " satelitnya " . Berbagai kepentingan politik negara besar akan diakomodasi oleh negara yang menjadi " subordinasinya", Hubungan diantara keduanya adalah eksploitatif datam bentuk satelit pheriferial. Sebagai satelit, maka kehidupan politik dan proses politik ditentukan oleh negara besar. Dalam posisi semacam inis maka rnasa depan negara ini ditentukan pula oleh kepentingan negara besar. Termasuk negara ini antara lain Amerika Serikat.
e. Dalam tinjauan dibidang Sosial terjadi beberapa perkembangan antara lain.7) Perkembangan lintas budaya akibat situasi global, menyebabkan masing-masing negara
____________________________________________
7) Alvin dan Ileidi Toffler, Menciptakan Peradaban Baru, (terj) Ikon, Jakarta, 2002.
mengalami tingkat perubahan budaya yang sangan berarti. Perkembangan tersebut ditandai dengan:
a). Menjamurnya berbagai keiompok dan gerakan sosial yang berkaitan dengan isu-isu HAM, kependudukan, lingkungan hidup, hukum, gender, kemiskinan dan lain-lain yang didasarkan atas prinsip egaliter, kemanusiaan dan berciri jaringan (networking system) bertaraf internasional.
b). Menjamurnya berbagai kelompok gerakan pembebasan sosial, antara lain LSM transformatif, gerakan reformasi, gerakan revolusi dan lain-lain.
c). Terjadinya proses akulturasi, asimilasi dan difusi lintas budaya, dan konflik budaya pada pihak lain. Dalam posisi ini, maka negara bangsa mulai kehilangan makna dan tergantikan dengan 'konsep jaringan' (networking).
C. LINGKUNGAN REGIONAL
Menurut John Naisbit (1997) dalam bukunya Megatrend Asia8} mulai abad ke-21, Asia akan menjadi kawasan yang dominan di dunia baik dalam konteks politik, ekonomi maupun kultural. Diramalkan, bahwa akan terjadi pembalikan sejarah yaitu terjadinya proses Asianisasi dunia.
Terdapat beberapa kecendrungan perkembangan regional yang perlu dicermati sebagai lingkungan strategis :
a. Terjadinya percepatan perubahan Asia dari negara bangsa ke arah jaringan. Sejak dasa warsa 90 an, Jepang telah terbukti mendominasi ekonomi dunia. Namun awal dekade abad ke-21, dominasi ini beralih ke jaringan global pengusaha Cina. Perjalanan sejarah membuktikan, bahwa dominasi ekonomi Jepang mulai digeser pada dominasi Cina terutama terhadap Cina perantauan.
Oleh sebab itu dalam ekonomi global sudah tentu konsep negara bangsa menjadi tidak relevan, namun jaringanlah yang akan mendominasi. Keberhasilan Cina mulai mendominasi ekonomi dunia, bukanlah Cina sebagai Negara bangsa, melainkan kalangan pengusaha Cina perantauan yang tersebar dibelahan dunia. Mereka menguasai kekayaan dalam jumlah yang sangai besar. Di Malaysia mereka berjumlah 30% dari penduduk namun menguasai lebih dari 50% ekonomi di negara ini. Di Indonesia, jumlah mereka sekitar 4% dari penduduk, namun menguasai lebih dari 70% ekonomi. Di Thailand sebanyak 3%, namun menguasai sekitar 60% ekonomi dan Filipina berjumlah 3% dari penduduk, namun menguasai 70% sektor ekonomi di negara itu, Melalui jaringan, dan
_______________________________________________
8) John Naisbitt, Mega Trends Asia (terj), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997,
bergabung dengan jaringan global, Cina perantauan memiliki kemampuan kompetitif (compatitive advantage) untuk mengalahkan dominasi ekonomi barat dan Jepang. Kekuatan mereka terletak pada jaringan yang didasarkan pada marga, kemampuan berintegrasi secara lokal, kerja keras, dan hidup hemat.
b. Terjadinya pergeseran tingkat kehidupan ekonomi dari tuntutan ekspor ke arah tuntutan konsumen. Asia diperkirakan akan menjadi pusat ekonomi global. Dalam membangun ekonominya, tidak lagi difokuskan pada tuntutan eksport melainkan lebih banyak diarahkan untuk memenuhi permintaan konsumen. Penduduk Asia adalah lebih dari separuh penduduk dunia. Populasi ini merapakan potensi pasar yang tidak kecil. Pola hidup konsumtif yang merupakan ciri dari bangsa Asia merapakan potensi pembalikan arah manajemen ekonomi atas dasar tuntutan konsumen.
c. Terjadinya pergeseran pengaruh Barat ke arah cara Asia.
Runtuhnya komunisme dan hancurnya represi politik bersama dengan kekayaan yang dimiliki oleh negara di Asia, telah mendorong perubahan besar dalam pemikiran dan sikap bangsa Asia. Restrukturisasi ekonomi-ekonomi di berbagai negara di Asia khususnya Cina, Singapura, Korea Selatan, Jepang telah menggulirkan revolusi psikologis yang mendalam dengan melibatkan citra diri. budaya dan warisan Asia. Dalam hal ini Asia bergerak dari tradisi lama dan kuatnya pengaruh barat ke arah pilihan-pilihan baru. yaitu mempertahankan nilai-nilai kultural bangsa Asia yang ternyata tidak kalah dengan nilai-nilai Barat. Dengan demikian maka pengaruh Barat melalui resternisasi telah bergeser menjadi nilai kultural keAsiaan yang tidak monolitik, melainkan atas prinsip kemajemukan kultural.
d. Terjadi pergeseran dari dominasi pemerintah kearah dominasi pasar. Perubahan kekuasaan Pemerintah di belahan negara Asia telah menjadikan posisi pemerintah tidak lagi sebagai 'rowwing' melainkan sebagai 'steering'. Dominasi negara atas ekonomi ternyata tidak memberikan hasil secara memuaskan. Liberalisasi ekonomi dengan menggunakan pasar sebagai mekanisme kontrol justru membuat tingkat pertumbuhan ekonomi di Asia begitu menakjubkan. Oleh sebab itu, dibeberapa negara Asia antara lain Singapura, Taiwan, Korea, Jepang, Hongkong mulai menanggalkan ideologi ke arah pragmatisme yaitu memi1ah-milah antara politik dan kepentingan ekonomi. Liberalisasi ekonomi dan politik menjadikan Hongkong, Korea Selatan, Singapura dan Taiwan meloncat ke tahap 'developed countries' dan dikenal sebagai macan Asia. Kuncinya adalah ke empat negara mulai memilah antara kepentingan politik dan ekonomi untuk memajukan negaranya dengan menyerahkan sepenuhnya terhadap mekanisme pasar. Negara seminimal mungkin melakukan intervensi pasar. Oleh sebab itu, terjadi sebuah fenomena bahwa Asia telah berusaha meletakkan posisi ideologi mengalah pada realitas ekonomi dan politik. Penanggalan ideologi kearah pragmatisme merupakan indikasi betapa pentingnya pemilah-milahan secara struktural. Korea Selatan misalnya, walaupun sering berganti Pemerintahan, namun tingkat pertumbunan ekonomi tetap tidak terganggu. Demikian juga Thailand dan Jepang.
e. Terjadinya mobilitas sosial secara besar-besaran dari desa ke kota. Kecenderungan terjadinya pemusatan penduduk di kota mulai bergulir sejak industri dan pertanian berubah dimana-mana. Tingkat kepadatan penduduk di kota-kota besar di beberapa kota di Asia seperti Beijing, Jakarta, Bangkok, Kalkuta, Singapura, Tokyo, Hongkong dan lain-lain berakibat terjadinya kepadatan fisik, moral dan sosial. Kepadatan tersebut berimplikasi pada tumbuhnya berbagai persoalan sosial, ekonomi, politik dan budaya.
f. Terjadinya proses pergeseran dari padat karya ke arah teknologi tinggi banyak orang Barat yang menganggap Asia dengan industri padat karya yang mengandalkan tenaga kerja murah. Tanpa disadari, prediksi semacam itu menjadi keliru sejak ekonomi global terus memmjukkan berbagai perubahan. Perubahan tersebut adalah dari abad industri ke abad informasi sepenuh potensinya. Kunci produktivitas bukan lagi terletak pada murahnya ongkos tenaga kerja, melainkan pada pemanfaatan teknologi canggih sebaik-baiknya. Sementara Barat tenggelam dalam proteksionisme-politis yang rumit, maka Asia terus mendobrak ke depan. Perubahan itu terlihat pada pusat-pusat perkotaan di Asia yang canggih, penerapan teknologi tinggi, menyajikan insentif dan profesional serta maraknya perusahaan-perusahaan multi nasional yang berciri global dan bertehnologi tinggi. Contoh dari hal ini adalah Hongkong yang memiliki sistem telepon tercanggih di dunia.
