Menyibak kasus kemiskinan
menuai kasus keluarga anak jalanan
Oleh: Dasuki*
ABSTRAK
Krisis ekonomi yang berkepanjangan mempengaruhi berbagai segi kehidupan masyarakat baik di perkotaan maupun di perdesaan. Khusus di pedesaan sangat dirasakan, apalagi di desa sulit mencari kerja untuk menambah penghasilan, hal ini mendorong orang migrasi ke kota untuk bekerja. Adanya migrasi dari desa ke kota membawa permasalahan baru seperti di Jakarta diantaranya kepadatan penduduk, sehingga wilayah kota menjadi tidak teratur dan kumuh, maka dengan ini penulis mecoba mengungkap permasalahan keluarga anak jalanan ditinjau dari segi sosial dan ekonomi keluarga yang penyebabkan anak menjadi anak jalanan.
Kebanyakan keluarga anak jalanan secara normatif telah melaksanakan fungsi sosialnya, namun dari sisi ekonomi tidak dapat menunjang kebutuhan sehari hari, ditambah dengan kondisi lingkungan sosial yang sulit dan tidak mendukung, menjadikan anak tergugah untuk membantu mencari penghasilan tambahan seperti sebagai penyemir sepatu di tempat keramaian orang dan dijalanan. Menjadi penyemir sepatu bagi anak prinsipnya hanya ingin membantu keluarganya memenuhi kebutuhan sehari-harinya, tetapi ada juga anak menjadi penyemir sepatu karena terpengaruh oleh faktor teman dilingkungannya, kegiatan sebagai penyemir sepatu dari penghasilan jasanya untuk kebutuhan jajan bersama teman-temannya. Berjuta keluarga yang migrasi mempunyai pola kehidupan yang hampir rata-rata sama dalam taraf kemiskinan hidup dikota, kasus kemiskinan telah menuai menjadi kasus bagi anak menjadi anak jalanan.

LATAR BELAKANG
Krisis sulitnya perekonomian kita telah membawa pengaruh terhadap kondisi kehidupan sebagian besar masyarakat, baik mereka yang berada di kota mau¬pun desa. Khusus pada masyarakat desa, sangat dirasakan kesulitan dalam pemasaran hasil pertanian maupun hasil perkebunannya. Apalagi sebagai buruh tani maupun buruh kebun dengan kondisi sulitnya perekonomian, kebanyakan kewalahan pula untuk mengatasi kesulitan kehidupan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mereka mencoba bermigrasi kekota dengan harapan mendapat kerja. Na¬mun di kota para migran menimbulkan permasalahan baru bagi wilayah kota menjadi kumuh dll.
Kesulitan dalam mencari kerja dan kondisi pendapatan yang tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup sehari hari, sering keluarga mengeksploitasi anak di tempat tempat kera¬maian atau dijalanan untuk mencari penghasilan sebagai peminta-minta, pedagang asongan, penyemir sepatu dan sejenisnya. Eksploitasi anak ini merupakan pelanggaran terhadap hak-hak anak dan penyimpangan peran dan fungsi keluarga terhadap anak yang seharusnya anak mendapat asuhan dan perlindungan sejak dalam kandungan, lahir sampai dengan dewasa tetapi kenyataan sebaliknya menjadi pemerasan tanpa disadari.
Mari kita coba telusuri pada keluarga Hasan. Sehari-hari orang mengenalnya sebagai petugas kebersihan alias pengangkut sampah di sebuah kompleks perumahan di Jakarta. Sejak berumur 10 tahun, Hasan terbiasa membantu ayahnya Mang Cecep (almarhum). Setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu, sehabis pulang sekolah, tangan-tangannya ikut mendorong gerobak sampah menuju Tempat Pembuangan Sementara (TPS). Aroma tak sedap sudah jadi makanan sehari-hari.
