MEMBANGUN KARAKTER
KUALITAS PERSONALIA PANTI SOSIAL
Oleh Dasuki*)
Abstraksi
Mengawali pengembangan pembangunan panti panti sosial dalam lingkup organisasi sosial swasta maupun pemerintah pada dasarnya membutuhkan kerja keras, yang memerlukan materi sarana prasarana, dana, dan program yang cukup tersedia dengan baik. Namun keberhasilan dari kegiatan pembangunan itu sendiri sangat tergantung dari karakter kualitas manusia yang menjadi penyelenggara dalam pembangunan. Dengan demikian bagaimanapun baik serta besarnya sumber-daya dana, sumber-daya material, serta baiknya program kerja, maka sumberdaya manusia itu sendirilah yang akan menentukan keberhasilan secara kuantitas maupun kualitas hasil kegiatan pembangunan yang dilakukannya.
Mencermati kualitas SDM dalam jajaran Departemen Sosial Republik Indonesia, yang diawali dari seluruh program dan kegiatan Depsos di Indonesia, yang dewasa ini akan menentukan kualitas keberhasilan program-program peningkatan kesejahteraan sosial menjadi tugas tanggung jawab Departemen Sosial pada masa yang akan datang; terhadap upaya kesejahteraan sosial merupakan upaya yang cukup penting karena pada dasarnya, apa yang diharapkan manusia-manusia dalam perjuangan hidupnya adalah kesejahteraan sosial, kesejahteraan dengan berkehidupan yang aman, tentram, damai dan baik secara fisik maupun mental.
Oleh karena itu sangatlah penting pula dilaksanakan berbagai upaya pembangunan karakter manusinya dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tenaga kerja pegawai, dan perlu pula dibarengi dengan upaya untuk mendidik tenaga kerja menjadi manusia yang bermoral, berdisiplin, bersemangat kerja, jujur, rajin dan sejenisnya.
Khusus bagi personil pegawai negeri atau karyawan instansi pada panti sosial bahwa mereka adalah pegawai andalan didepan dalam pelayanan masyarkat, jangan sampai merasa sebagai pegawai buangan karena lahan tempat bekerja mereka akan merupakan manusia-manusia ungulan dalam pengabdiannya sebagai abdi negara, masyarakat, bangsa dan agamanya.
Dengan demikian, upaya pembangunan sumber-daya manusia, merupakan upaya pengembangan karakter pembangunan yang harus didudukkan pada porsi yang cukup strategis disamping pembangunan fisik. Upaya pembangunan sumber-daya manusia (SDM) ini harus dilakukan oleh seluruh komponen bangsa Indonesia, dan oleh seluruh instansi pemerintah, termasuk oleh jajaran Departemen Sosial yang dimulai dari tingkat Unit Pelaksana Tehnis (UPT) seperti panti-panti sosial sebagai ujung tombak yang langsung berhadapan dengan masyarakat. Untuk hal tersebut perlu kiranya peningkatan kualitas profesional pegawai panti, yang dibarengi dengan kualitas mental kerja pegawai, dengan pengaturan manajemen personalia yang baik.

I. Pendahuluan
Setiap lembaga panti sosial sebagai unit pelaksana tehnis memerlukan pengelolaan yang baik dan dengan penuh disiplin, demikian pula upaya penanganan SDM memerlukan kualitas profesional pegawainya, maka dalam penangan kelembagaan UPT dalam hal tersebut dapat ditinjau dari dua hal pokok permasalahan yang selalu dihadapi dalam lembaga sosial tersebut sbb:
1) Kemampuan kerja profesional
2) Kemampuan mental kerja

Kemampuan kerja profesional
Salah satu faktor yang sangat mendukung bagi keberhasilan suatu pekerjaan adalah semangat kerja dan kemauan kerja yang tinggi. Akan tetapi pada era globalisasi dan era ilmu serta teknologi modern, mulai dituntut akan perlunya kualitas pengetahuan dan keterampilan kerja yang lebih maju. Untuk hal ini memang telah banyak dilakukan oleh Pemerintah maupun masyarakat dal;am upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kerja tenaga kerja, termasuk tenaga kerja personil pegawai sipil pemerintah.
Berbagai pendidikan formal, baik yang bersifat pendidikan tingkat dasar, tingkat menengah dan atas, maupun pendidikan tinggi, dan sejenisnya telah cukup banyak tersedia. Memang dari satu segi, hal ini telah banyak meningkatkan kualitas inteligensi dan profesionalisme tenaga kerja, termasuk kualitas personil pegawai negeri. Demikian pula, berbagai kesempatan untuk ikut berbagai pendidikan non-formal untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja agar lebih banyak dilaksanakan. Penambahan atau pendidikan semacam ini antara lain dilakukan melalui kegiatan penambahan ilmu ataupun keterampilan.
Fasilitas untuk ini telah banyak disediakan, diantaranya kursus penyegaran/up-grading dan kediklatan pegawai, seminar, kesempatan autodidak/belajar sendiri, kesempatan memiliki kesenangan membaca, kesenangan berdiskusi, kesenangan rapat, kesenangan berorganisasi, termasuk kesempatan untuk perolehan pendidikan penjenjangan /karier, dan sejenisnya yang pada akhirnya akan membangun manusia sebagai sumber daya yang memiliki visioner.

