MENYIBAK KEMISKINAN PENDUDUK
MENYINGKAP KASUS PERDAGANGAN PEREMPUAN
(Trafficking in women)
Oleh. Dasuki *

ABSTRAK
Krisis ekonomi yang berkepanjangan mempengaruhi berbagai segi kehidupan masyarakat baik di perkotaan maupun di perdesaan. Khususnya di pedesaan sangat dirasakan pengaruhnya, apalagi di desa sulit mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, hal ini mendorong orang migrasi ke kota untuk bekerja. Adanya migrasi ke kota membawa permasalahan baru bagi kepadatan penduduk dan berdampak dalam berbagai kasus dalam keluarga. Banyak kasus permasalahan keluarga, penulis mecoba mengungkap penyebab permasalahan perdagangan wanita dari segi sosial dan ekonomi. Dari sisi ekonomi keluarga pada umumnya tidak dapat menunjang kebutuhan sehari hari, ditambah dengan kondisi lingkungan sosial tidak mendukung, akibatnya menjadikan mereka menjajakan diri untuk membantu mencari penghasilan tambahan sebagai pekerja sek jalanan dan sejenisnya. Menjadi pekerja sek bagi perempuan prinsipnya hanya ingin membantu keluarganya memenuhi kebutuhan sehari-harinya, tetapi ada juga perempuan karena terpengaruh oleh faktor teman dilingkungan yang telah terperdaya oleh praktek eksploitasi baik secara ekonomi maupun seksual.
Akibat krisis perekonomian yang panjang dan sulit turut berpengaruh dalam menyingkap kasus keluarga, bahwa ada faktor-faktor eksternal yang memposisikan kaum perempuan mudah terjamah oleh praktek protistusi, akibat dari kemiskinan, rendahnya pendidikan, kurangnya informasi, pengangguran, terbatasnya lapangan kerja, dipihak lain adanya budaya dominasi laki-laki terhadap perempuan, dan sistem perlidungan serta penegakan hukum yang masih lemah. Bahkan disamping itu juga karena faktor-faktor internal antara lain sikap mental yang tidak stabil, rendahnya ketahanan kontrol diri dari godaan dsbnya, yang menempatkan kaum perempuan rentan terhadap praktek prostitusi dan perdagangan perempuan (Trafficking in women).
Dari sudut pandang manapun perdagangan perempuan dinilai sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai, norma, budaya, harkat dan martabat manusia serta perwujudan kesetaraan gender dalam kehidupan masyarakat. Banyak faktor yang menyebabkan praktek perdagangan perempuan semakin krusial dan kritis

A. Latar belakang menyibak kemiskinan penduduk
Dilihat dari permasalahan penduduk secara umum bahwa jumlah penduduk Indonesia berdasarkan data BPS tahun 2003 sebanyak 217 juta jiwa, dimana berdasarkan persentase yang ada jumlah perempuan sebanyak 50,6% dan laki-laki sebanyak 49,4%. Dari jumlah tersebut kalau kita lihat persebarannya sebanyak sekitar 80% tinggal di wilayah pedesaan sisanya berada di wilayah perkotaan.
Dan jumlah pengangguran usia produktif antara 15-35 tahun sebanyak 10,6 juta dan jumlah setengah pengangguran sebanyak 31,8 juta jiwa. Hal ini ditambah dengan kondisi tingkat pendidikan penduduk yang menunjukan bahwa jumlah penduduk buta huruf usia 10 tahun keatas memiliki kecenderungan meningkat dari tahun ketahunnya.
Sebagai gambaran penduduk Indonesia usia 10 keatas baik laki-laki maupun perempuan pada tahun 1990 sebanyak 60, 92 ribu jiwa, sepuluh tahun kemudian yakni tahun 2000 mencapai 89,92 ribu jiwa. Sedangkan pada tahun 2004 meningkat menjadi 91,46 ribu jiwa, dari jumlah tersebut sebanyak 87,72 ribu adalah perempuan. Yang berada diwilayah pedesaan..
Krisis sulitnya perekonomian kita telah membawa pengaruh terhadap kondisi kehidupan keluarga sebagian besar masyarakat, baik mereka yang berada di kota mau¬pun desa. Khusus pada masyarakat desa, sangat dirasakan kesulitan dalam pemasaran hasil pertanian maupun hasil perkebunannya. Apalagi sebagai buruh tani maupun buruh kebun dengan kondisi sulitnya perekonomian, kebanyakan keluarga kewalahan pula untuk mengatasi kesulitan kehidupan dengan mahalnya harga-harga kebutuhan pokok( beras dll) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yang pada akhirnya mereka terpedaya oleh praktek eksploitasi baik secara ekonomi maupun seksual /prostitusi.