Walaupun dibantu, tetap saja penghasilan Mang Cecep tidak cukup untuk memberikan kehidupan yang lebih layak bagi keluarganya. Pendidikan Hasan sampai lulus SMA, lantaran orang tuanya tidak sanggup membiayai sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Demikian juga ke tiga saudaranya tidak ada yang berpendidikan tinggi. Ayah Hasan punyai sembilan orang anak dari tiga orang istri. Perkawinan pertama membuahkan seorang anak, kemudian istrinya meninggal. Pada perkawinan kedua, mereka mempunyai empat orang anak, yang diakhiri pula dengan kematian istrinya. Perkawinan ketiga, Mang Cecep menikah dengan ibu kandung Hasan, dan menghasilkan empat orang anak. Hasan anak sulung dari istri ketiga Mang Cecep. Adik laki-lakinya yang berusia 18 tahun bekerja sebagai tukang bangunan atau pekerjaan apa saja yang bisa dikerjakan. Dua adik perempuannya sudah berkeluarga, walaupun usianya sekarang baru 17 tahun dan 15 tahun. Kini Hasan hidup dengan seorang istri, dan lima orang anak, 3 orang anaknya sudah sekolah SD dan selainnya belum sekolah. Anaknya yang pertama sudah duduk di kelas 6 (enam) SD. Keluarga Hasan tinggal bersama Bu Cecep di salah satu kamar rumah di kompleks perumahan, tempat dia mengangkut sampah.
Rumah itu bukan miliknya, tetapi milik seorang kaya raya yang berbaik hati pada Hasan dan keluarganya. Mereka pun tidak dipungut sewa.Pada tahun 2001 yang lalu, Mang Cecep meninggal dunia dalam usia 73 tahun karena sakit keras. Mang Cecep tidak meninggalkan warisan apa pun. Sejak itu Hasan, 31 tahun, resmi menggantikan tugas ayahnya sebagai petugas kebersihan atau tukang sampah di dua RT di lingkungan kompleks perumahan tersebut.
Sebelumnya, Hasan hanya menggantungkan hidupnya dari upah yang diberikan para tetangga yang meminta bantuan kepadanya, seperti menjaga rumah, mengurus KTP, mengecat rumah, membersihkan got atau halaman rumah orang lain, atau pekerjaan apa saja yang bisa ia kerjakan. Pekerjaan-pekerjaan ini masih ia lakukan sampai sekarang.
Sebagai tukang sampah pada dua buah RT atau sekitar 70 unit rumah, ia memperoleh penghasilan tetap Rp 400.000/bulan. Dalam satu minggu ia mengangkut sampah tiga atau empat kali. Lalu dilanjutkan dengan menarik gerobak sampah itu ke TPS yang jauhnya sekitar 3 km. Selain mengangkut sampah, ia juga menjadi kolektor pembayaran rekening listrik dan Air. Untuk pekerjaan ini, ia menerima upah sebesar Rp 20.000 dari setiap RT, dan mendapat bonus dari warga yang berbaik hati kepadanya. Kalau dikumpulkan mencapai kurang lebih Rp 100.000. Namun, walaupun ada tambahan, tetap saja penghasilannya jauh dari mencukupi.
Sebagai manusia normal ia pun mengeluh, bahwa hidupnya tidak pernah berubah. Lebih runyam lagi, ia mengaku tidak punya keterampilan lain. Pernah pada saat usianya 17 tahun ada tetangga yang berniat membantu Hasan masuk pendidikan ABRI. Tapi, ia tidak mau, dan keluarganya pun tidak mendukungnya. Semuanya karena ketiadaan biaya. Terkuak nya kisah Hasan hanyalah satu dari jutaan potret kemiskinan yang dialami masyarakat kota saat ini. Nasib Hasan pun termasuk yang beruntung, dibandingkan dengan nasib-nasib si miskin lainnya. Entah berapa jutaan jumlah orang yang mengalami kemiskinan masih banyak…dan banyak…serta tak terperikan, data tentang jumlah penduduk miskin di Indonesia memang masih simpang siur.

TINJAUAN UMUM MASALAH KEMISKINAN
Sebenarnya Indonesia dalam kurun waktu 1976-1996, telah berhasil menurunkan angka kemiskinan, dari 54,2 juta orang pada tahun 1976 menjadi 22,5 juta orang pada tahun 1996. Tapi, dengan adanya krisis moneter (krismon) tahun 1997-1998 diduga terdapat 80 sampai 100 juta orang miskin di Indonesia (Kompas, 20 Oktober 1998). Mubyarto (2003) mengatakan bahwa, setelah krismon tahun 1997-1998 yang berkepanjangan sampai sekarang dalam bentuk krisis perbankan, masalah kemiskinan menjadi topik menarik karena jumlah penduduk yang jatuh di bawah garis kemiskinan meningkat sekali, pernah dihitung (secara keliru oleh BPS) menjadi, 79,5 juta orang. Perhitungan itu keliru dilakukan karena diasumsikan pendapatan rumah tangga tidak tetap (tidak naik), ketika tahun 1998 terjadi inflasi 78 persen. Dalam kenyataan pendapatan "semua orang" termasuk penduduk miskin seperti buruh tani juga naik, kadang-kadang bisa lebih dari 100 persen sehingga kemiskinan 1998 "disepakati" hanya 49,5 juta atau 24,2 persen. Kemudian pada tahun 2002 jumlah penduduk misknj menjadi 38,4 juta orang atau 18,20 persen.