Kemampuan mental kerja
Seperti apa yang pernah dikemukakan orang-orang tertentu, bahwa keberhasilan suatu kegiatan itu sangat tergantung dari orang yang berada dibelakang atau yang mengendalikan kegiatan tersebut. Ungkapan semacam ini sering kita dengar, bahkan ada yang menyebutkan bahwa keberhasilan suatu kegiatan tergantung dari “the man behind the gun”. Keberhasilan tugas sangat tergantung dari kecerdasan, tingkat inteligensi, kegesitan dan lain-lain etos kerja dari personil yang menanganinya, khususnya kepalanya.
Kita mulai dari ujung tombak langsung yang berhadapan dilapangan dengan masyarakat, karena keberhasilan suatu tugas instansi akan langsung dirasakan oleh masyarakat itu sendiri, sebagai contoh sering diungkapkan dalam dunia kemiliteran bahwa keberhasilan seorang komandan yang cerdas dengan satu pasukan prajurit yang kurang terlatih, ternyata akan lebih dapat memenangkan pertempuran dari pada seorang komandan yang kurang cerdas dengan satu pasukan yang telah terlatih. Dari ungkapan ini, maka tersirat bahwa seseorang tenaga kerja harus mempersiapkan diri untuk menjadi orang yang cerdas, baik dari segi ilmu pengetahuan, keterampilan maupun dari segi moral. Dan memang pada dasarnya setiap orang yang sudah mencapai kedudukan tertentu, akan membawahi beberapa tenaga kerja lainnya. Orang ini dapat dikatakan telah menjadi kepala bagi bawahannya tersebut. Dan kualitas kepala inilah yang akan menentukan keberhasilan tugas unit yang dipimpinnya.
Maka salah satu faktor yang cukup penting dalam upaya peningkatan hasil kerja seseorang tenaga kerja atau pegawai negeri, adalah agar yang bersangkutan dapat memiliki kualiatas mental, budi pekerti, moral, semangat kerja, disiplin, loyalitas, tahan uji, tidak mudah putus asa, punya rasa tanggung-jawab, rasa solidaritas, kesetiakawanan, keinginan menyelesaikan tugas secara tuntas, dan seterusnya.keseluruhan sifat-sifat tersebut, diharapkan merupakan suatu tekad yang ikhlas, yang dilakukan sebagai ketaqwaannya terhadap Yang Maha Penciptanya. Apalagi bekerja dipanti sosial maka dengan landasan religi ini pulalah yang mendorong manusia termasuk para pegawai negeri untuk secara ikhlas melaksanakan keseluruhan pengabdiannya kepada tugas negara dan bangsa, dengan sebaik-baiknya.


II. Membangun Karakter Kualitas Personalia Kepegawaian Panti Sosial
Upaya-upaya dalam pengembangan personil kepegawaian pada lembaga sosial atau panti sosial sebagai UPT adalah merupakan kegiatan dalam pengembangan manajemen kepegawaian organisasi dilingkungannya, ada 7 langkah dalam membangun karakter personalia kepegawaian sbb:
1. Pemetaan keadaan personil kepegawaian
2. Hubungan diantara pegawai serta penguasaan masalah kerja
3. Rasa tanggung jawab dan loyalitas
4. Kemampuan mencatat, membuat laporan,pengarsipan dan tertib dokumen / arsip
5. Penggunaan perangkat komputer dan kecermatan kerja
6. Ketuntasan kerja/ Kemampuan mengantisipasi tugas/ Kemampuan mengadakan terobosan/ Semangat kerja/ Hobby dan rasa seni
7. Disiplin kerja