g. Terjadinya pergeseran peranan dan posisi yang semula menjadi dominasi kaum pria ke arah dominasi kaum wanita (gender). Sebuah kenyataan, bahwa dibeberapa negara Asia seperti Cina, Jepang, India dan lain-lain peran kaum wanita mulai diperhitungkan. Berdasarkan perhitungan John Naisbitl, terdapat berjuta wanita Asia yang memiliki profesionalisme tinggi akan mengendalikan kekuatan pria Asia pada abad ke - 21 ini. Mereka tidak saja berpendidikan (terpelajar) di dunia bisnis, tapi mulai merambah pada kehidupan politik. Gerakan persamaam Gender dengan tuntutan egaliter dengan kaum pria mulai muncul dimana-mana. Tuntutan mereka adalah kemitraan atas dasar persamaan hak serta memainkan peran kepemimpinan dalam merebaknya dunia usaha di Negara Pesisir Pasifik di samping terbukti menjadi pemimpin politik di beberapa negara lainnya.
h. Pergeseran Pengaruh dari Barat ke Timur. Dominasi Barat dalam pasar, teknologi dan model sejak perang dunia II menjadikannya memiliki pengaruh yang kuat di Asia. Namun pengaruh ini mulai runtuh ketika Asia menunjukkan jati dirinya sebagai Bangsa yang berkekuatan. Gerakan ' timurisasi’ dunia diawali dari Asia melalui poros pengaruh global. Kekuatan global baik dalam konteks budaya, ekonomi dan politik Asia akan merambah sebagai kekuatan dunia. Dibidang ekonomi terlihat bahwa, jika unit ekonomi Asia Timur pada kurun waktu 35 tahun lalu hanya menyumbang 4% produksi dunia maka dewasa ini telah meningkat menjadi 24% atau sama dengan sumbangan yang diberikan oleh USA, Canada dan Meksiko. Dibidang budaya, Asia memiliki lintas budaya lokal yang majemuk. Kemajemukan ini merupakan kekuatan pluralisme yang mampu meredam pengaruh dari Barat yang kini menghadapi proses marjinalisasi di Asia. Dibidang politik, kekuatan Asia terlihat ketika muncul berbagai aliansi dan jaringan politik baik melalui hubungan bilateral maupun multilateral yang mampu memperjuangkan. kepentingan Asia di dunia internasional. Demikian juga naiknya Islam dalam kepemimpinan dunia merupakan kemenangan Asia terhadap Barat. Ini semua menunjukkan, betapa besarnya posisi Asia di dunia. Oleh sebab itu, mulai dikembangkan kemitraan antara Asia dengan pihak lain atas dasar kesederajatan (kesetaraan). Diperkirakan, bahwa masa depan dunia terletak di Asia.
D. LINGKUNGAN NASIONAL .
Lingkungan strategis pada lingkup nasional yang perlu dibaca dan dicermati antara lain:
a. Terjadinya pergeseran kekuasaan dari Pemerintahan sentralistik ke arah otonomi yang ditandai dengan pemberlakuan UU Nomor : 32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah telah membawa perubahan secara mendasar di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Menyertai kondisi ini adalah :
1). Terjadinya pemekaran daerah baik Kabupaten/ Kota maupun Propinsi baru.
2). Terjadinya ego kewilayahan atas dasar kesukuan, kedaerahan dan lain-lain.
3). Makin nampak terjadinya disparitas antar wilayah, sebagai akibat penguasaan kekayaan daerah secara otonom.
4). Terjadinya diskontinuitas hubungan kerja antara Pemerintah Kabupaten/Kota dengan Propinsi dan Pusat.
Beberapa kondisi yang menyertai sebagaimana dikemukakan, jika tidak disikapi secara arif dan bijaksana akan menimbulkan reaktivitas sosial, politik dan ekonomi serta budaya yang kesemuanya bermuara pada terjadinya ancaman disintegrasi bangsa.
b. Gerakan reformasi pasca tahun 1997 mengikuti pasca krisis telah terjadi berbagai perubahan secara fundamental dalam sistim ketatanegaraan.
Perubahan tersebut antara lain :
1). Tuntutan amandemen UUD 1945 dari berbagai kelompok masyarakat pada satu pihak dan penolakan oleh kelornpok terhadap pihak lain rnenjadi potensi konflik sosial serta krisis kontitusi. Kondisi ini akan makin merapuhkan integrasi nasional yang kini makin terancam.
2). Tuntutan otonomi daerah yang makin gencar di beberapa daerah serta munculnya berbagai gerakan separatis di sebagian wilayah menjadi sebuah ancaman disintegrasi nasional.
3). Perubahan pemerintahan ke arah demokrasi menyebabkan diberlakukannya sistim multi partai sebagaimana yang pemah terjadi pada masa orde lama. Sistim multi partai dengan jumlah hingga puluhan, menyebabkan terjadinya kooptasi eskalasi politik mulai dari akar rumput hingga pada tingkat elit politik. Posisi ini sungguh menjadi potensi meluasnya kelompok kepentingan yang akhirnya akan merapuhkan sistim ketahanan sosial dan akhirnya mengancam stabilitas nasional.
4). Makin hilangnya identitas dan pembudayaan simbol-simbol integralistik seperti nasionalisme, patriotisme dan penghargaan serta penghormatan terhadap simbol integrasi yang terefleksi pada Pancasila dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara. Yang kemudian muncul adalah simbol-simbol kedaerahan, kesukuan, agama, yang kesemuanya mengarah pada sikap ethnocentrisme atas dasar kesukuan, golongan dan agama. Menyertai hal ini adalah gejala munculnya kebebasan yang kebablasan, pencercaan, saling curiga, saling tuduh, saling maki. stigmatisasi kelompok atas kelompok lainnya, serta terjadinya kristalisasi kelompok atas dasar kepentingan. Yang membahayakan bagi kepentingan integrasi nasional manakala sikap tersebut merambah pada akar rumput hingga pada tingkat elit. Konflik antar kampung, antar massa partai tertentu, antar golongan, konflik antar suku merupakan contoh betapa hilangnya simbol-simbol integralistik nasional pada tingkat akar rumput.
c. Krisis ekonomi yang berkepanjangan sejak pertengahan tahun 1997 menyebabkan beberapa indikasi antara lain :
1). Tingkat pertumbuhan ekonomi tidak sesuai yang diharapkan (diperkirakan dibawah 3% unruk tahun 2002), tingkat pendapatan masyarakat rendah serta daya beli masyarakat yang rendah. Hal ini disebabkan, karena sektor riil tidak mampu berkembang. Demikian pula daya saing tidak berjalan. Eksport mengalami kemunduran sementara kebutuhan substitutif import semakin tinggi sehingga terjadi ketidak seimbangan neraca transaksi eksport-import. Demikian juga investasi asing tersendat-sendat, karena Indonesia masih dinilai sebagai 'higerisk countries' oleh kalangan investor.
2). Tingkat pertumbuhan masalah sosial seperti kemiskinan, keterlantaran, kecacatan dan lain-lain makin tinggi dari tahun ke tahun. Jika pra krisis ekonomi, jumlah kelompok miskin sekitar 15 juta jiwa, kini diproyeksikan meningkat secara tajam lebih dari 300%.
3). Memburuknya aparat birokrasi yang ditandai dengan munculnya kasus-kasus korupsi pada hampir semua lini, merupakan beban dan tugas yang amat berat yang harus ditanggung oleh Pemerintah untuk menyelesaikan. Demikian juga kasus-kasus hukum yang melibatkan aparat cukup intens.
d. Gerakan civilisasi mulai merebak pada semua lini yang ditandai dengan :
1). Bertaburan LSM/NGO baik yang bergaris keras maupun moderat disemua bidang kehidupan yang secara fungsional sering mengatas namakan rakyat dengan berbagai isu-isu tentang HAM, Hukum, Demokrasi, Gender, Lingkungan hidup dan lain-lain yang sebagian diantaranya justru memperjuangkan kepentingan pihak asing.
2). Terjadinya penetrasi budaya asing melalui agen-agen lokal sebagai mitra jaringannya.
3). Munculnya berbagai gerakan anti militer yang dilakukan oleh kalangan tertentu, dengan maksud untuk rnenggoyahkan pertahanan dan keamanan nasional.
4). Munculnya kekuatan sipil yang militeristik berfungsi untuk kepentingan melindungi dan mengamankan kelompok golongan tertentu. Kekuatan sipil umumnya dibentuk untuk mengamankan partai, seperti Gerakan Banteng Muda, Garda Bangsa, Pasukan Berani Mati dan lain-lain yang secara keseluruhan justru mengancam bagi integrasi sosial.
5). Menjamurnya gerakan yang berideologi aliran, baik aliran garis keras maupun yang militan dan fundamentalis, seperti FPI (Front Pembela Islam), Gerakan Mujahidin,dsb.
E. PELUANG DAN KENDALA
a. Peluang:
1). Situasi global, regional maupun nasional menjadi peluang untuk memperkenalkan keanekaragaman budaya komunitas adat terpencil maupun karyanya dalam sistim pergaulan internasional.
2). Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Republik Indonesia dapat digunakan sebagai alat untuk memperkokoh ingrasi nasional serta memperkuat kemajemukan dalam wadah negara kesatuan Indonesia.
3). Menjadikan keanekaragaman budaya komunitas adat terpencil sebagai obyek wisata internasional secara kompetitif, sehingga mampu menyerap wisatawan sebanyak- banyaknya. Dari sektor ini, diharapkan devisa negara akan makin tinggi.
4). Kemajemukan budaya yang dimiliki oleh komunitas adat terpencil dapat menjadi instrumen untuk memperkokoh integrasi nasional, memperkuat ketahanan sosial dan akhirnya rnemantapkan stabilitas nasional.