Dalam kampanye politik pemilihan capres dulu, Presiden Megawati mengatakan bahwa selama masa kepemimpinannya ia telah berhasil menurunkan angka kemiskinan sebesar 45persen. Benarkah? Kalaupun benar, angka itu tidak mungkin berada dibawah 30 juta orang. Jika diasumsikan bahwa proses sosialisasi kemiskinan seperti kasus tersebut diatas, bisa dibayangkan betapa sulitnya program-program penanggulangan masalah kemiskinan di Indonesia. Beberapa .program penanggulangan kemiskinan yang tergabung dalam paket progam Jaring Pengaman Sosial (JPS) dari pemerintah, juga tidak akan efektif, karena tidak menyentuh akar persoalan yang sangat mendasar, yaitu sosialisasi kemiskinan dalam keluarga.
Bagaimana kondisi kemiskinan itu tetap bertahan atau lestari pada orang-orang yang mengalami kemiskinan? Mengutip pendapat Saparinah Sadli (1986), dalam setiap lingkungan budaya ada harapan bahwa setiap anggota masyarakat akan dapat melaksanakan pekerjaan tertentu agar ia dapat memperoleh nafkah yang relatif pasti, yang selanjutnya dapat menjamin kelangsungan hidupnya. Untuk mencapai hal ini seseorang harus dapat mempelajari dan menguasai suatu keterampilan.
Berbagai keterampilan yang diperlukan dalam kehidupan bersama biasanya dimulai dalam lingkungan keluarga. Bahwa lingkungan keluarga sebagai lingkungan sosial pertama dalam kehidupan seseorang diharapkan dapat meletakkan dasar-dasar proses sosialisasi yang memungkinkan seseorang untuk dapat mengembangkan sikap dan perilaku sebagaimana diharapkan oleh lingkungan sosialnya, dan mengembangkan kemampuannya untuk bertingkah laku "conform" terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku di lingkungan sosialnya.
Proses sosialisasi berlangsung bagi setiap anak, karena sejak dilahirkan ia telah terbelenggu dalam suatu kelompok (seperti keluarga). Yang bisa membedakan setiap anak adalah "apa" yang diinternalisasikan sebagai hasil proses sosialisasi. Perbedaan ini selanjutnya dapat dimanifestasikan dalam perilaku konkretnya karena keluarga memegang peranan penting dalam berlangsungnya proses sosialisasi dan pembentukan perilaku pada umumnya.

TINJAUAN KASUS KELUARGA MISKIN
Bagaimana ciri-ciri keluarga yang hidup dalam kondisi miskin. J.Kosa.dan I.K.Zola. dalam Saparinah Sadli mengatakan, bahwa kondisi miskin sebagai lingkungan sosial di mana anak dibesarkan, tidak rnendukung atau membantu terbentuknya watak atau sifat-sifat pribadi yang dapat mendobrak kemiskinannya karena beberapa kondisi.
Pertama, lingkungan keluarga miskin tidak dapat mengembangkan pola sosialisasi di mana seseorang dibimbing untuk mengembangkan dan belajar keterampilan khusus untuk dapat mencari pekerjaan yang layak. Sebab, cara-cara mencari nafkah dari keluarga miskin ditandai oleh adanya ketidak pastian dan ketidak mantapan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kondisi kehidupan yang serba tidak mantap ini menyulitkan orang tua miskin untuk dapat meneruskan sesuatu yang bersifat mantap kepada anak-anaknya. Sehingga peneladanan kalaupun ada lebih bersifat tidak disengaja dan justru memperkuat kondisi kehidupan miskin.