1.Pemetaan keadaan personil kepegawaian
Seorang pegawai dimana dia ditempatkan diharapkan mampu memetakan keadaan personil lainnya dan harus tahu apa yang terjadi di unit kerjanya, harus tahu faktor-faktor mana yang menjadi pendukung kerjanya, faktor-faktor mana yang menjadi penghambat. Harus mampu mencermati orang-orang mana yang cukup pandai, cukup loyal, cukup sejalan alam pikiran dan perbuatannya, dan orang-orang mana yang kurang mampu, yang kurang loyal, yang kurang mau memahami atau menolong pelaksanaan tugas kepala, dan sebagainya.
Seorang pegawai diharapkan mampu merangkum segala proses kegiatan yang terjadi di unit kerjanya, menyimpulkan hasilnya dan hambatannya, serta mampu mencari alternatif penyelesaiannya, dan memanfaatkan kemampuan unit kerjanya untuk menyelesaikan tugasnya dan menanggulangi berbagai hambatan yang terjadi. Merasa risau bila tugasnya belum selesai, bila perintah atasan belum tuntas, bila anak buah merasa kesulitan dan sebagainya.
Seorang pegawai memiliki pengetahuan, baik secara luas maupun secara teknis, termasuk berbagai dasar pengetahuan yang dikuasai dan yang dikerjakan rekan-rekannya, sehingga mampu mengendalikan jalannya pekerjaan yang dilakukan rekannya. Mampu memahami permasalahan yang sedang dihadapi dan mampu mencari alternatif-alternatif penyelesaiannya.
Kemampuan dan kemauan untuk selalu mengadakan hubungan dan koordinasi dengan berbagai pihak, termasuk bertanya kepada semua pihak, bahkan bila perlu bertanya atau mencari pendapat orang lain dari bawahannya dan mempunyai pengetahuan dan ketrampilan dasar, atau pengetahuan umum, memahami dasar-dasar pekerjaan yang dikerjakan oleh bawahannya. Bahkan seorang yang setiap saat mengetahui permasalahan di bidangnya, termasuk selalu siap dengan segala pokok-pokok masalah yang sedang dihadapi dan alternatif pemecahannya.
Seorang pegawai panti yang mempunyai rasa tanggung jawab maka rasa kegagalan merupakan kelemahan dirinya dan tidak dilemparkan pada orang lain, dan seorang kepala yang merasa selalu tidak / kurang puas, dan ingin sempurna / perfect / tuntas. Oleh karena itu seorang pegawai mempunyai daya intuisi, antisipasi dan sensitif terhadap apa yang akan terjadi, apa yang akan menjadi hambatan kerja, apa yang dapat menghindarkan kegagalan, sehingga setiap kegiatan dapat berhasil.
Ada yang lebih penting bagi seorang pegawai profesioanal yang tidak selalu menyalahkan ketidak berhasilan karena alasan-alasan yang dikemukakan pada saat kegagalan terjadi, akan tetapi mampu untuk dapat memperhitungkan kemungkinan akan munculnya hambatan-hambatan dan mempunyai alternatif-alternatif bila sesuatu akan gagal. Dan memiliki daya improvisasi, kemampuan mengadakan terobosan untuk keberhasilan kegiatan yang dibebankannya.
Maka tidak jarang kita lihat tenaga profesional yang mempunyai rasa seni, hobby, semangat hidup yang mendorong keberhasilan kerja diri maupun unitnya dan merasa bahwa dirinya masih belum cukup pandai, dan ingin mengetahui lebih banyak, bahkan walaupun dirinya adalah atasan, tetapi ingin memahami dan ada kalanya bahkan ikut ingin mengetahui apa dan bagaimana pekerjaan teknis bawahannya. Hal ini terutama terkait dengan kenyataan bahwa anak buah / staf sendiri sering kurang memahami hal-hal teknis yang menjadi tanggung jawabnya, kurang mau berkoordinasi, kurang rasa tanggung jawab sehingga pekerjaannya bila tidak diatur langsung / ditanya langsung / diawasi secara melekat (waskat / dicampuri langsung oleh kepalanya, sering hasilnya kurang memuaskan atau bahkan tidak memuaskan. Karena seorang yang merasa bertanggung jawab akan kesempurnaan hasil, tidak menyerah kalau tidak berhasil, kalau perlu terjun sendiri mengatasinya, dan cepat mengambil alih sesuatu yang akan tidak berhasil.
Seorang yang bersifat kritis, memahami permasalahan yang dihadapinya, merasa bahwa iapun bertanggung jawab terhadap permasalahan yang akan dibahas dalam rapat, yang selalu menyimak proses rapat, tidak merasa bosan untuk rapat, tidak keluar masuk dari ruang rapat dengan berbagai alasan. Ia memahami masalah yang sedang dibicarakan, menganggap rapat tersebut cukup penting dan perlu didengar dengan baik, tidak perlu ada pendamping atau bawahan teknisnya. Menganggap kebijaksanaan kepala dalam rapat cukup penting untuk dibicarakan, marasa sikap bicara kepalanya cukup meyakinkan dan cukup berbobot, sehingga perlu didengar dengan cermat dan bersungguh-sungguh. Ia tidak merasa puas hanya mendengar hasil rapat hanya dari laporan orang lain tetapi perlu sendiri ikut mendengarkannya dan mendiskusikannya pada rapat tersebut.
Pegawai yang mau toleransi, mengakomodasi, mereferensi, menerima masukan orang lain, terutama orang lain yang dianggapnya lebih pandai, sehingga dalam menyusun suatu dokumen, suatu ulasan dan sejenisnya, akan mau mengambil referensi tersebut cukup baik. Dengan merangkum referensi orang lain yang lebih baik, maka tugas dirinya akan lebih mudah diselesaikan cepat mampu menguasai situasi dan posisi suatu permasalahan, sehingga pada suatu pertemuan, diskusi, pembicaraan suatu permasalahan ia mampu dengan cepat mengeluarkan usulan, sanggahan, pendapat yang tepat dan relefan dengan masalah yang sedang dibicarakan.
Seorang yang mampu membuat sanggahan yang akseptabel dan positif, dan tidak bersifat menentang / oportunitis. Sanggahannya mengarah pada suatu saran yang mendukung acuan orang lain. Dan bila ia menganggap perlu untuk menyanggah pendapat orang lain, maka sanggahannya tersebut diajukannya secara terbuka tetapi diplomatis, sedemikian rupa sehingga dapat diterima pihak lain tidak ambisi untuk menunjukkan kemampuan dirinya, tidak terlalu bicara tentang teori yang muluk-muluk bila memang tidak diperlukannya, mampu berbicara langsung pada inti atau pokok pembicaraan, tidak bicara secara berputar-putar yang menyimpang dari relefansi permasalahannya. Dan dia yang berusaha mau mendengarkan pendapat orang lain, dan tidak mematikan pendapat, dan sanggahan orang lain. Termasuk dapat menerima dan mendengarkan pendapat serta saran dari bawahannya.
Dalam mencari data / fakta / informasi dari lapangan akan selalu kritis dan cermat. Informasi yang diperoleh akan dianalisa tentang kemungkinan adanya ketidak benarannya, tidak langsung dilaporkan pada atasannya, dalam rangka mencegah agar kepala tidak akan salah dalam pengambilan kebijaksanaannya, yang akan merugiakan atau bahkan membahayakan organisasi.
Seorang pegawai mau mempertanggung jawabkan kegagalan dan keberhasilan unit kerjanya, tanpa mudah melemparkan tanggung jawab pada orang lain dan kalau mengemukakan suara pendapat, saran, atau laporan dan sebagainya, dapat menunjuk referensi atau landasan / dasar legalitas pendapatnya yang resmi. Dalam mengajukan argumentasi suatu pendapat, tidak hanya berlandas pada apa yang dipikirkannya saja, akan tetapi terutama akan berlandas pada referensi legal yang ada.