5). Sivilisasi disegala bidang menjadi peluang untuk mengembangkan berbagai budaya dan lintas budaya komunitas adat terpencil dan rnengintegrasikannya dengan masyarakat pendatang berdasarkan kearifan lokal serta dalam suasana saling menghargai dan saling menghormati.
6). Karya-karya yang ditampilkan oleh komunitas adat terpencil memiliki nilai kompetitif yang tinggi di dunia internasional. Oleh sebab itu, memberdayakan komunitas adat terpencil untuk menampilkan karya-karyanya rnerupakan peluang bagi peningkatan kesejahteraan bagi yang bersangkutan.
7). Tersedianya perangkat perundang-undangan yaitu UU diganti yang baru tentang Pemerintahan Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor: 25 tahun 2000 tentang pembagian wewenang antara Pemerintah Pusat dan Pripinsi.
8). Terdapat sejumlah Instansi/ Lembaga/ Badan dan masyarakat yang peduli terhadap komunitas adat terpencil menjadi potensi sekaligus anggota jejaring.
9). Terdapat sejumlah kebijakan Pemerintah (meskipun secara sektoral) dalam rangka pembinaan terhadap komunitas adat terpencil menjadi modal dasar bagi keberhasilan program.
10). Masih kuatnya komitmen, kepercayaan, ikatan sosial berdasarkan hubungan kekerabatan serta tersedianya jaringan antar komunitas adat terpencil dalam bentuk berbagai forum Lembaga adat tingkat nasional merupakan modal sosial (Social Capital) dalam rangka penanganan komunitas adat terpencil secara komprehensif dan integratif.
b. Kendala.
Terdapat sejumlah kendala yang mungkin akan dihadapi dalam penanganan dan pemberdayaan komunitas adat terpencil. Kendala tersebut antara lain :
1). Lemahnya kepercayaan dan kornitraen Dunia terhadap Indonesia rnenyebabkan sulimya Indonesia melakukan promosi di luar negeri.
2). Ancaman kelompok separatisrne dan berbagai gerakan perlawanan yang anti kemapanan menyebabkan Indonesia dianggap sebagai 'High Risk Countries' bagi negara lain. Implikasinya adalah ketidak tertarikan orang asing terhadap Indonesia.
3). Sikap ethnocentrisme atas dasar golongan, kesukuan, agama dan keturunan menyebabkan ketahanan sosial pada tingkat lokal sulit dibangun. Implikasinya adalah makin banyaknya ancaman terhadap integrasi nasional.
4). Munculnya sikap 'alergi' terhadap Pancasila pada sebagian kelompok menyebabkan proses pembudayaan, penghayatan dan pengamalannya masih sulit dilakukan kepada komunitas adat terpencil.
5). Otonomi daerah yang diberlakukan mengurangi intervensi Pemerintah Pusat terhadap penanganan masalah sosial di daerah, termasuk di dalamnya adalah penanganan komunitas adat terpencil. Akibatnya Pemerintah Pusat mengalami kesulitan besar dalam proses pemantauan di lapangan tentang kehidupan komunitas adat terpencil.
6). Menjamurnya berbagai kelompok beridiologi aliran garis keras menjadi ancaman bagi komunitas adat terpencil terutama jika kelompok ini mulai menanamkan pengaruhnya didaerah pedalaman.
7). Masalah sosial yang dihadapi oleh komunitas adat terpencil seperti kemiskinan, kebodohan. keterheiakangan dan tingkat kesadaran hukum yang relatif rendah menyebabkan sulitnya mereka melakukan adaptasi sosial dengan dunia modern. Dalam hal tertentu Konflik antar budaya sering tidak terhindarkan.
BAB. V. AKTUALISASI PENDEKATAN SOSIAL BUDAYA DALAM PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL YANG DIHARAPKAN
A. U M U M
Sebagaimana telah dikemukakan, Komunitas Adat Terpencil telah menjadi pihak yang paling banyak dirugikan oleh kebijakan pembangunan selama dekade ini. Meskipun mereka merupakan elemen terbesar dalam struktur negara bangsa Indonesia, eksistensi komunitas adat terpencil belum sepenuhnya terakomodasi dalam setiap pembuatan kebijakan nasional, Oleh sebah itu mengembalikan semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’ adalah penting. Secara filosofis, semboyan ini menunjukkan penghormatan dan penghargaan Indonesia atas kemajemukan. Kemajemukan tersebut dipilah ke dalam berbagai suku, dan kelompok penutur bahasa tertentu, maupun kelompok ajaran agama yang berbeda. Keragarnan ini juga bermuara pada perbedaan adaptasi interaktifhya terhadap eko sistem lokalnya.
Hal inilah yang kemudian melahirkan komunitas adat terpencil yang memiliki kearifan lingkungan yang berbeda-beda. Berbagai peraturan perundang-undangan yang pernah dikeluarkan semasa Orde Baru seperti UU Pokok Kehutanan, UU Pertambangan, UU Perikanan, UU Transmigrasi dan UU Penataan Ruang ternyata telah menjadi instrumen utama dalam pengambilalihan sumber ekonomi komunitas adat terpencil secara kolusif terhadap perusahaan swasta. Kebijakan dan politik sumber daya yang tidak adil semacam ini telah menimbulkan konflik berdimensi kekerasan yang diwarnai dengan berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Relevan dengan itu, maka pembangunan yang berorientasi developmentalisme perlu ditanggalkan dan kemudian dikembangkan sebuah pembangunan yang berorientasi pada konteks peradaban (civilisasi).
Konteks peradaban meletakkan pengutamaan pendekatan sosial budaya dan kearifan lokal sebagai strategi kebijakan. Hal ini berarti, bahwa aktualisasi pendekatan sosial budaya dalam penanganan dan pemberdayaan komunitas adat terpencil adalah unik baik dalam struktur sosial, budaya, maupun perilaku sosialnya yang kemudian disebut kearifan lokal. Keunikan ini memberikan konsekwensi betapa pentingnya formula kebijakan pembangunan nasional menempatkan kemajemukan sebagai wacana analisis dan implementasinya Instruments-instruments lokal perlu ditempatkan sebagai strategi pembangunan, sehingga kemajemukan akan semakin terlihat. Jika hal ini terjadi, maka kemajemukan terintegrasi akan berkembang. Dalam konteks ini akan ditemukan sebuah, komunitas adat terpencil yang memiliki sistim ekonomi tradisional yang mampu hidup berdampingan dengan sistim ekonomi modern, tidak saling menerkam.
Demikian pula, sistim poliknya menganut demokrasi komunal, artinya partai politik tidak diwajibkan mempunyai cabang di seluruh Propinsi, namun membiarkan masyarakat komunal mendirikan partainya sendiri dan boleh tidak memiliki cabang.
Demikian juga interaksi budaya antar suku berjalan seimbang. Kemajemukan secara terintegrasi akan memperkokoh ketahan sosial masyarakat. Jika ketahanan sosial makin kokoh, maka stabilitas nasionai tidak akan terganggu dan akhirnya integrasi sosial nasional akan semakin kuat.
B. BIDANG AGAMA
Kerukunan hidup intern urnat beragarna, antar urnat beragama dan antar umat beragama dengan Pemerintah menjadi arah dalam pembinaan agama. Seeara kontekstual, pembinaan agama adalah memperkuat atau memperkokoh ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memberikan kebebasan bagi masyarakat (termasuk komunitas adat terpencil) untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Pada umumnya, komunitas adat terpencil belum sepenuhnya menganut agama yang disarankan oleh Pemerintah, karena secara kultural, komunitas adat terpencil telah menganut berbagai aliran kepercayaan yang bersifat turun temurun.
Selama ini aliran kepercayaan yang dianut oleh komunitas adat terpencil, diletakkan pada posisi marjinal dengan agama. Yang diharapkan adalah adanya kesederajatan posisi agama dengan aliran kepercayaan. Karena keduanya bersangkutan dengan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, ketertundukan terhadap kekuatan yang ada di luar manusia serta sama-sama memiliki instruments ritual, meskipun Agama lebih lengkap dibandingkan dengan aliran kepercayaan.
Fakta menyatakan, bahwa aliran kepercayaan hampir dianut oleh seluruh komunitas adat terpencil. Oleh sebab itu, pembinaan agama yang diharapkan adalah:
a. Memberikan pengakuan religiussitas terhadap berbagai aliran kepercayaan sebagai keyakinan komunitas adat terpencil. Bentuk pengakuan adalah memberikan tempat dalam satu atap pembinaan antara agama dengan aliran keprecayaan di bawah koordinasi Departemen.
b. Memberikan kebebasan kepada suku teasing untuk menyakini Tuhan Yang Maha Esa dengan cara dan pendekatannya masing-masing. Hal ini berarti bahwa Pemerintah tidak memaksakan kehendak kepada komunitas adat terpencil untuk memeluk agama tertentu.
c. Pembinaan agama yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap komunitas adat terpencil tidak melanggar kaidah-kaidah normatif tradisional yang dimiliki oleh mereka. Dengan cara ini, maka penetrasi agama kepada komunitas adat terpencil akan berlanjut dengan program asmililasi, akulturasi, difusi atau integrasi iintas agama-budaya lokal.