Kedua, karena lingkungan keluarga miskin biasanya ditandai oleh tidak adanya pekerjaan yang langgeng (no steady job), maka salah satu kesibukan konkret yang harus dilaksanakan sehari-hari ialah mencari kegiatan yang dapat mengurangi rasa tidak aman dan tidak pasti. Hal ini menimbulkan suatu kebiasaan untuk hidup secara tidak teratur. Dinyatakan, bahwa keadaan seperti ini telah menyebabkan orang-orang dalam kondisi hidup miskin kurang menyukai kegiatan-kegiatan yang menuntut adanya suatu "steadiness." Latar belakang ini telah dipergunakan untuk menjelaskan mengapa orang-orang miskin justru tertarik pada kegiatan yang dapat membawa rezeki sesaat (bila untung) seperti main kartu atau main judi, dan sebagainya.
Ketiga, kondisi kemiskinannya menyebabkan minimnya aspirasi keluarga miskin (secara sadar atau tidak sadar). Apa yang mereka ajarkan kepada anak-anaknya dalam proses sosialisasi hanyalah keterampilan-keterampilan yang memungkinkan anak-anak tersebut melanjutkan cara hidup keluarganya sekarang.Hal ini ber-hubungan erat dengan kenyataaan lain bahwa keluarga miskin biasanya tidak mempunyai sarana yang diperlukan untuk meningkatkan kondisi ekonomi keturunannya. Dari keluarga miskin sulit diharapkan bahwa mereka dapat mengajarkan pola tingkah laku yang "conform" terhadap norma-norma sosial yang berlaku umum,karena tidak ada kondisi dalam lingkungannya yang menguntungkan atau dapat memberi penguatan bila hal tersebut diajarkan kepada anak-anaknya.
Keempat, salah satu aspek penting dalam proses sosialisasi ialah bahwa keluatga mengajatkMi kepada anak-anaknya, agar ia dapat mengun&u pemuasan mendadak dari kebutuhan-kebutuhan-nya. Pada anak-anak diajarkan supaya tidak memuaskan setiap kebutuhan secara segera, yang diperlukan untuk mencapai suatu tujuan yang lebih penting, misalnya demi hari depan yang lebih baik. Meskipun mengantuk dan capai, ia harus belajar untuk ujian, agar dapat lulus, dan selanjutnya menuntut pendidikan tertentu untuk memperoleh profesi atau keterampilan tertentu demi memperoleh pekerjaan yang lebih baik.
Relevansi ini tidak berlaku bagi keluarga miskin karena anak-anak mereka pada umur yang sangat muda justeru belajar dan harus mengalami kesulitan/ masalah kehidupan, bahwa yang penting adalah untuk segera dapat memenuhi kebutuhan dasarnya seperti sandang, pangan, dan papan. Sehingga ia belajar bagaimana segera mernenuhi kebutuhan ini dalam berbagai tindakannya yang tidak selalu sesuai dengan harapan lingkungan sosial pada umumnya. Bahkan, hal tersebut dilakukan dengan cara mengeksploitasi anak secara ekonomi, sehingga anak kehilangan haknya untuk dapat hidup secara wajar.
Kelima, kondisi kemiskinan yang pada dasarnya ditandai oleh berbagai keterbatasan terjadinya proses sosialisasi yang dapat menumbuhkan rasa keterikatan emosional. Ikatan emosional yang tinggi terhadap lingkungan keluarga akan sangat terganggu dalam lingkungan keluarga yang tidak memiliki tujuan yang jelas, tanpa memiliki tempat tinggal yang pasti, tanpa bekal yang cukup untuk hidup sendiri lepas dari bimbingan orang tua.
Kondisi dan cara hidup inilah yang merupakan landasan bagi terbentuknya kebudayaan kemiskinan yang mereka miliki. Kemiskinan yang menurut Oscar Lewis, antara lain telah mendorong terwujudnya sikap-sikap menerima nasib, meminta-minta, atau mengharapkan bantuan dan sedekah, sebenarnya merupakan bentuk adaptasi yang rasional dan cukup pandai dalam usaha kemiskinan yang mereka hadapi.
Karena kebudayaan kemiskinan itu lestari melalui sosialisasi, maka usaha-usaha untuk memerangi kemiskinan ialah dengan cara mengubah kebudayaan kemiskinan yang dapat dilakukan dengan melakukan perubahan-perubahan dalam pola sosialisasi anak-anak miskin.