2.Hubungan diantara pegawai serta penguasaan masalah kerja
Seorang pegawai, seorang pejabat, seorang staf, atau bahkan seorang kepala, harus dekat dengan rekan kerja bawahannya. Upayakan agar bawahan merasa bahwa kepalanya ini selain sebagai atasan, tetapi juga pelindung, sebagai orang yang ramah, orang yang tegas, orang yang cerdas. Upayakan agar bawahan merasa dekat, merasa bahwa hasil kerjanya dihargai sesuai prestasinya, sebagai tempat bertanya bila terjadi kesulitan, mampu memberikan nasihat, bantuan, menolong bawahannya bila terjadi kesulitan, baik kesulitan fisik maupun mental, kesulitan teknis maupun administratif. Upayakan seorang atasan harus mampu memahami segala persoalan bawahannya secara menyeluruh, memahami kemampuan satu demi satu bawahannya.
Seorang pejabat staf, diharapkan akan mampu bergaul dengan atasannya, akan akrab berbicara, akan dapat mengutarakan pendapat atau saran secara bebas tetapi bertanggung jawab kepada kepalanya. Orang ini diharapkan dapat berlaku selaku bawahan, selaku teman, selaku pembantu utama dalam berbagai hal, baik dalam kedinasan, dan bila perlu dalam pergaulan pribadi atasannya. Adanya rasa tenggang, rasa kikuk, rasa kurang cocok, rasa bahwa atasan kurang baik dan sebagainya, akan menyebabkan hubungan kerja antar atasan dan staf menjadi kurang licin, dan hal ini akan merugikan misi yang diemban kantor tersebut.
Seorang atasan atau pejabat harus tahu benar apa yang menjadi pekerjaan bawahannya. Ia perlu mengetahui apa yang terjadi pada bawahannya. Bahkan perlu untuk mengetahui kegiatan-kegiatan teknis bawahannya. Seringkali dalam sistem kerja perkantoran di Indonesia masih diperlukan adanya penggunaan hak prerogatif atasan untuk menyelesaikan permasalahan. Atasan adakalanya masih perlu ikut campur dalam penyelesaian atau penuntasan kerja agar kerja dapat diselesaikan dengan baik dan diselesaikan pada waktunya.
Hubungan seorang pejabat, seorang staf atau bahkan seorang kepala, dalam melaksanakan tugasnya harus memiliki rasa tanggung jawab bahwa kerjanya harus dapat diselesaikan secara sempurna. Ia tidak boleh cepat menyerah bila menghadapi hambatan. Bila perlu terjun langsung pengadakan pengawasan, pengendalian serta koreksi secara cepat, agar hasil kerja selesai sesuai harapan. Bila perlu segara menggunakan hak prerogatifnya untuk segera mengambil alih tugas atau mengubah arah kebijaksanaan pelaksanaan kerjanya, demi mengatasi permasalahan dan pencapaian sasaran.
Untuk menambah wawasan dan kemampuan menulis, maka perlu untuk rajin mengikuti rapat, khususnya rapat yang dilaksanakan oleh atasan langsung. Dengan mengikuti rapat, berarti orang tersebut akan mampu menguasai permasalahan di unit kerjanya. Memang ada kalanya dengan membaca laporan saja, dapat juga orang tersebut memahami permasalahan di sekitarnya. Akan tetapi keikut sertaannya dalam proses pembicaraan, misalnya rapat-rapat, seminar dan pertemuan lainnya, apalagi bla orang tersebut ikut berbicara dan mengajukan berbagai argumentasinya, maka orang tersebut akan lebih banyak memahami permasalahan di unitnya.
Seorang pejabat staf, yang sering memperlihatkan keingin tahuannya, melalui sikap-sikap yang menunjukkan keinginan untuk bekerja secara akrab dengan kepala atau personil lainnya, ingin selalu ikut pertemuan / rapat, secara cermat dan secara penuh dapat mengikuti pertemuan sampai tuntas, bahkan mau ikut berbicara, dan sejenisnya, akan meningkatkan kualitas kerja pejabat tersebut. Keramahan, kedekatan dan kemampuan bergaul, akan sangat menolong keberhasilan kerja, dan kualitas diri dalam etos kerjanya. Bahkan, seorang staf pembantu kepala terutama yang menjabat sekretaris umum, harus lebih banyak mengetahui permasalahannya dari pada kepalanya. Memang ada yang berpendapat bahwa kepala harus lebih tahu dari pembantunya. Dari satu segi, hal ini ada benarnya, akan tetapi tugas kepala, sesuai dengan ketuaan dan kesenioran pengalamannya, maka kepala akan bertugas sebagai pemikir strategis dan penentu kebijaksanaan. Sedangkan pembantu staf, dalam rangka kariernya, tentunya perlu meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan kecekatannya, yang pada saatnya nanti dapat dijadikan rekomendasi untuk kepromosiannya.

3. Rasa tanggung jawab dan loyalitas
Beberapa masalah dalam hal tanggung jawab yang menunjukkan kelemahan atau kurang luasnya pengetahuan dan keseriusan kerja seorang pegawai atau pejabat, dapat terlihat dari beberapa sifatnya antara lain :
1). Dalam keikut sertaannya didalam rapat, sering menjawab tidak tahu, belum memperoleh informasi, belum ada laporan, berhubung sesuatu hal maka belum terselesaikan. Ada kalanya ia membela diri dengan perkataan ”berhubung”, misalnya : ”Berhubung pembantu saya sakit, maka saya tidak dapat menyelesaikan perintah bapak!” atau ”Sebenarnya saya akan mengerjakan, tetapi saya sakit, jadi perintah bapak belum dikerjakan!”, dll nya. Bahkan sering menyatakan bahwa bawahannyalah yang belum mengerjakan perintahnya atau melemparkan kesalahannya kepada bawahannya, antaranya dengan mengatakan : ”Saya sudah memerintahkan Si Polan tetapi dia belum melapor saya”.
2). Dalam melaporkan sesuatu dalam rapat atau dalam menghadap atasan, pejabat tersebut sering membawa bawahannya, untuk mendeking bila pejabat tersebut tidak bisa menjawab. Sebagai contoh, seorang atasan bertanya : ”Bagaimana mengenai perintah pengumpulan data panti yang kemarin?”. Maka si pejabat, yang membawa bawahannya misalnya bernama Polan, akan menjawab pertanyaan tersebut sambil menengok pada si Polan dan mengatakan : ” O ya, Polan, bagaimana mengenai data panti kemarin, coba laporkan pada bapak ini!”. Dan sifat ini dapat dikatakan sebagai sifat seorang agen penyalur perintah saja, dan bukan sebagai pembantu (utama) kepalanya.
3). Karena kurang memahami masalah yang sedang dirapatkan, maka pejabat tersebut akan menampakkan sikap bosan mendengarkan rapat, tidak betah duduk dalam rapat tersebut. Sikap tersebut dapat dianggap sebagai suatu pelecehan pada kepala rapat, sebagai sikap bahwa yang diutarakan kepala itu membosankan, tidak perlu didengar, cukup nanti baca notulen atau laporan orang lain saja. Apalagi bila pejabat tersebut sudah mempunyai rasa apriori / prejudice bahwa apa yang dibicarakan kepala atau kepala rapatnya dirasakan kurang disukainya.
4). Dalam menerima undangan rapat, pejabat tersebut lebih sering mengirim wakil atau bawahannya, bukan karena kesibukannya, tetapi karena memang menganggap rapat tersebut cukup dihadiri bawahannya, atau menganggap rapat tersebut kurang bermanfaat, kurang berkaitan dengan fungsi dan tugasnya. Hal yang lebih negatif lagi adalah bila pejabat tersebut merasa bahwa ketidak mauannya menghadiri rapat, karena merasa tersaingi dan secara apriori kurang senang kepad kepala rapatnya, apa yang didiskusikannya kurang disukainya, tidak senang atau melecehkan konsep yang diajukan dalam rapat, atau menganggap rendah terhadap materi yang didiskusikan.
5).Ada kalanya pula bahwa pejabat tersebut menganggap apa yang akan dibicarakan dalam rapat, sudah diketahui dan merasa dirinya sudah cukup menguasai dan cukup paham atau katakanlah sudah cukup pandai atau lebih pandai, hingga merasa tidak perlu menghadirinya. Pejabat tersebut menunjukkan sikap kurang mau atau kurang senang terhadap acuan / pendapat / saran orang lain, menganggap saran orang lain kurang benar, secara apriori sering bersikap bosan / menyanggah pendapat orang lain, mematikan saran orang lain terutama orang yang posisinya lebih rendah, atau memonopoli waktu pertemuan hanya bagi cerita dirinya saja. Untuk menunjukkan kemampuan dan untuk menguasai rapat, seseorang akan berbicara cukup panjang, cukup berbelit, hanya untuk menunjukkan kemampuan teoritisnya, hingga menghabiskan waktu rapat. Pembicaraannya berbelit, dan tidak segera menuju pada pokok permasalahan dan penyelesaian permasalahannya.
6).Dalam menghadiri rapat, sering tidak membawa catatan atau dokumen yang diperlukan. Ia hanya membawa notes, atau bahkan hanya membawa secarik kertas, serta kurang menguasai permasalahan yang akan dibicarakan. Alasan tidak dibawanya dokemen tersebut, adalah karena kepala tidak menyuruhnya. Padahal memang dokumen yang diperlukannya itu tidak diketahui dimana disimpannya.Dalam mengemukakan argumentasinya, ia tidak mengajukan dasar atau referensi dokumen yang dibawanya atau yang ada secara resmi, tetapi mengajukan argumentasi berdasar pemikirannya sendiri dan yang muncul sesaat pada waktu rapat tersebut.
7).Dalam rapat tersebut ia lebih banyak berdiam diri, hanya mendengarkan, menerima atau mencatat-catat, tanpa banyak bicara, tidak melaporkan sesuatu bila tidak ditanya. Tidak mau ikut diskusi karena kurang memahami masalahnya. Dan sering menjawab : ”Saya tidak begitu tahu, nanti saya pelajari dulu, saya tanyakan kepada bawahan saya dulu, dan sejenisnya”. Kurang menguasai informasi / data dan lain-lain keterangan yang menjadi tanggung jawabnya, kurang menguasai rincian permasalah teknis, kurang meneliti dan menganalisa mengenai kekurang tepatan data / informasinya. Bila menerima laporan dari bawahan yang perlu dilaporkan pada kepala, maka ia secara langsung melaporkan laporan tersebut pada atasannya, tanpa atau kurang meneliti atau mengoreksi terhadap kemungkinan adanya kekurang kebenaran data / informasi yang diterimanya itu. Dan bila ada ketidak benaran suatu data / informasi, ia tidak atau kurang berupaya untuk mencari alasan mengapa hal itu terjadi.
8) Seorang pegawai, diharapkan mempunyai loyalitas tinggi terhadap kepalanya, apalagi ia adalah pembantu terdekatnya. Orang ini harus mampu menangkap apa yang tersurat dan tersirat dari apa yang diperintah atasan. Dapat memahami apa yang tercermin dari apa yang diucapkan, termasuk cara atau irama ucapannya.
9) Memahami apa yang ditulis, ditunjukkan oleh roman muka, dan tingkah laku atasannya. Mampu menangkap apa yang dibutuhkan oleh kepala tanpa perlu dijelaskan secara rinci oleh kepalanya. Memperhatikan dan menyimak akan kebutuhan kepala, kesulitan kepala, terutama dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diemban oleh unit kerjanya, bahkan keperluan yang mungkin dianggap kecil-kecil, tetapi akan mengurangi konsentrasi kerja Mampu menjabarkan kehendak kepala untuk dicerna oleh staf lainnya, hingga hasil kerjanya akan sesuai dengan kehendak kepala, baik secara fisik maupun psikologisnya.