C. BIDANG PENDIDIKAN
Kualitas sumber daya manusia ditentukan oleh tingkat pendidikan yang diperoleh. Dengan pendidikan, maka menjadi keniscayaan individu yang bersangkutan menguasai pengetahuan. Melalui gerakan wajib belajar sembiian tahun dan gerakan nasional orang tua asuh. Pemehntah berupaya keras untuk meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat. Demikian juga, Pemerintah telah berupaya secara maksimal untuk meningkatkan pendidikan kepada komunitas adat terpencil,
Kekurang berhasilan pembinaan Pemerintah di bidang pendidikan karena kurangnya penguasaan tentang kearifan lokal, sehingga sebagian komunitas adat terpencil mengasumsikan adanya 'proses pemaksaan' terhadap mereka. Kebodohan akibat rendahnya pendidikan yang dialarni oleh komunitas adat terpencil rnembuktikan betapa pembangunan di bidang pendidikan bagi komunitas adat terpencil menghadapi berbagai kendala. Oleh sebab itu, pembangunan di bidang pendidikan pada saat mendatang yang diharapkan adalah:
a. Gerakan program wajib belajar sembilan tahun perlu diimplementasikan secara sungguh-sungguh dengan mendayagunakan instrumen lokal, antara lain pemanfaatan lembaga adat, tradisi dan lain-lain.
b. Penyediaan guru dan dampingan benar-benar yang menguasai sosial budaya lokal, sehingga pendidikan secara terintegrasi dapat berjalan dengan proses sosial di tingkat lokal.
c. Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan secara memadai, sehinga komunitas adat terpencil tidak mengalami kesulitan dalam menjangkau aksesibilitas di bidang pendidikan.
d. Mengembangkan system pendidikan yang disesuaikan dengan kemampuan komunitas adat terpencil antara lain menyelenggarakan SD, SMP atau SLTA terbuka yang memberikan ruang gerak bagi komunitas adat terpencil memperoleh peiayanan pendidikan tanpa menganggu aktivitas sehari-hari.
e. Memberikan penghargaan kepada anak-anak komunitas adat terpencil yang berprestasi ke tingkat nasional sebagai upaya bentuk pengakuan Pemerintah terhadap dunia pendidikan yang diberikan kepada komunitas adat terpencil.
Pengembangan pendidikan yang diiakukan terutama kepada orang tua sebaiknya difokuskan pada peningkatan pengetahuan dan penguatan ketrampilan, tanpa menghilangkan identitas keunikan lokal, dengan penguatan ketrampilan (hand craft), home industri dan lain=lain yang menggunakan tehnologi sederhana, bahan baku lokal, mudah dipasarkan.
D. BIDANG HUKUM
Selama ini terasa bahwa sadar hokum positif dan benturan aniara hukum positif dengan hukum adat sering terjadi. Disparitas dalam perolehan aksesibilitas penguasaan hak adat, komunitas adat terpencil dianggap sebagai " perambah hutan dan perusak lingkungan " dan lain-lain menunjukkan bahwa perlakuan hukum bagi mereka kurang proposional dan diperlakukan kurang adil. Oleh sebab itu, pembinaan di bidang hukum yang diharapkan adalah mewujudkan komunitas adat terpencil sadar hukum. Terdapat beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam membangun masyarakat sadar hukum di lingkungan komunitas adat terpencil, yaitu :
a. Gerakan sadar hukum dilakukan dengan mendayagunakan berbagai instrumen lokal antara lain tokoh adat, lembaga lokal dengan bahasan lokal.
b. Peran dampingan dalam gerakan sadar hukum disamping menguasai hukum positif juga memahami secara mendalam kearifan lokal antara lain tradisi, hukum adat, bahasa, teknnologi, mata pencaharian pada tingkat lokal. Hal demikian untuk menghindari terjadinya benturan budaya di tingkat lokal.
c. Gerakan sadar hukum dilakukan secara inklusif dengan mengakomodasi peranan dan posisi hukum adat, sehingga integrasi hukum terlaksana secara efektif Sikap ke arah sadar hukum komunitas adat terpencil akan makin tinggi jika terjadi integrasi sosial yang tidak dipaksakan.
E. BIDANG KESEJAHTERAAN SOSIAL
Kesejahteraan sosial merupakan hak dan kewajiban bagi komunitas adat terpencil untuk mewujudkannya. Demi pengaktualisasian hak dan kewajibannya, maka Pemerintah mendorong tanggung jawab masyarakat lokal untuk menyeiesaikan masalahnya berdasarkan kemampuannya sendiri.
Pendekatan pembangunan kesejahteraan sosial yang berbasiskan kebutuhan dasar telah mengalami kegagalan, karena kurang memperhatikan faktor sosial budaya sebagai pemicu kebijaksanaannya. Untuk mengantisipasi tingkat kegagalan yang tinggi, maka sudah saatnya pendekatan sosial budaya menjadi basis penanganan dan pemberdayaan komunitas adat terpencil. Untuk mewujudkan hai demikian, maka penanganan dan pemberdayaan komunitas adat terpencil perlu meletakkan faktor-faktor antara lain :
a. Diperlukan intrumen pengukuran berbagai indikator keberhasilan penanganan dan pemberdayaan suku terasing, sehingga tingkat perkembangan beserta faktor kendalanya dapat diidentifikasi setepat mungkin.
b. Menghindarkan dari pola penanganan dan pemberdayaan yang bertumpu pada orientasi proyek dalam bentuk paket-paket, namun benar-benar memberikan perhatian terhadap pentingnya kebutuhan strategis bagi komunitas adat terpencil. Pendekatan kebutuhan dasar akan efektif, jika memperhatikan kebutuhan strategis, bukan kebutuhan dalam konteks praktis sebagaimana dilakukan selama ini. Kebutuhan strategis menjamin komunitas adat terpencil berkemampuan mengaktualisasikan upaya kesejahteraan sosialnya atas dasar kemampuan, kebutuhan dan masalah yang dihadapi.
c. Mengupayakan penyediaan aksesibilitas pelayanan publik yang memungkinkan komunitas adat terpencil terhindar dari proses marjinalisasi. Pelayanan publik yang disediakan tentunya dilakukan secara terpadu dan terintegrasi serta memenuhi kebutuhan strategis bagi komunitas adat terpencil.
d. Penghapusan kemiskinan melalui program-program pengembangan dan pengorganisasian rnasyarakat yang berorientasi pada keunikan lokal secara terpadu, sehingga tidak terjadi ego sektoral dalam setiap penanganan komunitas adat terpencil.
e. Dukungan masyarakat luas sangat diperlukan sebagai "stakeholder". Oleh sebab itu, setiap penanganan perlu melibatkan seluruh komponen masyarakat baik lokal maupun lintas lokal.
f. Tersedianya program-program perlindungan dan jaminan sosial untuk menyeimbangkan kepentingan ekonomi wilayah dan konservasi hutan dengan hak hidup, hak memperoleh penguasaan tanah adat serta hasil hutan bagi komunitas adat terpencil, sehingga dapat dihindari terjadinya konflik Iintas budaya.
g. Implementasi pembagian wewenang antara Pemerintah Pusat dengan Daerah sesuai UU Nomor 22: Diganti dengan UU yang baru perlu dilakukan secara seksama dengan konteks 'Negara Kesatuan tanpa mengabaikan peran keterpaduan serta integrasi kebijaksanaan dalam penanganan komunitas adat terpencil.
F. KETERKAITAN DENGAN DIMENSI LAINNYA
Manakala kondisi yang diharapkan benar-benar mampu diwujudkan, maka akan berimplikasi positif bagi stabilitas nasional. terutama proses politik berkembang secara kondusif, proses sosial berjalan secara serasi, tingkat pertumbuhan dan pemerataan ekonomi semakin kuat dan terciptanya keanekaragaman budaya berdasarkan keunikan lokal merupakan indikator penting dalam menciptakan stabilitas nasional. Stabilitas nasional akan tercapai, jika ketahanan sosial masyarakat makin kuat.
Oleh sebab itu, berbagai kebijakan penanganan dan pemberdayaan komunitas adat terpencil akan berpengaruh pula pada derajat ketahanan rnasyarakat dari perspektif ideologi, politik, ekonomi dan pertahanan serta keamanan,sbb:
a. Dimensi Ideologi
Kemajemukan komunitas adat terpencil yang diperkuat dengan kesadaran hukum yang tinggi, texdidik seiia keluuupaii daii penghiuupail yang layak iidak akan itludah dipengaruhi oleh berbagai ideologi lain. Penetrasi ideologi oleh pihak lain tidak akan mudah, karena komunitas adat terpencil sudah cerdas untuk memiiah ideologi Pancasila yang bisa diterima dan sesuai dengan budaya lokal.