MASALAH KEMISKINAN DAN SOLUSINYA
Ada beberapa pendekatan yang dapat dipergunakan untuk memahami masalah kemiskinan, yaitu pendekatan pendekatan situasional, dan pendekatan interaksional.
Menurut Oscar Lewis dalam Suparlan (1995), kemiskinan adalah suatu budaya yang terjadi karena penderitaan ekonomi yang berlangsung lama. Berdasarkan hasil penelitiannya, Lewis menemukan bahwa kemiskinan adalah salah satu subkultur masyarakat yang mempunyai kesamaan ciri antaretnik satu dengan etnik yang lain. Kebudayaan kemiskinan cenderung untuk tumbuh dan berkernbang di dalam masyarakat-masyarakat yang mempunyai seperangkat kondisi sbb:
1. Sistem perekonomian yang terlalu berorientasi pada mencari keuntungan.
2. Tingginya tingkat angka pengangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga tak terampil atau tidak punya keahlian.
3. Rendahnya upah/ gaji yang diperoleh para pekerja.
4. Tidak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah meningkatkan organisasi sosial dalam bidang ekonomi dan politiknya.
5. Kuatnya seperangkat nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan penumpukan harta kekayaan dan adanya kemungkinan mobilitas vertikal atau kesempatan untuk terus meningkat dalam status, dan sikap hemat, serta adanya anggapan bahwa kemiskinan atau rendahnya status ekonomi disebabkan oleh karena ketidak sanggupan pribadi atau pada dasarnya sudah rendah kedudukannya.
Charles A. Valentine dalam Mubyarto (1995), mengernukakan bahwa ciri-ciri subkultur orang miskin seperti yang digambarkan oleh Lewis bukanlah suatu hasil kebudayaan yang turun temurun. Ciri-ciri itu timbul oleh karena situasi yang menekan. Bilamana situasi yang menekan itu hilang, ciri-ciri tersebut akan hilang dengan sendirinya. Situasi yang menekan tersebut timbul karena struktur total dari sistem sosial yang ada di dalam suatu masyarakat.
Selanjutnya Valentine berpendapat, bahwa untuk mengubah keadaan orang miskin ke arah yang lebih baik harus diadakan perubahan secara simultan dalam tiga hal:
Pertama, penambahan resources (kesempatan kerja, pendidikan, dll). Kedua, perubahan struktur sosial masyarakat.
Ketiga, perubahan-perubahan di dalam subkultur masyarakat orang miskin tersebut.
Herbert J. Gans dalam Suparlan (1995) , yang dikenal dengan pendekatan interaksionalnya mengernukakan, bahwa perilaku dan ciri-ciri yang ditampilkan kaum miskin adalah merupakan hasil interaksi antarfaktor kebudayaan yang sudah tertanam di dalam diri orang miskin dan faktor situasi yang menekan. Gans menolak pendapat Lewis, yang menyatakan bahwa orang miskin di semua negara mempunyai ciri-ciri yang sama. Menurut Gans, orang-orang miskin bersifat heterogen. Sebagian orang miskin menjadi miskin karena warisan generasi sebelumnya. Tapi, ada juga yang miskin secara periodik. Ada pula yang bertambah miskin, sedangkan sebagiannya lagi bertambah baik kehidupannya.
Sebaliknya sebagian dari mereka berorientasi ke atas dan melihat adanya kesempatan untuk maju, sedangkan sebagian lainnya tidak berorientasi demikian dan tidak menggunakan kesempatan yang tersedia untuk meningkatkan kualitas hidup. Pendapat Gans, untuk memecahkan masalah kemiskinan harus dipelajari lebih dulu faktor-faktor apa yang menghambat orang miskin menggunakan kesempatan yang tersedia. Untuk itu, diperlukan suatu pemahaman tentang perubahan yang diperlukan dalam sistem ekonomi, struktur kekuasaan, dan norma-norma serta aspirasi kelompok orang kaya yang ikut memicu timbulnya kelompok orang miskin.