4. Kemampuan mencatat, membuat laporan,pengarsipan dan tertib dokumen / arsip
Seorang pegawai atau tenaga staf dalam posisi tertentu, diharapkan harus mampu membuat tulisan.Kemampuan menulis ini tidak dapat begitu saja diperoleh dari mempelajari teori-teori menulis,tetapi harus dibarengi dengan kemauan untuk tiap kali membuat tulisan. Orang tersebut harus sering membuat tulisan, baik berbentuk surat, berbentuk laporan,berbentuk memo, berbentuk nota, sampai dengan tulisan-tulisan yang panjang seperti makalah atau perper, teks ceramah,teks pidato dan sebagainya.
Salah satu penugasan yang sering memerlukan kegiatan menulis, adalah pekerjaan sekretaris. Sekretaris apapun, mulai dari sekretaris suatu rapat, sekretaris suatuorganisasi, sekretaris suatu perkumpulan, sampai dengan sekretaris yang bersipat struktural misalnya, sekretaris direktur jenderal,sekretaris jenderal, sampai dengan sekretaris negara tetunya. Tetapi justru kesempatan untuk menulis, untuk menerima tugas tulis-menulis ini sering dianggap kurang disenangi atau kurang dianggap prestisius, atau dianggap tidak perlu dipelajari, sehingga dikemudian hari orang tersebut sulituntuk menjadi pembantu kepala atau staf, karena tidak mempunyai kemampuamn menulis dengan baik.
Kesempatan-kesempatan untuk menjadi berbagai sekretaris tersebut diatas, seyogyanya mau diterima, atau bahkan perlu dikejar oleh seseorang yang ingin menjadi penulis yang handal. Seorang penulis yang handal biasanya akan merupakan orang dengan banyak ilmu pengetahuan.
Sering kali orang melupakan bahwa pada dasarnya tugas staf sebagian besar adalah tugas-tugas penulis. Ada kalanya seorang staf merasa bahwa tugas tulis-menulis bukanlah tugasnya.Sehingga setiap adanya penugasan dari atasannya untuk menulis misalnya menulis suatu dokumen, maka tugas tersebut diperintahkan kembali kebawahannya. Sehingga dapat saja terjadi, bahwa suatu perintah dari atasan staf pembantunya, maka staf pembantunya ini menyerahkan secara lansung pada bawahannya lebih bawah lagi tanpa dijabarkan terlebih dahulu. Sehinga ada suatu lelucon, bahwa suatu perintah atasan akan kembali lagi pada atasannya, secara utuh seperti perintahnya semula. Contohnya sebagai berikut :
1). Seorang kepala kantor memintakan sekretarisnya untuk menyusun suatu surat peritah melalui sebuah memo. Perintah ini diteruskan kepada kepala tata-usaha tanpa penjelasan dan hanya mengatakan: ”Buat surat seperti yang diminta kepala”. Selanjutnya kepala tata-usaha juga memerintahkan pada pembantunya tanpa penjelasan dan hanya mengatakan buat surat seperti yang diminta sekretaris atasan.
2). Selanjutnya perintah tersebut secara berantai sampai pada pegawai terendah tanpa penjelasan yang memadai, dan hanya mengatakan: “Buat surat, seperti yang diminta kepala kantor”. Dan akhirnya pegawai terendah tersebut karena bingung dan takut menanya kembali pada yang menyuruhnya, maka pada kesempatan bertemu dengan kepala kantornya, lalu bertanya; “Maaf pak, Bapak menginginkan surat seperti apa?!”.
3). Akhirnya si kepala kantor sendirilah yang mendikte surat kepada bawahan yang paling akhir tersebut. Karena kepala kantor tersebut berfikir, dari pada perintahnya lama-lama berkeliling,ya sudahlah, didiktekan saja pada tukang ketik komputernya. Dapat pula terjadi kebalikan prosesnya,yakni konsep surat dari bawahan untuk kembali ke kepala kantornya, tidak dicermati oleh sekretarisnya, hanya lansung saja diserahkan pada kepala kantornya. Dan akhirnya justru kepala kantornya yang mengoreksinya sendiri. Cara diatas, tentu saja tidak mendidik seseorang untuk mampu menulis dengan cermat, dan akan tetep menjadi orang yang kurang mampu menulis. Dan kurang seringnya untuk ikut membaca surat-surat, tentu akan mengurangi kemampuan menguasai permasalahan yang ada dikantornya tersebut.
4). Dalam membuat konsideran suatu surat, misalnya surat perintah, seringkali dasar-dasar hukumnya, dituliskan dalam bentuk daftar surat-surat atau ketentuan-ketentuan yang banyak sekali, simulai dasar UUD-45, UU lainnya, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri sampai dengan ketentuan petunjuk teknisnya, yang ada kalanya kurang ada korelasi dengan isi suratnya, sedangkan suratnya tersebut hanya suatu perintah ringan-ringan saja. Ada kalanya dalam menulis suatu surat atau suatu dokumen, sistematikanya kurang teratur, misalnya belum lengkapnya mengenai pendahuluan / latar belakang penulisan, maksud dan tujuan penulisan, maksud dan tujuan kegiatan yang diuraikannya, kelengkapan batang tubuh isi suratnya, kesimpulan dan sarannya, maupun penutupnya.
5). Ada kalanya dasar hukum suatu surat keputusan, ditulis secara cukup panjan, akan tetapi surat dasar yang terkait langsung dengan permasalahan isi suratnya itu sendiri, tidak atau lupa dicantumkan, dalam menulis surat atau menulis dokumen, nampak bahwa si penulis tidak atau segan mencari referensi yang mendahului atau yang menjadi dasar penulisan. Sehingga orang tersebut menulis surat berdasar referensi yang diingatnya saja, tetapi tidak sempat atau tidak mau membaca surat-surat yang mendahului surat tersebut.
6).Kemampuan penyusunan dan penyimpanan dokumen, baik secara manual maupun melalui komputerisasi, akan sangat mendukung kelancaran kerja suatu unit perkantoran. Seseorang yang pandai dalam hal menyimpan dan mencari dokumen ini, akan sangat mendukung kepala kantor maupun keseluruhan organisasi. Hal diatas tersebut, juga disebabkan karena kelemahan tata-laksana penympanan atau pengarsiapan surat sehingga sulit untuk mencari surat-surat terdahulunya.
7). Surat-surat kurang diarsipkan secara rapih, sehingga sulit untuk mencari kembali surat-surat tersebut bila diperlukan untuk referensi. Kurang adanya ketertiban untuk menyimpan dokumen-dokumen yang sejenis, atau yang merupakan proses pelaksanaan yang belum tuntas. Suatu kegiatan atau program tidak didokumentasikan secara rapih, tidak diurut tanggal, dan tidak disimpan dalam suatu tata-naskah (Takah) atau dalam bundel tersendiri, hingga menyulitkan bila dokumen atau program tersebut hendak kembali dilihat atau dibicarakan dalam rapat. Ada kalanya orang mengharapkan agar ruangan kerja menjadi bersih, sehingga mau terlihat menumpuknya surat-surat atau dokumen-dokumen disekitar meja kerja atau ruangannya, akan tetapi tidak dibarengi dengan tertibnya penyimpanan atau bahakan tidak ada lemari dokumen yang memadai, hingga menyebabkan tercecernya dokumen dan sulit mengetahui dimana dokumen tersimpan. Memang kebersihan penumpukan dokumen perlu, tetapi yang lebih perlu diperhatikan adalah adanya dan mengetahuinya dimana dokumen-dokumen tersebut berada dan dengan mudah dicarinya.
8). Penyimpanan dokumen dianggapnya bukan merupakan tugas staf kepala, tetapi tugas bawahan, hal ini memang mungkin ada benarnya, penyimpanan dokumen tidak perlu dilakukan oleh pejabat, tetapi pejabat khususnya pejabat staf, apalagi staf pembantu harus mengetahui dimana letak dokumen tersebut. Ada kalanya, sulit dicarinya kembali suatu dokumen, kesalahannya dilimpahkan kepada petugas bawahan yang menyimpannya. Hal ini memang ada benarnya, tetapi tetap tanggung jawab mudahnya dan cepatnya diperoleh kembali dokumen tersebut adalah tanggung jawab pejabat staf pembantu tersebut.
9). Memang sistem penyimpanan dokumen telah ada dan telah banyak diajarkan, akan tetapi ada kalanya pada prakteknya tidak dilakukan dengan cermat. Mungkin sistem penyimpanan dokumen ini perlu secara serius dicermati oleh pejabat staf penanggung jawab dari unit kerja yang bersangkutan, dan selalu dimonitor akan ketertibannya. Dengan demikian kerja secara tertib harus menjadi etos kerja pegawai, baik tertib pengadministrasian, yang mencakup tertib penyusunan dokumen, tertib penataan data dan informasi, maupun lain sejenisnya.