Pancasila akan semakin memperkuat ‘Konsensus sosial' berupa ikatan solidaritas sosial yang awalnya rentan dan mengancam keutuhan keiompok menjadi kokoh. Kekokohan solidaritas sosial yang dirasakan akan makin memperkuat pula tingkat ketahanan sosial komunitas adat terpencil dari ancaman penetrasi ideologi asing. Terjadinya integrasi sosial lokal, karena homogenitas dalam internalisasi ideologi. Konflik baik secara internal maupun antar suku dapat diantisipasi, karena masing-masing pihak mampu hidup berdampingan, kerukunan antar mereka dapat diwujudkan dan akhirnya integrasi sosial dalam arti seluas-luasnya dapat dikembangkan. Pemaksaan 'ideologi' kepada komunitas adat terpencil akan dilawan dengan berbagai gerakan perlawanan. Oleh sebab itu, tidak akan mudah bagi komunitas adat terpencil menerima ideologi asing yang dianggap baru.
b. Dimensi Politik
Pendekatan pembangunan berbasiskan peradaban akan memberikan peluang seluas-luasnya bagi komunitas adat terpencil untuk menjalankan kehidupan secara pluralistik dalam konteks kesatuan. Dalam posisi ini, hak politik komunitas adat terpencil untuk memperjuangkan kepentingannya juga dihormati. Mereka diberikan kebebasan untuk menyalurkan hak politiknya serta memperoleh kebebasan untuk mengembangkan demokratisasi dan civilisasi di tingkat lokalnya. Melalui proses politik baik pendidikan, sosialisasi maupun komunikasi politik yang dilakukan komunitas adat terpencil, maka secara kondusif akan memberikan kontribusi terhadap stabilitas politik di tingkat nasional. Mengembalikan hak sosial budaya bagi komunitas adat terpencil, berarti mengembalikan pula prinsip keadilan sosial bagi mereka. Dengan diperlukan secara adil, maka akan menghasilkan sebuah komitmen dan saling percaya antara komunitas adat terpencil, masyarakat pendatang serta Pemerintah. Integrasi sosial akan tercipta karena konflik sosial dapat dihindari. Dalam kondisi semacam ini, maka ketahanan sosial juga makin terjaga dan akhirnya stabilitas nasional makin terpelihara.
c. Dimensi Ekonomi
Perolehan aksesibilitas pelayanan publik, memberikan implikasi pada meningkatnya sektor riil dan sektor pariwisata yang dapat dinikmati komunitas adat terpencil. Apabila kondisi ini didukung oleh menguatnya jaringan antar adat, mengakibatkan pengenalan komunitas adat terpencil oleh dunia internasional, mempertinggi pendapatan masyarakat dan akhirnya komunitas adat terpencil akan mampu menghindarkan diri dari proses marjinalisasi kemiskinan. Meningkatnya ekonomi masyarakat komunitas adat terpencil akan mempengaruhi tingkat pendapatan nasional serta tingkat pertumbuhan ekonomi. Demikian juga angka kemiskinan pada tingkat nasional juga mengalami penurunan, implikasi lainnya adalah meningkatnya Human Development Index atau Indeks Pengembangan Manusia bagi Indonesia.
d. Dimensi Pertahanan dan Keamanan
Situasi ideologi politik, ekonomi yang makin kondusif,mengakibatkan hal-hal sebagai berikut:
1). Menguatnya kepercayaan komunitas adat terpencil terhadap Pemerintah bahwa mereka bukanlah dijadikan obyek melainkan sebagai subyek pembangunan.
2). Berkurangnya konflik sosial yang terjadi, sementara sentimen sosial atas dasar kebangsaan akan semakin kuat. Kuatnya sentiment social berdimensi kebangsaan, makin memperkuat ketahanan sosial.
3) Kuatnya ketahanan sosial akan berimplikasi pula pada peningkatan stabilitas nasional. Akhirnya ancaman integrasi nasional dapat diantisipasi secepat mungkin. Tidak terjadi kooptasi politik, sosial, ekonomi dan ideologi di kalangan komunitas adat terpencil karena kebersamaan, kesetiakawanan sosial dan komitmen makin kuat. Oleh sebab itu, ancaman keamanan baik dari dalam maupun luar-negeri dianggap sebagai musuh bersama. Sikap nasionalisme ini menjadi modal dasar bagi kokohnya integrasi nasional.
Situasi yang kondusif juga berimplikasi pada terpeliharanya pertahanan dan keamanan negara, karena beberapa faktor:
1). Hilangnya sikap ethnocentrisme atas dasar primordial menjadi sikap kebangsaan, yang melahirkan 'musuh bersama' dalam menghadapi berbagai ancaman.
2) Menguatkan paham integralistik di kalangan komunitas adat terpencil tanpa meninggalkan prinsip kemajemukan yang merupakan indikator adanya integrasi sosial yang menjamin terwujudnya ketahanan dan keamanan sosial.
3) Kuatnya ketahanan sosial komunitas adat terpencil karena berbagai persoalan ketidakadilan yang di rasakan oleh komunitas adat terpencil mampu dipecahkan melalui “konsensius sosial”.
Bahwa kondisi yang diharapkan sebagaimana dikemukakan tidak akan terjangkau atau “utopis”, jika pemerintah tidak memiliki komitmen secara sungguh-sungguh untuk mengubah arah kebijakan nasionalnya dalam menangani komunitas adat terpencil. Kebijakan nasional yang diharapkan adalah memformulasikan pendekatan peradaban melalui sosial budaya dalam bentuk rangkaian strategi dan kegiatannya, atau dengan formula lain mensinergikan ancangan security (hankam) dengan prosperity (kesejahteraan).
BAB. VI. REINVENTING PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DALAM PENDEKATAN SOSIAL BUDAYA
A. UMUM
Bagi sebuah negara bangsa yang memiliki ciri pluralisms, stabilitas nasional amat dibutuhkan. Dengan stabiiitas nasional setiap warga negara akan terjamin dan merasa aman mnejalankan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Indikator stabilitas nasional adalah jika stabilitas sosial, ekonomi politik dan budaya tercapai. Yang paling utama adalah kekuatan stabilitas nasional tidak saja diletakkan pada tanggung jawab Pemerintah semata tetapi juga menjadi tanggung jawab masyarakat. Dalam masyarakat madani sebagaimana yang dicita-citakan, maka hubungan Pemerintah dan masyarakat bukanlah dalam kontek “patron-client”, melainkan dalam posisi kemitraan dan kesetaraan. Jika Pemerintah kuat dan masyarakat lemah atau sebaliknya, maka hubungan eksploitatif akan terjadi dan hal demikian tidak akan menjamin terwujudnya stabilitas nasional.
Sejalan dengan itu orientasi Pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia bukanlah berada dalam konteks 'welfare state' melainkan lebih menekankan kearah 'welfare socierty' dengan memposisikan kesederajatan antara Pemerintah dan komunitas- komunitas masyarakat, sehingga participatory dan kemandirian berada dalam kontek pembangunan kesejahteraan masyarakat.
Tidak bijaksana jika penanganan komunitas adat terpencil hanya mengadalkan pendekatan pembangunanisme yang dipelopori dan didasari oleh kebutuhan dari perpektif Pemerintah semata yang terbukti gagal dalam meningkatan kesejahteraan bagi komunitas adat terpencil. Kegagalan penanganan komunitas adat terpencil selama ini terletak pada kekurangpekaan Pemerintah untuk merancang pendekatan pembangunan yang berorientasi pada sosial budaya berdasarkan kearifan lokal dan kebutuhan strtegis bagi komunitas adat terpencil melainkan berorientasi pada kepentingan struktural dan anggaran Pemerintah.
Dengan memahami tentang aktualisasi social budaya saat ini dan yang diharapkan dan mempelajari lingkungan strategis, kelemahan utama penanganan dan pemberdayaan komunitas adat terpencil terleak pada kurangnya memberikan tekanan pada pentingnya 'peradaban' dalam aplikasi pembangunan kesejahteraan masyarakat, yaitu lemahnya kepekaan dan sensitivitas tentang pentingnya peranan sosial budaya komunitas adat terpencil sebagai intrumen penanganan dan pemberdayaan. Dari berbagai pengalaman perjalanan bangsa membuktikan, bahwa pendekatan pembangunan yang salah arah mengakibatkan rapuhnya tingkat ketahanan sosial masyarakat.
Ketahanan yang rapuh mengakibatkan terjadinya berbagai goncangan di bidang politik, ekonomi dan sosial. Dibidang politik terjadi kooptasi kepentingan yang akhirnya memecah belah perasaan kolektifitas diantara komunitas adat terpencil. Dibidang ekonomi antara lain lumpuhnya ekonomi rakyat yang hampir menguasai sektor riil akibat diterpa krisis, yang belum berakhir serta tidak mempunyai kernampuan komunitas adat terpencil memiliki 'comparative advantage' dan penyesuaian struktural terhadap bangsa lainnya.
Demikian juga dibidang sosial terjadi berbagai kerawanan/ kerentanan sosial yang ditandai dengan kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan dan buta hukum. Rapuhnya ketahanan sosial dan integrasi sosial makin mempercepat ambruknya stabilitas nasional.
Atas dasar kondisi tersebut, maka sudah saatnya melakukan redevinisi dan rekonstruksi secara konsepsional tentang pendekatan pembangunan kesejahteraan dengan meletakkan peradaban baru, sebab konteks pembangunan yang sesungguhnya adalah 'membangun peradaban' sesuai dengan dinamika komunitas.
Konteks pembangunan yang menekankan peradaban ditandai dengan kembalinya pendekatan sosial budaya sebagai sebuah pendekatan pemberdayaan komunitas adat terpencil.
B. KEBIJAKSANAAN
Berbagai kebijaksanaan penanganan komunitas adat terpencil selama ini telah terbukti mengandung beberapa kelemahan. Oleh sebab itu, diperlukan rekontsruksi kebijaksanaan yang lebih responsif sesuai kebutuhan komunitas adat terpencil dengan berbasiskan pendekatan sosial budaya. Kebijaksanaan tersebut adalah:
1. Penyusunan, perumusan dan penetapan pedoman standarisasi serta pengukuran indikator keberhasilan program secara akuntabel sebagai kerangka untuk memperkuat daerah dalam penyelenggaraaan penanganan dan pemberdayaan komunitas adat terpencil atas dasar semangat otonomi daerah.