KASUS KELUARGA ANAK JALANAN
Menguak kasus keluarga anak jalanan ada beberapa pendapat tentang fungsi dan peranan keluarga terhadap kesejahteraan sosial keluarga, seperti diuraikan sbb:
Berdasarkan Juklak Pembinaan Kesejahteraan Sosial Keluarga, oleh Direktorat Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial R.I. Tahun 1984, dinyatakan bahwa fungsi dan peranan keluarga dititik beratkan pada masing-masing anggota keluarga. Fungsi ayah sebagai pencari nafkah; sebagai pendidik, sebagai perlindung dan sebagai tokoh peneladanan. Peran ayah adalah mencukupi kebutuhan rumah tangga memberikan pendidikan dan bimbingan kepada putra putrinya; memberikan rasa aman; memberikan perlindungan dari ancaman yang dapat mengganggu ketentraman keluarga; memberikan peneladanan yang baik dan sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku; Mendorong dan membangkitkan semangat putra putrinya.
Fungsi ibu sebagai pendamping suami; sebagai pengurus dan pengatur rumah tangga,sebagai figure; sebagai penerus keturunan, sebagai pendidik dan pembimbing. Peran ibu sebagai pembangkit dan pendorong semangat suami agar suami dapat melaksanakan fungsi dan peranannya; mendorong dan membang¬kitkan semangat putra putrinya; mem¬berikan rasa aman; Mendidik dan membimbing putra putrinya menuju kedewasaan memberikan peneladanan yang baik sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku; sebagai teman bermain dan berbicara dari putra pu¬trinya; mengatur dan mengurus rumah tangga.
Peranan dan tanggung jawab orang tua terhadap kesejahteraan dan hak hak anak berdasarkan Undang Undang R.I. No. 4 Tahun 1979, Pasal 9 dan Pasal 2, yaitu orang tua adalah yang pertama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial (Pasal 9), dan anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asu-han, dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya mau¬pun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar (Pasal 2). Anak berhak atas pelayanan un-tuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna (Ayat 2). Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan mau-pun sesudah dilahirkan (Ayat 3); Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbu-han dan perkembangan dengan wajar (Ayat 4).
Drs. H. Abu Ahmadi menyatakan bahwa keluarga adalah unit/ satuan masyarakat yang terkecil yang sekaligus merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Sedangkan fungsi ke¬luarga yaitu suatu pekerjaan atau tugas yang harus dilaksanakan di dalam atau oleh keluarga itu. Menurut pendapatnya, ada 4 fungsi keluarga:
1. Fungsi biologis, yaitu agar keluarga mempersiapkan perkawinan bagi anak anaknya dengan membekali pengetahuan tentang sex, mengatur rumah tangga, tugas dan kewajiban suami memelihara/ mendidik bagi anak anak;
2. Fungsi pemeliharaan, yaitu; agar keluarga dapat terlindung dari gangguan gangguan udara (menyediakan rumah), penyakit (mengobati), gang¬guan bahaya ( menyediakan senjata, tembok ); fungsi ekonomi, yaitu pemenuhan kebutuhan makan, minum, pakaian, tempat tinggal;
3. Fungsi keagamaan, yaitu keluarga diwajibkan untuk menjalani dan mendalami serta mengamalkan ajaran agama dalam pelakunya sebagai manusia yang takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,'
4. Fungsi sosial, yaitu keluarga mem¬persiapkan anak anaknya bekal se-lengkapnya dengan memperkenalkan nilai nilai dan sikap yang dianut oleh masyarakat serta mempelajari peranan peranannya.
Disimpulkan peranan dan tanggung jawab orang tua terhadap kesejahteraan dan hak hak anak tidak terpenuhi akibatnya fungsi keluarga mengalami kesulitan dan hambatan akibatnya tumbuhlah dengan sendirinya kasus-kasus keluarga anak jalanan


KONDISI SOSIAL EKONOMI ANAK JALANAN
Kemiskinan merupakan salah satu faktor internal yang mendorong anak hidup di jalanan. Kemiskinan menyebabkan keluarga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarga. Untuk memenuhi kebutuhan hidup tersebut, baik dorongan orang tua maupun dari keinginan sendiri, anak mencari tambahan di jalan maupun di tempat keramaian sebagai penyemir sepatu, pedagang asongan atau sebagai peminta-minta dll. Hasil dari usahanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga maupun untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Fak¬tor lain yang mendorong anak menjadi anak jalanan yaitu kurang perhatian dan kasih sayang dari orang tua, se¬hingga anak mencari perhatian dan kepuasan di luar, yaitu bergaul dengan anak-anak jalanan yang senasib, bebas dan tidak terikat keluarga.