5. Penggunaan perangkat komputer dan kecermatan kerja
Perkembangan teknologi komputerisasi, nampaknya belum dipahami dan diikuti, masih menganggap bahwa teknik komputerisasi adalah proses yang canggih, dan bukan tugas staf, apalagi staf yang merasa menduduki eselon tertentu merasa tidak perlu. Dalam era globalisasi, era ilmu dan teknologi, maka kemampuan mengetik dengan komputer pada dasarnya merupakan kemampuan sehari-hari seorang staf seperti halnya kemampuan mengetik biasa, komputerisasi sebagian proses administrasi, termasuk penulisan surat, penyimpanan dokumen, pencetakan dokumen, reproduksi surat / dokumen, koreksi dokumen, dan sejenisnya, akan sangat mudah. Terutama dalam mengulang penulisan dokumen, misalnya dalam membuat laporan tahunan, laporan rutin, program kerja tahunan, dan sejenisnya, maka proses komputer akan meringankan pembuatan dokumen ini. Karena komputer ini menghindarkan proses pengulangan pengetikan yang tidak perlu, menghindarkan kesalahan ketik yang sering terjadi berulang.
Sehingga ada kalanya terjadi, dalam satu unit staf, disediakan perangkat komputer, tetapi penggunaannya hanya oleh orang-orang tertentu yang bertaraf bawahan, dan bila terjadi kesulitan operasionalisasinya, sering kali atasannya kurang mampu menyelesaikan berbagai hal yang terkait dengan proses data elektronik. Apalagi dengan mempunyai staf pejabat menggunakan komputer (ala kadarnya), maka pengoreksian dokumen dapat langsung dikerjakan staf pejabat tersebut dengan menggunakan komputer, sehingga dengan cepat dokumen tersebut dapat diproses dan diajukan kepala yang lebih atas.
Dalam menyelesaikan tugasnya, seorang staf harus mampu mencari berbagai cara, tanpa terlalu banyak alasan atau mengajukan keluhan-keluhan banyaknya kesulitan yang dihadapi. Ada kalanya seorang pejabat yang tidak dapat menyelesaikan tugasnya, akan mencari-cari alasan untuk menghindarkan teguran atasannya. Alasan yang diajukannya itu sering nampak sebagai alasan yang logis dan dapat diterima, sehingga ketidak mampuan penyelesaian tugasnya tersebut tidak dapat disalahkan kepadanya. Sebagai contoh kasus diatas misalnya sebagai berikut :
1). Seorang staf diperintahkan oleh atasannya untuk menyelesaikan suatu masalah tertentu dengan mendatangi pejabat dari Departemen lain.Pada esok harinya ia ditanya atasannya mengenai perintahnya kemarinnya. Pejabat tersebut menjawab : ”Saya sudah kekantornya, tetapi yang bersangkutan tidak ada ditempat, jadi perintah bapak belum terlaksanakan!”.Waktu ditanya apakah tidak ditunggunya, apakah tidak pesan pada sekretarisnya, apakah tidak telfon dulu kapan bisa ketemu. Maka pejabat tersebut menjawab : ”Kan saya sudah mengikuti perintah bapak, sudah mendatangi yang bersangkutan, tapi yang bersangkutan tidak ada, ya saya kembali pulang. Bapak sendiri tidak memerintahkan untuk menunggu, tidak memerintahkan untuk meninggalkan pesan pada sekretarisnya, tidak menyuruh untuk telfon (ya saya tidak mengerjakannya)”.Secara legal alasan tersebut adalah benar. Atasan pejabat itulah nampaknya yang salah atau tidak cermat perintahnya. Akan tetapi kalau disimak, sebenarnya pejabat itulah yang kurang cermat, kurang punya improvisasi, kurang cekatan, kurang dapat menjabarkan keinginan kepala, dan kurang bersungguh-sungguh ingin mensukseskan tugas kepalanya.
2).Bila pejabat tersebut cukup cermat, sebenarnya tugas tersebut bisa diselesaikannya. Sebenarnya bila ia cukup cermat, cukup trengginas, cukup cerdas, cukup reaktif, cukup kreatif, cukup mampu berkasak-kusuk, cukup tangkas, cukup mampu berkomunikasi dan berlobby dan sebagainya, maka sebenarnya tugas tersebut dapat diselesaikan, dan atasannya tidak perlu memikirkan kembali apa yang harus dikerjakannya. Ada kalanya untuk menghindarkan kelemahannya yang menyebabkan tidak dapat menyelesaikan tugasnya, seseorang mencoba mengemukakan istilah atau ucapan ”berhubung” atau ”sebenarnya”. Sebagai contoh : ”Pak, berhubung mesin tiknya rusak, maka surat bapak belum selesai!”. Contoh lain : ”Sebenarnya saya sudah datang pak, tetapi karena macet jadi saya telat!”. Dan masih banyak contoh adanya ungkapan yang dapat digunakan sebagai alasan untuk tidak selesainya tugasnya. Padahal bila seorang pejabat secara awal mampu mengantisipasi atau mencari alternatif penyelesaian denga cara lain, tugas tersebut dapat diselesaikannya. Misalnya : ”Kalau mesin tik saya rusak, ya saya coba pinjam mesin tik kepala yang sedang tidak dipakai!”. Atau : “Kalau diperkirakan jalan akan macer, berangkatnya lebih awal!”. Dan lain sebagainya.