2. Pelayanan sosial yang berorientasi pada pengingkatan kernarnpuan pemberdayaan, kemandirian dan keberlanjutan komunitas adat terpencil lebih rnengutamakan pada pentingnya kebutuhan strategis dengan meletakkan pengakuan dan penghargaan terhadap berbagai keunikan dan karakteristik komunitas adat terpencil.
3. Perbaikan manajemen pelayanan bertumpu pada peningkatan professionalism dan perluasan jangkauan sebagai upaya untuk memperkuat dan mempermudah komunitas adat terpencil dalam memperoleh aksesibilitas pelayanan publik.
4. Penanganan kemiskinan diarahkan pada uapaya kemandirian komunitas adat
terpencil yang bertumpu pada pengembangan pelembagaan lokal.
5. Mendorong pengembangan sistim budaya dan kearifan local yang mendukung terjadinya perubahan serta peningkatan kesejahteraan sosial komunitas adat terpencil.
6. Mendorong, meningkatkan dan mengembangkan partisipasi masyarakat sebagai upaya untuk memperkuat pemberdayaan komunitas adat terpencil.
7. Menumbuhkan, mengembangkan dan memantapkan mekanisme koordinasi baik secara vertical, horizontal maupun diagonal dalam rangka mewujudkan pola pemberdayaan secara komprehensip, utuh dan terpadu.
8. Perlindungan dan jaminan sosial kepada komunitas adat terpencil bertumpu pada upaya untuk mensinergikan serta menyeimbangkan antara koservasi lingkungan dengan komunitas adat terpencil serta sistem budaya secara keseluruhan dengan kearifan lokalnya.
9. Inovasi dan apresiasi penanganan komunitas adat terpencil diarahkan pada upaya pemberian peluang dan kesempatan kepada daerah untuk secara kreatif dan dinarnis mengembangkan penanganan komunitas adat terpencil sesuai pluralisme daerah.
C. STRATEGI
Strategi merupakan proses dan cara untuk memilih dan menetapkan berbagai pilihan terbaik untuk mewujudkan tujuan yang ingin dicapai. Artikulasi strategi adalah rumusan kebijaksanaan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, bahwa untuk mengimplimentasi berbagai konsepsi kebijaksanaan penanganan dan pemberdayaan komunitas adat terpencil, diperlukan beberapa strategi sebagai berikut:
a. Penyusunan, perumusan dan penetapan pedoman standarisasi serta pengukuran indikator keberhasilan program secara akuntabel dilakukan melalui strategi:
1). Redefinisi dan rekonstruksi konsep, variable serta indikator keberhasilan program peberdayaan komunitas adat terpencil.
2). Penyebaran pedoman standarisasi dan'pengukuran kinerja.
b. Pelayanan sosial yang berorientasi pada peningkatan kemampuan, pemberdayaan, kemandirian dan keberlanjutan bagi komunitas adat terpencil yang dilakukan melalui strategi;
1). Merancang perencanaan partisipatif yang didasarkan pada keseimbangan ekosistem, kebutuhan, kemampuan, dan sumber daya yang tersedia.
2). Penyediaan pelayanan publik secara memadai.
c. Perbaikan manajemen pelayanan bertumpu pada peningkatan profesionalisme dan keluasan jangkauan, dilakukan melalui strategi:
1). Capacity building untuk memperkuat kemampuan dalam menajemen dalam pelayanan kearah profesionalisme.
2). Aksesibilitas pelayanan publik dalam rangka mempermudah komunitas adat terpencil memperoleh hak sosial budayanya secara memadai, sehingga paroses marginalisasi dapat dihindari semaksimal mungkin.
d. Penangan kemiskinan diarahkan pada upaya kemandirian komunitas adat terpencil yang bertumpu pada pengembangan pelernbagaan lokal, dilakukan melalui strategi:
1). Memantapkan kelembagaan lokal sebagai instrumen untuk menangani berbagai masaiah ditingkat lokal atas dasar kemampuan dan kekuatan komunitas adat terpencil tersendiri.
2). Memperkuat peran pendampingan dalam rangka mendampingi komunitas adat terpencil dalam proses pengambilan keputusan secara demokratis.
e. Mendorong pengembangan sistem budaya dan kearifan lokal yang mendukung terjadinya perubahan serta peningkatan kesejahteraan sosial komunitas adat terpencil dilakukan melalui strategi:
1) Memperkuat kemandirian
2). Memperkuat hak sosial budaya.
3). Memperkuat sosial capital (modal sosial)
f. Mendorong, meningkatkan dan mengembangkan partisipasi masyarakat sebagai upaya untuk mernperkuat penanganan dan pernberdayaan komunitas adat terpencil. Strategi yang dilkukan antara lain :
1). Meningkatan kampanye sosial sebagai gerakan sosial.
2).Penumbuhan jaringan dilakukan dalam rangka pencarian dan perolehan dukungan dalam penanganan dan pemberdayaan komunitas adat terpencil.
3).Pemasaran sosial (sosial marketing) dilakukan untuk memperkenalkan pentingnya komunitas adat terpencil ditangani secara serius dan lebih konsepsional.
g. Menumbuhkan, mengembangkan dan memantapkan mekanisme koordinasi baik secara vertical, horizontal maupun diagonal dilakukan melalui strategi:
1). Melaksanakan deseminasi/ sosialisasi kepada pihak yang terkait agar dicapai tingkat komitmen yang tinggi yang secara koheren penanganan dan perberdayaan komunitas adat terpencil dapat dilakukan secara utuh, komprehensif, intregratif dan konvergensi.
2). Pembentukan satuan koordinasi dilakukan dalam rangka pengintegrasian program penanganan dan pemberdayaan secara terpadu.
h. Perlindungan dan jaminan sosial kepada komunitas adat terpencil bertumpu pada upaya untuk menserasikan serta menyeimbangkan antara konservasi lingkungan dengan komunitas adat terpencil serta sistem budaya secara keseluruhan dengan kearifan lokalnya dilakukan melalui strategi:
1). Memperkuat hak sosial budaya lokal dalam rangka mencegah terjadinya eksploitasi dan ketidakadilan dalam menyeimbangkan koservasi lingkungan,
2). Advokasi yang memudahkan komunitas adat terpencil memperoleh perlindungan dan jaminan sosial.
i. Inovasi dan apresiasi penanganan komunitas komunitas adat terpencil diarahkan pada upaya pemberian peluang dan kesempatan kepada daerah untuk secara kreatif dan dinamis mengembangkan penanganan komunitas adat terpencil sesuai pluralisme daerah dilakukan rnelalui strategi:
1). Memperkuat peran otonomi dan desentralisasi dalam penanganan komunitas adat terpencil oleh masing-masing daerah, sehingga terjadi keunikan dan keanekaragaman pola penanganan dan pemberdayaan.
2). Memantapkan keterpaduan dan integrasi program antara Pemerintah Pusat dan daerah, sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam merancang upaya penanganan dan pemberdayaan komunitas adat terpencil.
D. UPAYA
Terdapat sejumlah uapaya yang dilakukan untuk melaksakan strategi sebagaimana dikemukakan. Upaya tersebut adalah :
a. Redefinisi dan rekonstruksi konsep, variable serta indikator keberhasilan program pemberdayaan komunitas adat terpencil dilakukan melalui kegiatan:
1). Melaksanakan pengkajian /kaji ulang terhadap konsep, variable, indicator keberhasilan yang telah ada.
2). Penyusunan dan pembuatan konsep oleh tim yang ditunjuk dan ditetapkan. Tim ini terdiri dari tenaga ahli-praktisi maupun professional.
3). Pembahasan dan penyempurnaan dilakukan melalui seminar.
4). Penguji cobaan di beberapa daerah yang menangani komunitas adat terpencil.
5). Finalisasi melulai lokakarya dan curah pendapat. Dihadiri oleh berbagai kalangan pemerhati, akademisi, praktisi, birokrat dan lembaga komunitas adat terpencil.
b. Penyebaran pedoman standarisasi dan pengukuran kinerja dilakukan melalui kegiatan;
1). Sosialisasi antar Instansi / Lembaga / Badan / LSM lintas sektoral.
2). Rapat kerja pada tingkat Nasional yang dihadiri oleh unsur Pemerintah Pusat dan Daerah.
3). Forum Konsultasi regional.
4). Penyebarluasan dilakukan melalui berbagai media.
c. Merancang perencanaan partisipatif yang didasarkan pada keseimbangan eko system, kebutuhan, kemampuan, dan sumber dilakukan melalui beberapa upaya antara lain :
1). Melaksanakan pemetaan sosial.
2). Melibatkan seluruh komunitas adat terpencil dalam identifikasi kebutuhan.
3). Mengembangkan sistim perencanaan sosial dengan pendekatan participatory rural appraisal dengan melibatkan seluruh masyarakat.