Hasil penelitian Makmur Sunusi (1996) terhadap 600 anak menunjukan bahwa 80% anak jalanan disebabkan kemiskinan keluarga, dan 19.7% dise¬babkan oleh faktor adanya hambatan hubungan sosial psikologis dengan orang tuanya. Kemudian hasil survei pemberdayaan anak jalanan di 5 Kota Besar di Indonesia, menunjukan 44.9% adalah masalah kemiskinan struktural, 23.5% adalah perlakuan salah dari orang tua, 21.5% karena kurang kemauan pendidik dan pemerintah, dan 10% karena mendapat uang recehan di kota besar. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa kemiski¬nan lebih dominan mendorong si anak menjadi anak jalanan.
Seperti kasus anak jalanan ke¬luarga Bapak Hasan dalam kajian ini, dengan satu isteri dan 5 anaknya, 3 anak sekolah ditingkat SD lainnya belum sekolah, keluarga Bapak Hasan hidupnya sangat rukun dan sederhana harmonis. Namun bila dilihat dari kondisi sosial ekonomi ke¬luarga, Hasan termasuk keluarga miskin. Kondisi rumahnya sangat memperhatinkan yaitu, setengah tembok (semi permanen), dengan luas rumah 4 x 6 M2, terdiri dari 2 kamar tidur, ruang tamu dan ruang/kamar mandi. Sedang pendapatan sebulan sebagai tukang sapu ditambah dengan pendapatan anaknya sebagai penyemir sepatu kurang lebih sebesar Rp60,000 per bulan. Dengan kondisi rumah yang sempit dan penda¬patan keluarga yang pas pasan ditam¬bah beban tanggungan keluarga berjumlah 7 orang hal ini membawa beban pisikologis. Ketidak mampuan inilah yang menye¬babkan kedua anaknya tergugah ingin membantu orang tuanya dengan melakukan pekerjaan sebagai tukangsemir diterminal Bus dengan menanggung resiko bahaya yang cukup tinggi.
Kondisi tersebut sangat bertentangan antara kebutuhan hidup dan hak hak anak yang semestinya harus tumbuh berkembang untuk dunia anak anak, bukan untuk eksploitasi anak untuk mencari uang di tempat tempat ramai yang banyak dikunjungi orang maupun di jalan jalan dan perempatan lampu merah yang berisiko terhadap keselamatan jiwa si anak. Deklarasi konvensi hak hak anak untuk meningkatkan taraf hidup anak, salah satu pasal pada butir yang berbunyi meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan si anak secara optimal dengan langkah langkah menghilangkan kelaparan, kekurangan gizi dan kekurangan pangan. Bila dikaitkan dengan Undang Undang Kese-jahteraan Anak dan Undang Undang Ketenagaan Kerjaan, anak seharusnya mendapat bimbingan dan perlindungan dari sebelum lahir sampai dengan lahir hingga dewasa (baik dalam hal bermain, kasih sayang dari orang tuannya maupun dalam hal pendidikannya ).
Selanjutnya menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1987, tentang Perlindungan terhadap Anak yang Bekerja, anak tidak dibolehkan bekerja lebih dari 4 jam sehari, anak-anak ti¬dak boleh dipekerjakan pada malam hari, pengusaha harus memberikan upah sesuai dengan peraturan pengupahan yang berlaku. Namun di sisi lain Undang Undang tersebut mengijinkan anak-anak di bawah umur/usia 14 tahun yang terpaksa bekerja, untuk membantu keluarganya atau memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.
Ditinjau dari Program Bimbingan dan Pembinaan Keluarga Sejahtera adalah suatu bentuk pelayanan kesejahteraan sosial bagi keluarga yang bermasalah maupun yang tidak bermasalah untuk mencegah terjadinya/ meluasnya permasalahan kese¬jahteraan sosial keluarga dan dapat meningkatkan kemampuan keluarga/ anggota keluarga.calon ke¬luarga dalam pemahaman dan pemecahan masalah, serta meningkatkan fungsi dan peran sosial keluarga dalam masyarakat dan pembangunan serta kemandirian keluarga. Program ini ditujukan untuk mewujudkan keluarga yang harmonis lahir dan batin sehingga mampu berfungsi sebagai wahana sosialisasi nilai-nilai budaya bangsa dan agama bagi anggota ke¬luarganya.