6. Ketuntasan kerja/ Kemampuan mengantisipasi tugas/ Kemampuan mengadakan terobosan/ Semangat kerja/ Hobby dan rasa seni
Mungkin ada benarnya bahwa sebagai seorang pegawai yang aktif dari sesuatu kegiatan atau sebagai pegawai staf tidak boleh cepat puas. Dalam melaksanakan tugasnya, maka tugas yang dilaksanakannya harus ada bnatas waktu (time bound) sejauh mungkin harus terselesaikan dengan tuntas dan bulat. Jangan sampai suatu kegiatan, tidak jelas kapan selesainya, atau menggantung tanpa kejelasan kapan selesainya dan tidak diketahui bagaimana hasilnya. Dan yang penting juga, dalam melaksanakan tugasnya, tidak hanya asal tugasnya selesai, termasuk terhabiskannya dana, tetapi juga diperoleh hasil kerja yang dapat memenuhi sasaran yang diharapkan secara utuh.
1). Kemampuan mengantisipasi terhadap suatu kegiatan, dan kemampuan untuk memperhitungkan apa yang akan terjadi, apa yang perlu diwaspadai, apa yang akan menjadi penghambat kegiatan, perlu dimiliki oleh seorang staf dalam menyelesaikan tugas-tugas atau programnya. Ia harus mempunyai sensitifitas, suatu intuisi dalam menentukan dan menghadapi pelaksanaan program atau kegiatannya, sehingga harapan dan kepastian akan keberhasilan pencapaian tugas, akan lebih banyak.
2) Seorang pejabat harus mampu menciptakan terobosan, menciptakan improvisasi, bila dalam melaksanakan kegiatannya atau perintah atasannya ternyata menhadapi hambatan. Dalam melaksanakan tugasnya dia harus selalu mempunyai cara-cara atau jalan untuk menuntaskan tugasnya. Ia tidak terlalu sering mengeluh, tidak cepat mengadu pada kepala. Pejabat yang cermat, kreatif, tahan uji, ulet, dan sejenisnya, akan selalu mempunyai berbagai kiat dan terobosan untuk mendukung keberhasilan tugas kepalanya.
3). Dari satu segi, memang ada benarnya bila ada yang mengatakan bahwa seseorang pegawai bekerja adalah untuk mencari nafkah, untuk mencari uang, untuk menunjang kehidupan. Akan tetapi bila seorang pegawai, selain memiliki keinginan, semangat kerja juga dibarengi memiliki kesenangan atau hobby kerja, atau katakanlah tergila-gila untuk bekerja, maka dia akan menjadi pegawai yang selain lebih berhasil dalam kerjanya, juga akan mendukung missi kantornya.
4). Orang seperti tersebut diatas akan merasakan bahwa kerja merupakan kesenangan, akan merasa bersemangat untuk mengerjakan pekerjaan, dan biasanya tidaklah akan puas bila pekerjaannya belum selesai dengan baik, belum tuntas sesuai perintah atasan atau sebelum mencapai sasaran yang diharapkan oleh unit kerjanya. Apalagi bila dalam melaksanakan pekerjaannya ia memiliki inteligensi tinggi, pengetahuan yang luas, dan pengalaman teknis maupun managerial yang mendalam. Dengan semangat kerjanya ini, maka ia akan mencoba berbagai upaya, inovasi, improvisasi, terobosan apapun agar tugasnya cepat terselesaikan dengan baik.
5). Kelancaran pekerjaan ditentukan antara lain oleh adanya ketertiban kerja. Adanya tertib administrasi, adanya kerapihan penyimpanan dokuman, adanya kerapihan jalur atau jaringan kerja antar pegawai, akan mempermudah penyelesaian tugas. Dengan demikian suatu unit kerja, bila ingin lancar dan berhasil kerjanya, perlu memilih personil atau pejabat yang memiliki ketrampilan kerja secara tertib. Seni adalah sesuatu yang sering tidak dapat dipahami oleh beberapa orang. Seni merupakan sesuatu yang muncul dari hati sanubari. Perasaan seni adalah sesuatu yang ada kalanya muncul begitu saja, tanpa adanya pelatihan untuk memperoleh rasa sani ini.
6). Sering orang mengatakan bahwa perasaan seni merupakan sifat seseorang yang sudah ada pada dirinya, atau suatu bawaan dari lahirnya. Tidak semua orang mempunyai rasa seni yang sama. Satu orang yang mempunyai rasa seni terhadap keindahan lukisan, ada yang mempunyai rasa seni terhadap menyanyi, ada rasa seni terhadap tarian, rasa seni pada olah raga, dan ada pula rasa seni terhadap estetika. Di lingkungan pekerjaanpun ada kalanya rasa seni, diwujudkan terutama rasa seni estetika, rasa seni keindahan, akan menunjang kesenangan kerja. Bahkan mungkin ada benarnya bahwa kerjapun adalah seni.
7). Ada orang yang menyatakan bahwa kenikmatan kerja adalah suatu kenikmatan seni. Sehingga dalam melaksanakan kerjanya ia akan bekerja secara estetika, secara tertib dan indah, secara rapih / teratur dan bahkan tuntas, karena ketuntasan kerja dapat pula merupakan puncak kenikmatan tersendiri. Bahkan ada yang mengatakan, ketuntasan, keberhasilan kerja, merupakan pelampiasan libodi atau pelampiasan nafsunya untuk menikmati hidup ini. Dengan demikian seseorang yang mempunyai rasa seni kerja, biasanya juga mempunyai kesenangan kerja atau katakanlah suatu phobi kerja. Dalam istilah seni, maka kenikmatan yang diperolehnya tidak begitu perlu dinilai dengan suatu harga atau suatu nilai uang atau materi tertentu