4). Memberikan kebebasan bagi komunitas adat terpencil untuk menentukan programnya sendiri sesuai dengan kekuatannya.
d. Penyediaan pelayanan publik dilakukan dengan beberapa upaya sebagai berikut :
1). Melalukan pemetaan terhadap pelayanan yang dibutuhkan oleh komunitas adat terpencil dan sekitaraya serta apa saja yang tersedia.
2). Membentuk satuan koordinasi oelavanan bagi komunitas adat terpencil.
3). Mengembangkan pos pelayanan publik secara terpadu.
e. Capacity building untuk profesionalisme dilakukan beberapa upaya antara lain:
1). Gerakan sadar hukurn bagi komunitas adat terpencil.
2). Program-program pelatihan dan pembelajaran sosial yang berorientasi pada kebutuhan strategis tingkat lokal dengan melibatkan berbagai lernbaga dikiat dan pernbeiajaran masyarakat.
3). Program pelayanan pendidikan terbuka bagi komunitas adat terpencil baik pada tingkat SD,SLTP maupun SLTA.
4). Memberikan peluang dan kesempatan kepada komunitas adat terpencil untuk mengembangkan nilai budaya dan kearifan lokalnya secara bebas.
5). Memberikan penghargaan terhadap prestasi yang dicapai oleh komunitas adat terpencil baik pada tingkat nasional maupun internasional.
6). Menyediakan program perlindungan dan jaminan sosial bagi KAT dalam rangka meningkatkan kemampuan dalam membudayakan kearifan lokalnya.
f. Aksesibilitas Pelayanan publik dalam rangka mempermudah komunitas adat terpencil memperoleh hak sosial budayanya secara memadai, sehingga proses marjinalisasi dapat dihindari semaksimal mungkin. Strategi ini dilakukan melaiui berbagai upaya antara lain:
1). Memperjuangkan revisi terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang memberikan kemudahan bagi komunitas adat terpencil untuk memperoleh aksesibilitas pelayanan.
2). Melaksanakan promosi sosial tentang hasil-hasil karya komunitas adat terpencil ke tingkat nasional, regional maupun intemasional.
3), Menyediakan berbagai program baik pelayanan, pemberdayaan maupun pengembangan bagi komunitas adat terpencil secara terpadu.
g. Memantapkan kelembagaan lokal sebagai instrumen untuk menangani berbagai masalah di tingkat lokal atas dasar kemampuan dan kekuatan komunitas adat terpeticil sendiri, dilakukan dengan beberapa upaya antara lain;
1). Memberdayakan kelembagaan lokal pada setiap program.
2). Menyelenggarakan program pelatihan dan pendarnpingan bagi kelembagaan lokal.
3). Menyelenggarakan bimbingan dan pengorganisasian masyarakat.
4). Melaksanakan konsultasi dan bimbingan tehnis.
5). Mengembangkan inisiasi kelembagaan lokal kepada komunitas adat terpencil.
h. Memperkuat peran pendampingan dalam rangka mendampingi komunitas adat terpencil dalam proses pengembalian keputusan secara demokratis dilakukan melaiui upaya:
1). Menyelenggarakan pelatihan pendampingan dan program pendampingan.
2). Melaksanakan bimbingan dan konsultasi pendampingan.
3). Mencetak kader-kader dampingan yang berasal dari tokoh local.
4). Mendirikan pos operasi sosial sebagai pusat program dampingan.
i. Memperkuat kemandirian komunitas adat terpencil, melalui upaya antara lain :
1). Mendorong Pemerintah untuk memberikan pengakuan terhadap hak social budaya bagi komunitas adat terpencil.
2). Mengupayakan program-program yang dikembangkan didasarkan pada kebutuhan strategis yang ditentukan oleh komunitas adat terpencil itu sendiri secara demokratis.
3). Memberikan peluang kepada komunitas adat terpencil untuk mengapresiasikan basil kerja tradisional yang perlu dikemhangkan,
j. Memperkuat hak sosial budaya dilakukan dengan upaya :
1). Memberikan perlindungan terhadap pengembangan hak sosial budaya komunitas adat terpencil.
2). Melakukan advokasi sosial terhadap kepentingan komunitas adat terpencil pada tingkat nasional maupun internasional.
3). Mendorong promosi sosial terhadap basis sosial budaya yang dimiliki oleh komunitas adat terpencil.
4). Memperjuangkan perubahan kebijakan nasional yang merugikan pengembalian hak sosial budaya dan hasil karya tradisional komunitas adat terpencil.
5). Memperjuangkan apresiasi dari Pemerintah tentang aliran kepercayaan yang secara hakiki dianut oleh hampir semua komunitas adat terpencil.
6). Tidak memaksakan komunitas adat terpencil untuk memeluk suatu agama tertentu, tetapi memberikan kebebasan dan perlindungan terhadap komunitas adat terpencil untuk menjalankan ibadahnya sesuai dengan keyakinan yang dianutnya.
7). Memperkuat integrasi sosial serta mengembangkan lintas budaya antar suku.
k. Memperkuat Sosial Capital (modal social), meialui upaya :
1). Membangun komitmen dan saling percaya antara pendatang dengan komunitas adat terpencil melaiui penyuluhan sosial, forum dialog dan berbagai media lainnya.
2). Memperkuat saling percaya meialui berbagai forum komunikasi, kelembagaan lokal serta berbagai forum integrasi.
3). Memperkuat jaringan kelembagaan lokal yang mampu membangun komitmen dan saling percaya.
1. Meningkatkan Kampanye sosial sebagai gerakan sosial, dilakukan melalui upaya-upaya:
1). Menyusun bahan-bahan kampanye tentang KAT beserta kearifan lokalnya.
2). Menyebarluaskan bahan-bahan yang dihimpun keseluruh pihak.
3). Membentuk kader-kader penggerak kampanye sosial.
4). Melaksanakan berbagai program aksi.
5). Mengembangkan jaringan lintas pelaku.
m. Penyelenggaraan pemasaran sosial hasil produksi komunitas adat terpencil dilakukan melalui beberapa upaya antara lain :
1). Promosi dilakukan melaiui berbagai pameran baik nasional, regional maupun internasional.
2). Melibatkan komunitas adat terpencil untuk memperagakan berbagai hasil karyanya.
3). Pembuatan brosur, booklet, liflet yang berkaitan dengan sosial budaya komunitas adat terpencil.
4). Melibatkan daerah komunitas adat terpencil sebagai obyek wisata domestik maupun intemasional.
n. Penumbuhan jaringan dilakukan dalam rangka pencarian dan perolehan dukungan dalam penanganan dan pemberdayaan komunitas adat terpencil. Upaya yang dilakukan adalah:
1). Melakukan pemetaan sosial terhadap pihak mana saja yang diperkirakan akan menjadi jaringan.
2) Melibatkan sebanyak rmjngkin dan dari kompnen manapun sebagai anggota jaringan.
3). Mendirikan pos operasi jaringan baik di tingkat lokal, propinsi maupun nasional dibawah koordinasi Menteri Sosial Rl.
4). Menyelenggarakari forum dialog, konsultasi dan komunikasi antar anggota jaringan.
o. Melaksanakan diserninasi/sosialisasi kepada pihak yang terkait agar dicapai tingkat komitmen yang tinggi sehingga secara koheren penanganan dan pemberdayaan komunitas adat terpencil dapat dilakukan secara utuh, komprehensif, integrative dan konvergensi.
Upaya yang dilaukan antara lain :
1. Menyelenggarakan forum-forum pertemuan konsuitasi dan diskusi.
2. Mengembangkan forum-forum kerjasama lintas pihak.
3. Sosialisasi dilakukan secara berjenjang mulai Kab/Kota, Propinsi hingga pada tingkat Nasional.
4. Melibatkan seluruh komponen masyarakat pada setiap sosialisasi. pembentukan satuan koordinasi dilakukan melalui upaya:
1). Penunjukan berbagai lembaga/Badan/LSM/lnstansi terkait yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden Rl.
2). Satuan koordinasi dibentuk mulai dari lokal.Proipinsi maupun nasional dalam rangka pengaturan mekanisme penanganan dan pemberdyaan komunitas adat terpencil.
3). Forum-forrum koordinasi dilakukan untuk memantapkan keterpaduan program.
4). Untuk memantapkan mekanisme koordinasi, maka dibentuk pusat/sekretariat koordinasi secara berjenjang dibawah koordinasi Menteri Sosial (Pusat), Gubernur (Propinsi), Bupati/Walikota(Kabupaten/Kota).
p. Advokasi terhadap suku asing dilakukan melalui:
1). Menetapkan peraturan perundang-undangan yang mengatur hak soisial budaya dan aksesmbilitas bagi komunitas adat terpencil.
2). Memantapkan Lernbaga adat yang berfungsi untuk rnernberikan perlindungan dan jaminan bagi warganya.
3). Memberikan perlindungan hukum, ekonomi dan kesejahteraan sosial atas pemanfaatan tanah oleh komunitas adat terpencil.
q. Memperkuat peran otonomi dan desentralisasi dalam penanganan komunitas adat terpencil oleh masing-masing daerah, dilakukan melalui:
1). Pembagian wewenang antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam penanganan komunitas adat terpencil di wilayahnya.
2). Memberikan peluang kepada daerah untuk mengapresiasikan model penanganan komunitas adat terpencil sesuai kebutuhan dan kemampuan daerah.
3). Anggaran dekonsentrasi yang disediakan difungsikan sebagai dana dampingan dan pembiayaan utama penanganan diserahlkan sepenuhnya kepada kebijakan daerah.