B. Menyingkap kasus Perdagangan Perempuan (Trafficking in women)
Berdasarkan gambaran situasi kependudukan seperti itu, maka praktek perdagangan perempuan diperkirakan akan dapat tumbuh subur jika kurang mendapat penanganan yang lebih memadai dari berbagai pihak.
Sejarah perdagangan manusia (trafiking) senantiasa mendapatkan respon serius dari berbagai bangsa dari masa ke masa, sebab perdagangan manusia merupakan pelanggaran terhadap pelaksanaan hak asasi manusia.
Tuntutan yang begitu kuat untuk melawan dan menghapuskan perdagangan manusia mencerminkan betapa permasalahan tersebut dipandang sebagai tindakan yang merugikan dan bertentangan dengan nilai kemanusiaan yang dapat dikatagorikan sebagai kejahatan kemanusiaan yang perlu diberantas keberadaannya.
Seiring dengan berjalannya waktu, berbagai upaya untuk menghapuskan perdagangan manusia telah dilakukan, namun praktek perdagangan manusia senantiasa muncul kepermukaan dengan modus yang berbeda dengan kompleksitas permasalahan yang cenderung semakin memprihatinkan.
Perdagangan perempuan dengan tujuan untuk eksploitasi tenaga kerja, seksual, maupun tindak kriminal berupa perdagangan organ tubuh manusia yang sangat tidak menguntungkan korban. Bahkan perdagangan perempuan sudah menjadi isu global yang juga mengundang keprihatinan masyarakat dunia (komitmen global), seperti dikeluarkannya resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1994, Koalisi Perempuan Internasional maupun Konferensi Perempuan Sedunia ke IV tahun 1995 yang mengutuk praktek perdagangan perempuan, sekaligus mencari solusi atas permasalahan tersebut.
Selain isu internasional perdagangan perempuan juga sebagai isu nasional atau domestik, komitmen nasional dalam usaha pemberantasan perdaganganperempuan tercermin pada Keputusan Presiden Nomor 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Perdagangan perempuan (traffickingin in women).
Ketua Pusat Study Wanita (PSW) UGM Dra.Nahiyah Jaiti Faraz M.Pd dalam makalahnya yang berjudul Trafficking dan Pencegahannya menjeleskan, terjadinya trafficking (penjualan perempuan) serta penjualan anak itu dipengaruhi oleh kemiskinan dan pengangguran, karena 40 juta penduduk Indonesia dari 200 juta lebih adalah miskin. Faktor lain yang mempengaruhi kasus trafficking terhadapperempuan adalah pendidikan, karena 15 % dari wanita dewasa buta huruf, 30 % akibat perkawinan dibawah usia 16 tahun serta kekerasan terhadap anak perempuan. Hal ini dikuatkan dengan kenyataan bahwa hampir separuh korban perdagangan adalah mereka yang pernah mengalami kekerasan seksual sebelumnya.
Menurut Nahiyah Jaiti Faraz data dari Kepolisian RI menyebutkan bahwa sejak tahun 2001 jumlah kasus trafficking mengalami penurunan hingga tahun 2005, tahun 2001 ada 178 kasus, 2002 ada 155 kasus, 2003 ada 134 kasus, tahun 2004 ada 43 kasus, dan tahun 2005 terdapat 30 kasus. Sementara data yang di himpun international Catholic Migration Commission (ICMC) 2005 menyebutkan kasus trafficking yang berhasil dilaporkan berjumlah 130 kasus, dengan jumlah pelaku 198 dan jumlah korbannya ada 715 orang. Angka ini lanjut Aktivis PSW tersebut mengalami peningkatan pesat jika dibandingkan tahun 2003 yang hanya ada 84 kasus. Sedangkan laporan dari Unicef tahun 1998 diperkirakan jumlah anak yang tereksploitasi seksual atau dilacurkan/dijadikan pelacur menjadi 40.000 sampai dengan 70.000 anak diseluruh Indonesia, dan dari jumlah tersebut sebesar 30 % dari mereka adalah anak perempuan usia kurang dari 18 tahun. Data lain menyebutkan 60 % jumlah perkosaan terjadi pada anak dan setiap tahunnya tidak kurang dari 1500 hingga 2000 kasus perkosaan di Indonesia yang terjadi di hampir semua propinsi di Indonesia korbannya adalah anak perempuan.
Sedangkan data dari International Organization for Migration Indonesia lain lagi. Menurut lembaga ini untuk periode Maret 2005 sampai dengan Juli 2006 terdapat 1.231 WNI korban perdaganagan yang telah diselamatkan dan diantara mereka 55 % korban eksploitasi pekerja rumah tangga, 21 korban pelacuran paksa dan 18,4 % melalui pekerja formal. Upaya untuk memerangi trafficking tersebut lanjut Nahiyah J Faraz ,harus sesuai dengan amanat dari The Trafficking Victims Protection Act of 2000 yang menyebutkan ada 4 hal standar minimum yang harus dipenuhi yaitu :
1.Pemerintah harus melarang perdagangan manusia dan menghukumnya;
2.Pemerintah harus menetapkan hukuman yang setaraf tindak pidana berat yang menyangkut kematian;
3.Pemerintah harus menjatuhkan hukuman yang cukup keras sebagai reflkesi sifat keji dari kejahatan tersebut;
4.Pemerintah harus melakukan upaya yang serius dan berkelanjutan untuk memberantas trafficking.
Menyinggung semakin maraknya anak jalanan yang disebabkan oleh berbagai faktor dari rumah tangga, Sari Murti.SH.M.Hum menambahkan, bahwa untuk penyelesaian permasalahan tersebut harus ada kesepakatan gerakan bersama, karena kalau hanya di garuk atau ditertibkan dan kemudian di bawa ke Dinas Sosial, disediakan rumah singgah dan sebagainya tidak akan menyelesaikan permasalahan tersebut. Harus ada gerakan masyarakat untuk tidak memberikan uang secara menyeluruh, mendidik dan memberikan pengertian bagi anak jalanan untuk kembali kerumah serta diberikan bekal pengetahuan yang benar.
Oleh karena itu, perlindungan terhadap perempuan korban perdangangan (trafficking) perlu diupayakan sedemikian rupa, agar permasalahan ini tidak meluas dan berdampak semakin parah terhadap korban dan kehidupan masyarakat luas.