7. Disiplin kerja
Dari tip-tip pengembangan karakter personalia tersebut diatas maka sebagai kunci pokok dalam pelaksanaan tugas adalah sikap tertib kerja yang pada dasarnya juga terkait dengan sifat disiplin kerja. Disiplin dari para pegawai dan pejabatnya. Disiplin ini bukan hanya disiplin waktu, tetapi juga disiplin penyelesaian tugas dalam bekerja, disiplin terhadap tanggung jawab kerja, disiplin terhadap ketertiban kerja.Disiplin pegawai, merupakan salah satu motor utama bagi suatu prestasi kerja dari suatu unit organisasi panti sosial.

Kesimpulan.
Membangun karakter kualitas panti sosial pada era globalisasi dalam menyongsong era perdagangan bebas, adalah membangun karakter personalia yang penuh tantangan dalam mewujudkan lembaga sosial panti yang excelence terhadap percepatan pembangunan bangsa dan negara dalam lingkup bidang tugasnya, maka mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus siap untuk memiliki sumber daya manusia yang berkualitas tinggi, baik kualitas fisik maupun mentalnya. Dengan demikian setiap tenaga kerja pegawai negeri di panti sosial, akan merupakan personil sumber daya manusia yang mempunyai ketrampilan kerja, memiliki karakter etos kerja, disiplin, loyalitas, yang setinggi-tingginya. Disamping kerja, bukan hanya berdasar pada kepandaian dan ketrampilan formal semata, tetapi juga berdasar pada keahlian, kelincahan, kegesitan, kesenangan / hobby, dan hal-hal lainnya yang non-formal sifatnya sebagai sumber daya pembangunan.


Jakarta, September 2009

0 komentar:

Posting Komentar