4). Mengembangakan forum kerjasama dan konsultasi antara Pusat dengan Daerah dalam rangka memadukan program-program bernafaskan otonomi.
r. Memanfaatkan keterpaduan dan intergrasi program antara Pemerintah Pusat dan daerah, sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam merancang upaya penanganan dan pemberdayaan komunitas adat terpencil.
Strategi ini dilakukan melalui upaya :
1). Memadukan program Pemerintah Pusat dan daerah dalam penanganan komunitas adat terpencil.
2). Menyelenggarakan forum konsultasi.
3). Melaksanakan forum konsultasi.
4). Memberikan subsidi kepada daerah yang berdasarkan kriteria tertentu perlu didukung oleh Pemerintah Pusat.
Upaya yang telah dikemukakan terfokus pada rangkaian kegiatan yang menunjukkan betapa sosial budaya diaktualisasikan sebagai pendekatan pembangunan nasional sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan. Basis sosial budaya yang dimaksudkan adalah sangat luas karena menyangkut berbagai pola hidup, teknologi, bahasa, traidisi/adat istiadat, hukum dan lain-lain.
Dengan mengembakan pendekatan pembangaunan pada alur yang sesungguhnya maka dinyakini bahwa penanganan dan pemberdayaan komunitas adat terpencil tidak akan memusnahkan keunikan atau kearifannya. Justru sebaliknya akan makin memperkuat harkat dan martabat mereka ditengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang plural. Bilamana masing-masing komunitas adat terpencil berada dalam posisi yang diharapkan, maka 'kemajemukan yang terintegrasi dan integrasi yang menghargai kemajemukan benar benar menjadi karakter Indonesia. Dengan kata lain semboyan “Bhineka Tunggal Ika”, mengandung makna kekuatan yang mampu memperkokoh stabilitas nasional.
BAB. VII. PENUTUP
1. KESIMPULAN
a. Stabitas nasional diperlukan untuk tegaknya kedaulatan negara dari berbagai ancaman baik dari dalam maupun dari luar Tanpa stabilitas nasional secara memadai maka penetrasi dan intervensi asing maupun gerakan separatis dari daiam negeri akan dengan mudah menggoyahkan negara. Oleh sebab itu stabilitas sosial, politik.ekonami tetap terjaga. Indikator ketahanan sosial adalah jika terjadi stabilitas dibidang sosial budaya, ekonomi dan politik, Tanpa ketiga indikator itu, maka ketahanan sosial akan menjadi rapuh.
b. Komunitas adat terpencil sebagai bagian dari negara, rnemiliki kekuatan yang tidak kalah pentingnya untuk memperkuat ketahanan sosial dan stabilitas nasional yang terdiri dan berbagai ragam komuintas adat terpencil uengan meinbeiikaii koiitnbusi bagi kekuatan stabilitas nasional. Kemajemukan yang dimiliki KAT mencerminkan Indonesia sebagai masyarakat “Bhineka Tunggal Ika” Sementara itu, kemajemukan dapat menciptakan integrasi sosial jika didalamnya timbul saling menghargai dan menghormati berbagai berbedaannya, atau menjadi rawan konfilik jika perbedaan ini dianggap sebagai posisi yang diperhadapkan. Dengan kata lain konflik sosial akan pecah, jika masing-masing pihak tidak memehami pentingnya penghargaan terhadap perbedaan sebagai ciri dari masyarakat plural.
c. Pemberdayaan komunitas adat terpencil belum sepenuhnya menempatkan aktualisasi pendekatan sosial budaya sebagai strategi kebijaksanaan sebagaimana tergambar pada Bab III tentang reinventing dalam pendekatan sosial budaya terhadap penanganan dan pemberdayaan KAT saat ini. Basis pendekatan sosial budaya menekankan pada keunikan dan keaneka ragaman komunitas adat terpencil sebagai fokus kebijakan. Kebijaksanaan yang sentralistik ternyata sulit memfokuskan perhatian pada keunikan masing-masing komunitas adat terpencil. Implikasinya adalah kebijaksanaan yang seragam menyebabkan, hasil-hasil yang telah dicapai mengalami kegagalan cukup tinggi. Munculnya konflik sosial atas dasar kesukuan, merebaknya gerakan perlawanan yang dilakukan oleh kelompok separatis di Aceh, Maluku dan Irian Jaya menunjukkan bahwa pembangunan nasional yang pernah dibangun telah gagal rnenciptakan komitmen sosial saling percaya antar suku dan antara komunitas adat terpencil dengan Pemerintah. Kegagalan ini berimplikasi sangat luas secara substansial berrnuara pada stabititas nasional akan terganggu dan integrasi nasional makin terancam.
d. Untuk menghadapi situasi sosial semacam itu, maka sudah saatnya basis pendekatan sosial budaya menjadi bagian tidak terpisahkan dalam penanganan komunitas adat terpencii, yaitu mengembaiikan hak sosial budaya mereka, membiarkan mereka menentukan dan menyelesaikan masalahnya sendiri serta memberikan otonomi komunitas adat terpencil untuk membangun ikatan sosial yang kuat. Hal ini tergambar pada Bab V tentang reinventing pendekatan sosial budaya dalam penanganan dan pemberdayaan komunitas adat terpencil yang diharapkan.
2. SARAN
Patut kita disadari, bahwa Indonesia kini berada dalam keadaan yang cukup lemah. Stabilitas nasional mulai terancam dengan munculnya berbagai gerakan perlawanan ditambah dengan ancaman pihak asing dalam pada itu perlu diperhatikan terdapat tanda-tanda komunisme mulai bangkit di Indonesia. Stabilitas sosial ekonomi dan politik masih terganggu oleh manuver dari berbagai gerakan fundamentalis dan militan yang mengatas namakan HAM dan Rakyat. Oleh sebab itu kita perlu merapatkan barisan untuk melakukan antisipasi secepat dan sedini mungkin agar tidak terkooptasi terhadap pengaruh berbagai ideologi. Berkaitan dengan hal-hal itu perlu disarankan dalam kondisi ini sbb:
a. Membudayakan kembali Pancasila sebagai simbol-simbol ideologi negara. Pembudayaan dilakukan melalui penggunaan instrumen lokal antara lain forum dialog antar tokoh di lingkungan komunitas adat terpencil, penggunaan tradisi setempat serta memformat beberapa strategi yang dapat diterima secara luas oleh komunitas adat terpencil.
b. Memperkuat integrasi social melalui mekanisme hubungan lintas budaya lokal dengan tetap saling menghargai dan menghormati, sehingga terjalin ikatan sosial yang kuat antara ' in group ' dengan ' out group '. Jika lintas budaya dapat berjalan secara serasi, maka konflik sosial pada tingkat lokal dapat dihindari.
c. Kebijakan yang dikeluarkan mengharuskan memberikan peluang bagi KAT untuk memperoleh aksesibilitas terhadap hak sosial budaya antara lain tanah adat, sumber-sumber daya tradisional, pembagian hasil hutan, kepemilikan lahan untuk rakyat dan lain-lain.
d. Perlu dipikirkan kembali tentang apresiasi Pemerintah terhadap aliran kepercayaan yang berkembang dihampir semua komunitas adat terpencil melalui pembinaan dalam satu atap yaitu dikembalikan kepada Departemen Agama. Kesetaraan dan kesederajatan atas dasar egaliter kebebasan beragama dan menganut kepercayaan merupakan prinsip dasar yang bersifat hakiki antara individu dengan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu merupakan keniscayaan jika pengakuan aliran kepercayaan dilakukan oleh Pemerintah. Jika pengakuan ini diberikan, maka KAT akan mampu mengatualisasikan budayanya berdasarkan kearifan lokal.
Jakarta , Maret 2009.


DAFTAR PUSTAKA
1. Alvin dan Heidi Taffler, Menciptakan Peradaban Baru (Terj), Ikon, Jakarta, 2002..
2. AMAN, Menggugat Posisi Masvarakat Adat Terhadap Negara. LSPP, 1999
3. Bachtiar Chamsyah,Reinventing Pembangunan Sosial Untuk Kesejahteraan Masyarakat Indonesia. Jakarta Trisakti University Press,2008
4. Dit. Kesejahteraan KAT, Panduan Teknis Pemberdavaan Komunitas Adat
Terpencil Departemen Sosial R1 2000.
5. Dit. Kesejahteraan KAT, Profil Komunitas Adat Terpencil, Departemen Sosial R1.2001.
6. Dit. Bina Masyarakat Terasing, Data dan Informasi Pembinaan Masvarakat Terasing Departemen Sosial Rl, 1998.
7. _________, Pedoman Umum Pelaksanaan Pemetaan Sosial KAT, Departemen Sosial Rl, 2002.
8. _________, PIKAT Departemen Sosial Rl, 2002.
9. Direktorat Bina Masyarakat Terasing, Pengkajian Sosial Budava Masyarakat Terasing. Departemen Sosial Rl, 1999.
10. Ginandjar Kartasasmita, Pembanguanan Untuk Rakvat. CIDES, Jakarta, 1996.
11. John Naisbitt, Megatrends Asia (Terj), PT. Gramedia Pustaka Utama,Jakarta, 1997.
*) Drs.Dasuki,MSi saat ini sebagai widyaiswara Pusdiklat Kesos