C. Upaya perlindungan perempuan terhadap korban trafficking
Ada tiga alasan kuat mengapa perlindungan terhadap perempuan korban trafiking penting dalam konteks pelayanan dan rehabilitasi sosial:
Pertama, karena kondisi perempuan korban trafficking rentan menjadi dan dijadikan sebagai Wanita Tuna Susila (WTS).
Kedua, untuk menumbuhkan kepercayaan diri korban, melalui bimbingan fisik, mental/ psikologis dan sosial memulihkan trauma serta mengembalikan pada kehidupan yang berlaku di masyarakat.
Ketiga, meningkatkan keterampilan kerja sehingga mempunyai kemampuan untuk meningkatkan taraf kehidupannya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi perempuan korban trafiking, perlu diupayakan secara lebih sistematis, komprehensif dan berkesinambungan dengan melibatkan berbagai instansi/ pihak yang terkait.
Pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi perempuan korban perdagangan menggambarkan pada upaya dan proses pertolongan dari;
1) Pertolongan awal (emergency) melalui trauma centre dari berbagai unsur terkait secara integratif,
2) Rujukan yang disesuaikan dengan kebutuhan penanganan permasalahan korban yang dapat diarahkan pada keluarga atau masyarakat, lapangan kerja, rumah sakit dan panti sosial. Khusus rujukan yang diarahkan pada panti sosial.
3) Agar penanganan perempuan korban trafiking berhasilguna dan berdayaguna, perlu Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial bagi Perempuan Korban Trafiking oleh pihak seperti : dinas/ instansi sosial, instansi terkait, Orsos/ LSM yang peduli terhadap perempuan korban trafiking.
Pengertian pelayanan sosial adalah segala bentuk kegiatan pertolongan sosial yang diberikan pemerintah ataupun masyarakat untuk membantu para korban (klien) agar dapat mengoptimalkan keberfungsian sosialnya. Rehabilitasi sosial adalah serangkaian kegiatan pemberian pelayanan sosial secara terencana dan profesional untuk memecahkan masalah klien dari lingkungan sosialnya, memulihkan rasa percaya diri klien dan meningkatkan status dan peranan sosial klien serta lingkungannya.
Perdagangan perempuan ( trafficking in women) adalah segala tindakan yang meliputi : perekrutan, pengangkutan, pemindahtanganan, pemberangkatan atau penerimaanperempuan, dengan cara ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bantuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, tipu muslihat, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi kerentanan (termasuk situasi memilih atau pilihan bebas), atau dengan memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan-keuntungan guna mencapai keinginan untuk menguasai orang lain, untuk keperluan eksploitasi seksual meliputi eksploitasi pelacuran, pornografi dan bentuk-bentuk lain eksploitasi seksual, eksploitasi ekonomi seperti penggunaanperempuan dalam kerja paksa, eksploitasi fisik meliputi perbudakan, penghambaan atau pemindahan organ-organ tubuh manusia (Protokol PBB tahun 2000).
Perempuan korban perdagangan (trafficking) adalah seorang atau sekelompok perempuan yang telah terperdaya oleh praktek eksploitasi baik secara ekonomi maupun seksual. Walaupun Keputusan Presiden RI Nomor 88 Tahun 2002, Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking) perempuan. Dan Keputusan Menteri Pemberdayaan Perempuan RI No. 17/Meneg-PP/VII/2005, Tentang Pembentukan Sub Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan perempuan dan Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, kenyataannya masih sering terjadi perdagangan perempuan.