Dilihat dari peran dan fungsi ke¬luarga kesejahteraan anak, kasus keluarga anak jalanan terserbut, seperti pada keluarga bapak Hasan cukup melaksanakan peran dan fungsinya. yaitu sebagai pencari nafkah, sebagai pendidik, se¬bagai pelindung, pembimbing dan se¬bagai tokoh peneladanan. Hal ini dibuktikan dengan adanya tanggung jawab orang tua terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak anak cu¬kup tinggi, walaupun penghasilan yang diperoleh setiap bulannya relatip kecil. Khususnya dalam hal pendidikan anak-anak yang sudah sekolah di tingkat Sekolah Dasar.
Disamping tanggung jawab terhadap pertumbuhan dan perkembangan pendidikan anak anak juga tanggung jawab terha¬dap bimbingan dan asuhan terhadap anak anaknya cukup tinggi, hal ini terlihat dalam ketidak aktifan keluarga Hasan, pada kegiatan organisasi (PKK, arisan RT), ia lebih mengutamakan mengasuh dan membimbing anak anaknya dirumah. Penyebab anak-anak menjadi anak jalanan (penyemir sepatu), ke¬luarga bapak Hasan mempunyai latar belakang yang berbeda dengan keluarga anak jalanan lainnya. Untuk ke¬luarga bapak Hasan penyebab kedua anaknya (Yudi dan Bambang) menjadi tukang semir sepatu di terminal Bus, karena terdorong dari hati nuraninya ingin membantu bapaknya yang bekerja sebagai tukang sapu dengan gaji sebulan yang tidak mencukupi. Bila dilihat dari jumlah tanggungan keluarga seluruhnya 7 orang, gaji tersebut tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, termasuk jajan dan untuk biaya anak sekolah. Untuk menutupi kekurangannya, karena itulah kedua anak-anaknya mencoba mencari uang tambahan, untuk biaya dirinya maupun adik adiknya.

KESIMPULAN
Atas kajian menyibak kasus kemiskinan hingga terkuak dalam kasus keluarga anak jalanan dapat disimpulkan sbb:
1. Pentingnya, perlindungan terhadap anak dalam rangka mewujudkan Undang Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, serta memperhatikan peran dan fungsi ke-luarga,
2. Untuk mengurangi permasalahan sosial keluarga miskin, guna menghidari adanya tindakan eksploitasi anak, tindak kekerasan terhadap anak dan sejeninya. Dalam hal ini perlu dilakukan penanganan secara khusus, terpadu melibatkan berbagai Instansi pemerintah dan lembaga sosial terkait, terhadap keluarga yang tidak mampu (miskin) yang mempunyai tanggungan anak.
3. Terhadap keluarga anak jalanan, diberi bimbingan dan penyuluhan tentang peranan dan fungsi orang tua terhadap kesejahteraan keluarganya khususnya terhadap anak.
4. Ekonomi keluarga anak jalanan diberi bimbingan keterampilan usaha dan bantuan modal usaha, sehingga hasilnya dapat men-cukupi kehidupan dan kelangsungan keluarganya.
5. Memberikan bantuan atau perbaikan rumah keluarga anak jalanan yang tidak memenuhi syarat sebagai rumah sehat. Bagi anak jalanan yang masih sekolah diberi ban¬tuan bea siswa baik biaya uang seko¬lah, alat dan transportasi.


DAFTAR PUSTAKA
Abu Ahmadi, 1997. Ilmu Sosial Dasar, Jakarta.
Departemen Sosial R.I, 1985 ; tentang Pelaksanaan Pembinaan Kesejahteraan Sosial Keluarga, Jakarta.
______, 1996. Program Bimbingan dan Pem¬binaan Keluarga Sejahtera Repelita VI, Direktorat Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial, Jakarta.
Lina Favaurita Sutiaputri , 2004.Jurnal,” Aksi Sosial” Tahun I
Perserikatan Bangsa Bangsa, 1990 ; Konvensi Hak - Hak Anak, New York.
Sunusi, Makmur, Beberapa Temuan Lapangan Survei Anak Jalanan dan Rencana Penanganannya di DKI Jakarta dan Surabaya, Departemen Sosial. UDP, Jakarta, 1996.
Undang Undang R.I. Nomor 4 Tahun 1979 ten-tang Kesejahteraan Anak, Jakarta. Media Informasi, 2000. Puslitbang Kessos, BKSN, Jakarta.
Jakarata , Oktober 2009

0 komentar:

Posting Komentar