D. 10 Faktor penyebab pendorong terjadinya perdagangan perempuan
Bahwa kenyataan sampai saat ini dimasyarakat masih sering terjadi perdagangan perempuan, oleh karena ada nilai tawar yang terjadi berupa 10 faktor penyebab hal-hal yang mendorong terjadinya perdagangan (trafficking) perempuan, antara lain:
1. Semakin meluasnya kemiskinan, karena tidak meratanya penguasaan sumber daya produktif dalam masyarakat.
2. Besarnya pengangguran, karena sedikitnya lapangan kerja.
3. Lemahnya penegakan hukum bagi pelaku perdagangan perempuan.
4. Kurangnya pemahaman individu, keluarga, masyarakat dan pemerintah tentang tanggungjawabnya dalam pemenuhan hak asasiperempuan.
5. Rendahnya kesadaran akan persoalan perdaganganperempuan.
6. Adanya cara pandang bahwa perempuan adalah objek komoditas, khususnya pada perempuan, ditandai dengan maraknya pornografi.
7. Pengaruh Idiologi patriarchat dengan sistem nilai yang “phallosentris” (sistem nilai yang mengacu terhadap kepentingan seksual laki-laki).
8. Adanya ketidak setaraan gender di masyarakat dan kebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadapperempuan
9. Pengaruh perkembangan teknologi informasi dalam konteks globalisasi.
10. Adanya ekses negatif dari pengembangan pariwisata yaitu sex tourism.
Secara garis besar tujuan dari perdagangan perempuan adalah eksploitasi ekonomi dan atau eksploitasi seksual dalam bentuk prostitusi dengan paksaan dan atau kekerasan, pembantu rumah tangga dengan perlakuan tidak menguntungkan, perkawinan semu (kontrak), buruh ilegal, adopsi ilegal, pariwisata dan hiburan seks, pornografi, pengemis dan digunakan dalam aktivitas kriminal lainnya.
Perlakuan dan pengalaman tidak menyenangkan yang telah dialami oleh korban menyebabkan mereka berada pada kondisi fisik dan sosial psikologis yang tidak menguntungkan (tertekan dan trauma). Kondisi tersebut menyebabkan mereka rentan menjadi pelacur (Wanita Tuna Susila). Jika hal ini tidak mendapatkan perhatian dan penanganan yang lebih serius dikhawatirkan akan menyebabkan permasalahan sosial lebih kompleks, sehingga berdampak lebih luas pada aspek kehidupan yang lain.
Oleh karena itu, perlu mendapat penanganan yang lebih sistematis dan komprehensif dari berbagai pihak baik pemerintah, Orsos/ LSM agar mereka mendapatkan perlindungan dan jaminan secara lebih memadai. Dalam kerangka itu maka pelayanan dan rehabilitasi sosial dapat diorientasikan dan dikembangkan ke arah membangun kembali fisik, mental dan kejiwaan, sosial maupun ekonomi korban ke arah yang lebih baik, kondusif dan bermartabat. Dengan adanya penanganan seperti ini diharapkan para korban dapat menjalani kembali kehidupannya secara normal dalam masyarakat dan dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Mencermati fenomena perdagangan perempuan, terlihat bahwa permasalahan ini memiliki kompleksitas yang terkait dengan faktor-faktor penyebab antara lain ; etika, moralitas dan spiritualitas, kesulitan ekonomi, ketenagakerjaan, pendidikan, migrasi, kondisi keluarga, sosial budaya dan media massa.

Dari permasalahan yang sangat kompleks diatas secara garis besar bilamana kita telusuri lebih lanjut dari sudut aspek diri perempuan, maka terdapat dua faktor yang mempengaruhinya sbb, yakni (a) faktor internal dan (b) faktor eksternal. Dan sangat disadari bahwa kedua faktor ini tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi keduanya biasanya saling bersinergi berpengaruh sehingga muncul dan tumbuh subur dalam praktek perdagangan perempuan itu sendiri.


1. Faktor Internal perempuan
a) Sikap tidak berdaya dan pasrah terhadap keadaan dan termasuk jebakan orang lain yang menjadikan dirinya korban trafficking.
b) Rendahnya pertahanan dan kontrol diri dari godaan, ajakan ataupun rayuan pihak lain.
c) Orientasi materi (materialistik) yang terlalu tinggi yang tidak dimbangi oleh kemampuan dan potensi nya yang mendukung.
d) Sikap mental (perempuan) yang tidak stabil (pendirian labil) sehingga mudah terpengaruh atau goyah menerima ajakan atau rayuan pihak lain.
e) Relatif rendahnya wawasan dan pendidikan sehingga berdampak pada kemampuan bersikap dan bertingkah laku yang sangat mudah mempercayai orang lain sehingga terjebak menjadi korban trafficking.
f) Rendahnya kemampuan untuk mengakses berbagai informasi dan sumber lainnya yang dapat dimanfaatkan.
g) Tampilan fisik, sikap dan perilaku yang lemah lembut sebagai salah satu ciri khasnya dapat dijadikan senjata untuk memperdaya.
h) Masih relatif rendahnya kesadaran korban untuk melaporkan kejadiannya pada pihak yang berwajib.
2. Faktor Eksternal perempuan
a) Belum adanya undang-undang tentang pemberantasan perdagangan perempuan.
b) Masih lemahnya penerapan peraturan ditingkat lapangan (supremasi hukum kurang ditegakkan).
c) Pengukuhan dominasi laki-laki terhadap perempuan sehingga mendorong perlakuan yang eksploitatif.
d) Lapangan kerja yang relatif terbatas, sehingga sulit diakses oleh perempuan.
e) Kondisi keluarga atau masyarakat yang miskin.
f) Relatif masih rendahnya kontrol keluarga dan masyarakat terhadap berbagai kemungkinan terjadinya praktek perdagangan perempuan.
g) Semakin berkembangnya sistem ekonomi yang mengarah pada sistem kapitalistik (bebas nilai) yang cenderung memandang perempuan sebagai komoditas yang layak diperdagangkan.
h) Masih relatif rendahnya kesadaran keluarga korban, masyarakat untuk melaporkan kejadian tentang praktek perdagangan perempuan kepada pihak berwenang.
i) Sistem nilai budaya yang memungkin mendukung perdagangan perempuan.

Kesimpulan
Sebagaimana diuraikan diatas bahwa dalam hal pencegahan dan penanggulangan trafficking perempuan masih banyak kendala permasalahan yang dihadapi dalam penanganan, antara lain sebagai berikut :
1. Semakin meningkatnya jumlah dan kompleksitas permasalahan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial(PMKS) yang disebabkan oleh faktor kemiskinan dalam keluarga, maka diperlukan jangkauan layanan yang lebih luas dalam program-program yang bervariasi yang sesuai dengan kebutuhan korban.
2. Adanya berbagai keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh pemerintah ataupun masyarakat dalam memberikan pelayanan terhadap korban trafiking, sehingga hasil yang didapatkan dirasakan belum maksimal baik dari kualitas maupun jangkuannya.
3. Masih rendahnya kepedulian dan partisipasi masyarakat dalam memberikan kontribusinya pada upaya penanganan bagi perempuan korban trafficking khususnya dalam pelayanan dan rehabilitasi sosial.

Jakarta, Oktober 2009

0 komentar:

Posting Komentar